Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.
Entah kenapa, saya tidak tahu penyebabnya, akhir Januari tahun 2010, saya tiba-tiba teringat akan paman (amang) saya ini. Namanya Hamid Busu. Ia berasal dari Peri, kampung kecil antara Dempol dan Daleng. Kampung Peri yang asli, yang sampai tahun 70an masih ada, sekarang sudah tidak berbekas lagi. Orang Peri sekarang tinggal di pinggir jalan raya, Ruteng ke Labuan Bajo. Kampung Peri yang asli terletak agak jauh dari jalan raya yang terletak di sebelah kiri jalan dari Ruteng ke Labuan Bajo. Amang Hamid Busu adalah anak dari Empo Mahur (salah satu tokoh masyarakat tahun 60an), kakak Kandung Kakek saya dari pihak mama, Kakek Bartolomeus Bahor yang tahun 60an dan 70an dikenal dengan sebutan Kepala Dempol (karena ia pernah bertugas sebagai Kepala Desa Dempol). Dengan cara ini saya secara singkat mencoba melukiskan hubungan kekeluargaan di antara saya dan amang Hamid Busu.
Sesungguhnya Amang Busu adalah orang baik, walau ia dilecehkan orang sekampungnya, maupun oleh orang lain dari kampung sekitar (Dempol, Daleng, Wol, Roga, Rangga, dll). Orang lebih mengenal nama belakangnya, Busu. Kiranya orang tidak tahu nama depannya, Hamid. Mungkin juga orang tidak kenal nama dirinya, Hamid Busu, karena ia sering disapa dengan ngasang ame-nya (teknonim), emad Ngantur (emad Domi). Dominikus Ngantur adalah anak sulungnya. Menurut cerita yang saya dengar dari mama saya (Katharina), amang Busu ini dulunya orang yang rajin bekerja. Sawahnya menghasilkan padi melimpah. Tetapi semangat kerja itu hilang sejak ia ditinggal mati oleh isterinya yang pertama (ibu dari Dominikus Ngantur). Menurut mama Katharina sejak saat itu, amang Busu tidak pernah bisa bangkit lagi semangat hidupnya. Sempat ia coba bangun lagi semangat dan gairah hidupnya dengan menikahi wanita Kempo. Tetapi perkawinan itu tidak berlangsung lama, karena inang kedua ini meninggal (tidak punya anak). Sejak itu hidup Amang Busu benar-benar “rusak”, tidak teratur. Ia menjadi seperti linglung dan akhirnya dikenal sebagai orang malas.
Di mata saya, amang Busu adalah orang baik. Walau agak sedikit mengesalkan, toh saya percaya pada cerita mama bahwa sejatinya amang Busu ini orang baik dan rajin (petani sawah di Lembor). Waktu kami dulu masih di Ketang (Lelak), beberapa kali ia datang menginap di rumah kami di Ketang. Selama tinggal di rumah kami, ia tidak banyak bicara. Hanya diam. Merokok. Minum kopi, makan. Tidur. Sesekali ia bicara kalau ada tamu ke rumah. Saat papa dan mama pindah ke Dempol, rupanya ia sering berkunjung ke rumah kami di Dempol. Saya bisa memahami hal itu, sebab saat kami masih di Ketang saja ia sering datang, apalagi setelah papa-mama tinggal di Dempol yang letaknya dekat dengan Peri.
Ia adalah model orang yang tercerabut dari akar kultural dan religiusnya yang asli. Ia tidak Katolik. Nama Hamid bukan nama Baptis. Nama itu adalah nama muslim. Tetapi ia bukan Islam, walau ia pernah nikah dengan inang dari Kempo, yang konon muslimah. Anak-anak dan cucu-cucunya Katolik. Saya tidak tahu apakah ia pernah dibaptis Katolik. Saya masih harus meminta informasi dari Domi apakah di akhir hidupnya ia dibaptis? Atau apakah ia dimakamkan secara Katolik. Yang jelas, selama hidupnya, karena ia tidak Katolik, ia tidak pernah ke gereja Minggu. Dalam hal ini tidak begitu mencolok sebab banyak orang Manggarai yang mengaku Katolik tetapi tidak pernah ke gereja hari Minggu. Ia tidak makan babi. Kebiasaan ini dalam bahasa Manggarai disebut woni. Orang yang tidak makan babi disebut ata woni. Woni dan ireng itu berbeda. Ireng adalah pemali, halangan karena adat, keyakinan suku. Woni, halangan karena pengaruh agama Islam. Pasti kebiasaan tidak makan babi itu karena pengaruh Islam. Ia tercerabut dan terasing dari kebudayaannya karena satu alasan yang baru sekarang aku sadari.
Begini ceritanya. Juni tahun 1987 saya TOP di Pendidikan Postulan OFM di Pagal selama satu tahun. Pada waktu itulah saya sempat ikut perayaan penti di Wol. Saya sudah lupa tanggal persisnya pesta itu. Yang jelas penti itu dilaksanakan tahun 1988. Saat itu saya melihat amang Busu seperti menjadi sangat hidup, seperti menemukan konteks ekspresi kultural-emosional-spiritualnya yang lama terpendam. Saya perhatikan bahwa ia ikut menari dan menyanyi sanda dengan penuh semangat, penuh gairah, penuh penghayatan. Tenaganya seperti tidak habis malam itu. Entah dari mana ia mendapat tenaga lebihnya. Sempat saya bertanya waktu itu, mengapa amang Busu menjadi seperti itu malam itu? Malam itu saya mendengar amang Busu berkata: Hooy agama dite ye. Mai ga. Mai pande rame.
Baru saat inilah saya seperti mendapat jawaban. Itu karena ia seperti merasa menemukan lagi lubang penyaluran ekspresi emosional dan kultural bahkan religius mitis-magis yang lama terpendam karena tergeser gereja. Dalam gereja ia merasa tidak in. Juga dalam Islam ia merasa tidak in. Ia hanya merasa in dalam dan dengan agama asli Manggarai yang berpuncak pada penti. Penti adalah pesta tahun baru, saat pembaharuan dan pembersihan segala komponen hidup kampung yang vital: Mbaru gendang, natas, compang, wae teku, uma bate duat, lima unsur ontologis kampung Manggarai, dibersihkan (barong). Doro dongkas, pui weang. Penti weki peso beo. Maka sanda-lima menjadi sangat penting dalam pesta ini. Sayang saya sendiri tidak tahu lagi cara menyanyikan sanda-lima itu. Saya berniat mencari orang yang bisa menyanyikan lagu itu, agar direkam dan dilestarikan.
Hamid Busu, model orang yang terasing dan tercerabut dari akar kulturalnya, dari agama asli Manggarai. Catatan ini sudah ada dalam buku harian saya sejak awal tahun 2010. Tetapi sekarang saya terdorong untuk mengangkatnya ke Blog karena Hari Raya Kamis Kenaikan tahun 2018, anak sulung Amang Busu (Dominikus Ngantur), diantar anaknya yang merantau di Jakarta, lejong ke rumah kami Bandung. Tidak ada maksud apa-apa, selain hanya untuk mengabadikan kenangan akan amang Busu. Cerita lama diangkat lagi ke permukaan karena pengaruh ilham perjumpaan aktual yang dialami dan dirasakan sekarang dan di sini.
Kopo, Mei 2018.
(asli ditulis awal 2010).
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment