Wednesday, October 31, 2018

MENGENDUS YANG KUDUS

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FAKULTAS FILSAFAT UNPAR Bandung.


Entah sejak kapan, dunia akademik merumuskan tiga ranah tertinggi dari upaya pencarian dan pencapaian manusia. Ketiganya ialah Bonum, Verum, Pulchrum, Baik, Benar, Indah. Ketiga ideal itu terpampang dengan sangat jelas di sebuah dinding di Fakultas Filsafat Unpar dengan huruf logam berwarna perak mengkilat. Sangat mencolok tertancap di dinding, seakan-akan menyapa setiap orang (terutama mahasiswa) untuk membaca, menyimak, mencermati dan mencernanya. Huruf-huruf perak itu seakan hadir di sana untuk menantang pembaca. Dari kata Bonum, muncul kata benda Bonitas, atau Kebaikan (Goodness). Dari kata Verum, muncul kata benda Veritas, atau Kebenaran (Truth). Dari kata Pulchrum muncul kata benda Pulchritudo (Keindahan) (Beauty).
Masing-masing ketiga idealisme itu memiliki jalan khusus berupa sebuah disiplin ilmu untuk mencapainya atau mewujudkannya. Misalnya, untuk mencapai atau mewujudkan Bonitas (Kebaikan) orang menempatkan disiplin Etika (Ethics) sebagai jalannya. Dengan belajar Etika secara sistematis diharapkan orang bisa sampai pada Kebaikan (Bonitas), walau ada kemungkinan bahwa tidak selalu akan terjadi seperti itu. Untuk mencapai dan mewujudkan Veritas (Kebenaran), orang menempatkan disiplin Logika (Logics) untuk mencapainya atau mewujudkannya. Dengan belajar Logika (bahkan juga Matematika, Mathematics) diharapkan orang bisa mencapai Kebenaran, walaupun tidak semua orang bisa mencapai idealisme itu secara otomatis. Akhirnya, untuk mencapai Pulchritudo (Keindahan) orang menetapkan disiplin Aesthetica sebagai jalan untuk mencapai atau mewujudkannya. Lalu dikatakan bahwa tiga tonggak itu, Etika, Logika, dan Aesthetica, menjadi tonggak peradaban dan bahkan juga kemanusiaan itu sendiri.

Tetapi menurut saya tiga tiang tonggak itu belum memadai, walaupun mungkin ada yang berpendapat begitu. Masih ada tiang tonggak yang keempat. Itulah Sacrum. Dari kata Sacrum ini muncul kata benda Sacra, atau Kekudusan, Kesucian (Sacred). Bahkan menurut saya, intuisi akan yang Kudus ini termasuk salah satu intuisi paling purba dalam diri manusia. Kesadaran akan ada dan kehadiran yang Kudus diyakini sebagai sebuah struktur dasar dari keberadaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya Sejarah Mitos (1985), Karen Armstrong secara sangat singkat menunjukkan bahwa dari penggalian purbakala, manusia-manusia purba bahkan sudah memperlihatkan tendensi kodrati itu dalam pelbagai ritual-ritual mereka. Jika ketiga tonggak di atas tadi (Bonum, Verum, Pulchrum) memiliki tiga jalan pencapaian (Etika, Logika, Aestetika), maka intuisi dan pencarian akan Yang Kudus diupayakan oleh manusia lewat jalan Ritual. Ritual adalah jalan yang ditelusuri oleh manusia, sudah sejak jaman purba, untuk mencari dan menuju kepada Yang Kudus (the Holy, The Sacred, sang Numinous, dalam bahasa Rudolf Otto, yang terkenal dengan bukunya The Idea of the Holy itu). Masih menurut Armstrong tadi, lukisan-lukisan purba di gua-gua Neanderthal di Perancis Selatan sudah menunjukkan tendensi ritualistik dalam hidup manusia purba.

Oleh karena ritual-ritual itu (terutama ritual berburu dan bercocok-tanam) sampai pada kita dalam bentuk lukisan-lukisan di dinding-dinding gua purbakala, maka bisalah dikatakan bahwa ritual, dan intuisi akan yang Kudus sesungguhnya sangat dan mungkin selalu berkelindan dengan seni, kesenian, jadi, dengan aesthetica. Orang mengungkapkan gerak hatinya untuk mengendus dan mendekati yang kudus, dalam gambar, dalam lukisan, dalam kata, dalam nada, dan bahkan juga dalam gerak tarian (entah itu spontan, maupun yang terpola; mungkin semula, bersifat spontan. Gerak terpola pasti muncul belakangan). Diam-diam saya juga merasakan dan menemukan bahwa kelindan antara aesthetica dan intuisi akan yang kudus, muncul karena sebuah sistem logika berpikir tertentu. Presisi ritual berburu, harus dibuat dalam sebuah Panduan berupa sebuah lukisan, sebuah gambar. Karena itu, akhirnya saya pun diam-diam berpikir bahwa logika, aesthetica sudah sama-sama purbanya juga dengan intuisi akan yang kudus.

Hanya mungkin bedanya ialah bahwa Logika, Etika, dan Aesthetica adalah jalan yang bersifat elitis (artinya hanya sedikit yang berusaha menempuhnya, hanya ditempuh oleh tokoh soliter), sedangkan ritual yang mencoba mengendus yang Kudus, umumnya bersifat populis, artinya semua orang bisa terlibat dan terhanyut di dalamnya. Ritual selalu merupakan pesta komunal. Sedangkan Logika, Etika, dan Aesthetica umumnya merupakan jalan individual, jalan personal. Orang bisa menjadi pintar dan profesional dalam ketiga hal itu. Sedangkan dalam ritual, selain ritual man yang karena harus memimpin maka harus juga scholar, skillful dan profesional, semua partisipan adalah sama, sederajat. Ada sebuah egalitarianisme di dalam perayaan ritual dalam rangka mengendus yang kudus. Sebuah ciri-corak yang tidak ditekankan dalam ketiga jalan yang lain. Atas dasar itulah saya mengoreksi pernyataan awal bahwa ada tiga tonggak penting peradaban. Sekarang saya yakin bahwa ada empat tonggak penting peradaban. Bahkan yang keempat, yang selama ini tidak pernah disebut, merupakan yang paling purba, dan paling penting juga, karena selalu menyangkut hidup komunal. Tentu ada ritual yang personal, tetapi pada dasarnya ritual selalu berciri komunal, atau setidak-tidaknya membawa orang kepada komunitas. Bahkan Victor Turner (dalam The Ritual Process, Structure and Anti-Structure, 1995/1969) mencirikan salah satu tahap dalam pelaksanaan ritual dengan dua kata kata kunci berikut ini: liminalitas dan communitas. Ritual membawa orang ke situasi di ambang batas (limen) peralihan. Situasi liminalitas itu membawa serta ciri communitas. Ritual membawa kepada rasa solidaritas-komunitas, membangun komunitas. Ritual lahir dari intuisi dasar akan ada dan kehadiran yang kudus (Sacrum).


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...