Tuesday, October 23, 2018

OBITUARI: MENGENANG KRAENG HERMAN HAKIM GALUT

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Beberapa hari yang lalu, pukul 09.00 pagi Hari Minggu waktu Washington atau Hari Senin pagi waktu bagian barat Indonesia, beberapa WAG Manggarai menampilkan sebuah berita sedih yang bagi saya sendiri cukup mengejutkan juga: Bapa Herman Hakim Galut meninggal dunia di Washington DC dan jenazahnya disemayamkan di Christ House, semacam shelter (tempat tinggal, bernaung) bagi homeless people. Walau awalnya berita itu masih belum begitu jelas, tetapi akhirnya kabar itu menjadi semakin jelas dan confirmed. Ada beberapa pihak orang Manggarai (baik di Jakarta maupun di New York) yang berusaha mencari tahu kejelasan berita tersebut dengan cara menghubungi beberapa pihak terkait (terutama di Washington DC). Atas berita itu secara pribadi saya mengucapkan turut berduka yang mendalam dan juga teriring doa semoga arwah beliau mendapatkan istirahat yang abadi dan damai-tenang dalam cahaya kekal (lux aeterna) Tuhan Allah sendiri yang berdiam dalam cahaya yang tiada terhampiri. Diam-diam saya menyanyikan lagu Requiem untuk Communio sbb: Lux aeterna, luceat eis domine, cum sanctis tuis in aeternum, quia pius es.


Berita duka tentang kematian kraeng Herman Hakim Galut membangkitkan sejumlah kenangan saya akan dia. Sesungguhnya tidak ada yang sangat istimewa antara saya dan dia, tetapi tepat dan cocok juga untuk dikisahkan kembali dalam kesempatan yang unik dan istimewa ini, sekadar untuk membuat catatan kenangan (obituarium) untuk beliau. Terakhir kali saya berjumpa dengan dia dalam perayaan Natal bersama warga Indonesia di kantor kedutaan besar Indonesia di Washington DC pada Minggu Pertama bulan Desember 2014 (saya tidak ingat lagi persis tanggalnya). Saat itu saya sedang menjalankan sandwich-programme pada Georgetown University dalam kerja-sama dengan Prof.Peter C.Phan. Untuk itu saya tinggal selama kurang lebih empat bulan di negeri Paman Sam itu. Sebuah pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Saat berada di Amerika itu, sesungguhnya sudah lama saya tahu bahwa kraeng Herman Hakim ada di Amerika Serikat. Terakhir ia bekerja pada kantor Voice of America seksi Indonesia. Tetapi sesudah pensiun, saya tidak tahu lagi ia bekerja di mana dan tinggal di mana. Bahkan saya juga tidak tahu ia tinggal di negara bagian mana di Amerika Serikat.


Maka saat berjumpa di kedubes tersebut saya juga rada terkejut. Ia sudah tampak tua, rada kurus (walau dalam foto tampak seperti gemuk, tetapi sesungguhnya ia kurus), rada pucat juga, batuk-batuk, dan tampak sakit-sakitan (flu akut). Ia tidak mengenal saya lagi. Maklum hanya berjumpa beberapa kali saja selama di Jakarta pada awal tahun 90an sebelum ia hijrah ke negeri Paman Sam untuk bekerja pada VOA. Oh ya, sekarang saya ingat. Saya beberapa kali berjumpa dengan dia di Jakarta. Kami pernah berjumpa pada waktu pemberkatan nikah dari teman angkatanku di Kisol (kira-kira pada tahun 1983an), almarhum Yosef Syukur Baut, di Gereja Paskalis, Tanah Tinggi. Saya hadir bersama Paskalis Bruno Syukur (sekarang Uskup Bogor) karena almarhum Yosef secara khusus mengundang kami di Biara Padua. Yang memberkati Yosef dan isterinya pada waktu itu ialah Pater Michael Cosmas Angkur Jadu OFM (sebelum beliau diangkat menjadi uskup Bogor; kraeng Herman juga hadir dan mengiringi beberapa lagu dalam upacara pemberkatan itu). Sesudah itu kami masih berjumpa beberapa kali lagi terutama di lapangan sepak bola di lapangan Pancasila, pada awal tahun 90an. Selebihnya saya tidak begitu ingat lagi. Pada tahun 2014 kami berjumpa kembali di Washington DC tanpa terduga-duga sama sekali. Walau ia tidak mengenal saya tetapi saya masih mengenal dia. Maka saya pun langsung mendekati dan menyalami dia. Dia terkejut ketika saya memperkenalkan diri kepadanya. Rupanya dia juga masih ingat akan nama saya walaupun wajah sudah tidak begitu ingat lagi katanya.


Dalam perjumpaan yang singkat itu kami menceritakan beberapa hal. Antara lain saat itu ia menceritakan tentang rencana dan keinginannya untuk pulang dan melewatkan masa tua di Labuan Bajo. Untuk itu ia berencana membeli tanah dan membangun rumah sederhana di Labuan Bajo. Bahkan ia sempat meminta informasi singkat mengenai harga tanah di Labuan Bajo kepada saya. Saya katakan saja bahwa harga tanah di Labuan Bajo sekarang sudah mulai mahal karena kota itu menjadi pintu gerbang kota pariwisata dunia dengan trademark Komodo yang terkenal mendunia itu. Ditambah lagi ada banyak pesohor dan pebisnis dari Jakarta yang ikut menanamkan uangnya dengan membeli tanah di Labuan Bajo. Hal-hal itu ikut melambungkan harga tanah di Labuan Bajo. Mendengar informasi itu sejenak ia tampak terdiam. Tetapi ia tetap mempunyai rencana untuk melewatkan masa tua di Labuan Bajo.


Topik pembicaraan itu kemudian kami lewatkan karena saya mencoba bertanya kepadanya tentang salah satu bakat dan hobinya yang juga sangat saya kagumi. Saat itu saya bertanya: apakah kraeng Herman masih menciptakan lagu? Betapa saya terkejut karena ia mengatakan bahwa ia sudah lama sekali tidak mengembangkan bakat dan kemampuannya yang satu itu. Spontan saya katakan kepadanya bahwa saya terkejut dengan kabar itu karena sesungguhnya saya kagum dengan bakat kraeng Herman. Saat saya mengatakan itu tampak wajahnya senang dan bersinar cerah. Lalu saya mengatakan bahwa ada salah satu lagu kraeng Herman yang sudah menjadi klasik dalam Madah Bakti (No.456) dan Puji Syukur (No.682; ia hanya tahu Madah Bakti; ia tidak tahu Puji Syukur yang memang lahir belakangan saat ia sudah di Amerika Serikat). Bahkan ia juga sudah lupa dengan lagu manakah itu. Lalu saya memberitahunya: lagu yang berjudul “Panggilan Tuhan.” Lalu saya mendendangkan sepotong lagu itu. “Panggilan Tuhan Bagi UmatNya di atas Bumi ciptaan-Nya, api cintaNya, nyala kasihNya sumber semangat bagi kita.” Ia tampak tersenyum senang dan bahagia saat saya mengidungkan lagu itu. Lagu itu sekarang akan selalu bergema pada saat gereja Katolik Indonesia merayakan hari minggu panggilan. Pasti lagu itu dinyanyikan di gereja-gereja Katolik, setidaknya di tanah Jawa. Ia juga tersenyum riang mendengar informasi itu. Lalu ia mengatakan, sebenarnya ia sudah tidak puas lagi dengan beberapa bagian dari melodi lagu itu. Tetapi ia tidak merinci bagian mana dari lagu itu. Lalu ia mengatakan: kiranya itulah lagu terakhir yang ia ciptakan. Maka sekali lagi, saya nyatakan rasa kecewa saya. Tetapi dia mengatakan, ya Frans, ada saatnya kita harus berhenti. (Saya mengangguk mengiyakan hal itu). Dalam hati saya mengulangnya: Ya, ada saatnya kita harus berhenti.


Lalu topik pembicaraan kami bergeser lagi. Tanpa saya duga sama sekali ia menyinggung karangan saya dulu di majalah Basis tentang nama orang-orang Manggarai. Ia mengatakan bahwa ia sangat senang dengan tulisan itu. Karena ia tahu bahwa saya ada di Washington dalam rangka sandwich-programme, maka ia bertanya apakah riset doktoratmu sekarang ini masih ada kaitan dengan tulisanmu di Basis itu? Saya katakan ya, sebenarnya ada beberapa bagian dari topik ph.d.,-research saya terkait dengan hal itu. Ada beberapa detail dari diskusi kami malam itu yang tidak usah saya singgung lebih lanjut di sini. Tetapi ada satu hal yang tidak terlupakan. Bahwa ia mengaku pernah bertemu dengan bapa Dami N.Toda (walau tidak sempat saya tanyakan di manakah pertemuan itu terjadi, apakah di Jakarta ataukah di Hamburg tempat berkaryanya bapa Dami di Jerman). Entah bagaimana prosesnya dalam pertemuan dan percakapan itu, konon bapa Dami memuji tulisan saya itu tentu tidak lupa dengan beberapa catatan kritisnya. Tentu saja saya terkejut dengan informasi itu. Kemudian saya beritahukan kepada pa Herman bahwa yang jelas, kurang lebih hampir dua tahun sesudah tulisan itu terbit di Basis (April-Mei 1991), muncul surat dari Hamburg yang ditujukan kepada saya. Surat itu berasal dari bapa Dami. Saya katakan kepada kraeng Herman bahwa saya sangat bangga mendapat surat tanggapan dari bapa Dami. Sebab saya merasa saat itu saya bukan siapa-siapa. Tetapi karangan saya mendapat tanggapan tertulis dari pa Dami. Saya informasikan hal itu juga kepada pa Herman. Bahkan saya katakan bahwa surat kraeng Dami itu juga memberikan beberapa detail usulan untuk memperkaya dan memperdalam perspektif historis-antropologis untuk riset saya tentang nama-nama orang Manggarai.


Akhirnya saya juga memberitahukan kepada pa Herman, bahwa bulan April 2002, di Belanda, akhirnya untuk pertama kalinya saya bertemu dengan bapa Dami di Stasiun Arnhem. Saya dari Nijmegen. Kraeng Dami dari Amsterdam, sebab ia menginap di tempat pa Paul Wao dari Namo, Lembor Selatan). Pa Herman menimpali: tentu itu pertemuan yang mengesankan. Saya katakan: bagi saya amat mengesankan. Karena bisa bertemu dengan penyair Manggarai yang terkenal dan saya sukai puisi-puisinya baik yang terbit di Horizon maupun di beberapa majalah sastra lainnya. Saya ceritakan bahwa saat bertemu di Arnhem itu kami tidak berbicara tentang tulisan saya di Basis. Kami punya tujuan lain. Kraeng Dami ingin agar saya temani dia mengunjungi museum militer Belanda di Arnehm. Tujuan kami hanya satu: mencari sebuah dokumen keputusan Ratu Belanda yang memerintahkan penangkapan kakeknya (Kraeng Laki Tekek Laki Mbangir) dalam perang Belanda melawan Todo di akhir tahun 1900an. Semula saya ragu apakah dokumen itu ada. Kraeng Dami meyakinkan saya bahwa memang ada dokumen itu. Dengan tekun saya meminta informasi kepada pegawai museum: Bahwa saya dan pa Dami mau mencari informasi tentang ini-itu. Lalu kami dibawa ke sebuah ruangan, semacam perpustakaan tempat disimpannya semua dokumen kolonial. Kami dipersilahkan mencari. Kami menuju rak Indonesia. Lalu rak Manggarai. Di situlah kami berhenti. Sayalah yang pertama kali menemukan dokumen itu. Lalu saya memberitahukan hal itu kepada pa Dami. Betapa saya terkejut karena pa Dami hampir setengah berteriak mengatakan “Inilah dokumen yang saya cari.” (Kraeng Herman tersenyum mendengar cerita saya itu). Mendengar teriakan itu, petugas datang. Ada apa pa? Inilah dokumen saya cari. Saya sudah temukan. Lalu mau apa? Tanya petugas itu. Saya hanya meminta anda agar mengkopi teks ini untuk saya. Saya sedang menyiapkan sebuah naskah buku tentang kakek saya ini.


Saya bisa melihat pa Herman mulai bosan dengan cerita saya itu. Lalu saya berpindah topik. Saya katakan: Kraeng dulu terkenal sekali di Ruteng e. Katanya: Ah tidak. Terkenal apa e? Begitu ia bertanya. Lalu saya katakan: saat itu saya masih di Kisol. Kalo tidak salah kraeng Herman sudah bekerja di STKIP Ruteng (yang saat itu kalau tidak salah namanya APK Ruteng). Dengan sangat hati-hati saya tanyakan tentang satu hal yang sebenarnya agak takut saya tanyakan. Karena itu, dengan hati-hati saya bertanya: kraeng Herman masih ingat Bruder Dismas-kah? Saat mendengar nama itu ia tertawa lebar sekali. Tertawa sumringah kata orang Jawa. Ia bertanya balik: Emangnya kamu kenal orang itu? Apa yang kamu dengar? Lalu saya katakan bahwa saya mendengar kraeng Herman menampar mukanya. Bagi saya kraeng hebat sekali: karena bisa menampar muka biarawan di tanah Flores. Itu luar biasa. Lalu dia bilang: aku tidak tahu lagi apa yang terjadi saat itu. Ya sudahlah. Itu sudah lewat. Yang jelas orang itu keluar toh. Ternyata ia butuh perempuan juga. (Sesungguhnya ia memakai bahasa kasar, sehingga saya tidak mau menuliskannya di sini). Saya hanya tersenyum menimpali cerita beliau.


Kami bercerita sambil menikmati santap malam lezat perayaan natal yang disediakan pihak kedutaan. Juga sambil mendengarkan beberapa orang yang membawakan lagu-lagu natal yang indah. Juga beberapa anak-anak orang Indonesia yang mementaskan beberapa tarian. Di tengah itu semua saya juga tidak lupa mengatakan kepada beliau bahwa saya ingat juga nama alias dite dulu waktu menulis: Herman Wela Sita. Keren Kraeng. Ia tersenyum juga mendengar itu.


Tanpa terasa sudah lewat jam 9.30 malam. Pesta diakhiri. Lalu saya bertanya kepada dia: apakah boleh sebelum pulang ke Indonesia, saya lejong ke tempat dia? Ia tidak mengiyakan, juga tidak menidakkannya. Ia hanya katakan bahwa nanti ia beritahu lewat pa Rahmat (pa Rahmat adalah staf kedutaan Indonesia di Washington DC; selama di Amerika saya indekost di rumah beliau di Maryland; kemudian dengan sangat berhati-hati pa Rahmat berkata kepada saya bahwa mungkin pa Herman tidak mengundang Frans datang karena ia indekost di rumah orang, tetapi tidak diketahui persis di rumah siapa; mendengar informasi itu saya urungkan niat untuk lejong).


Sampai saya terbang kembali ke Indonesia pada tanggal 22 Desember 2014 sore hari saya tidak mendapat kabar dari dia tentang boleh tidaknya saya lejong ke tempat dia. Lalu tibalah kabar duka ini beberapa hari lalu. Selamat jalan pa Herman. Perjalananmu ke tempat istirahat abadi, tempat di mana jiwa bisa berhenti, tiada lagi mencari yang tiada henti, selain tetirah dalam bahagia dan cahaya abadi, dan kita memandang dari muka ke muka wajah Allah yang berseri-seri. Tetapi lagu ciptaanmu dalam Madah Bakti akan terus bergema abadi di dalam kubah-kubah langit gereja suci, melambung bagaikan asap-asap dupa yang terbang menguap ke langit tinggi, tempat tahta suci surgawi menanti segala puji dari makhluk di bumi ini, merana dalam rintih menanti surgi di tinggi. Kraeng Herman, seperti katamu waktu itu, ya ada saatnya kita harus berhenti. Sekarang kraeng sudah berhenti dalam tetirah abadi di dalam nyala kasih cinta Tuhan yang pernah engkau dendangkan dalam syair lagumu itu.


Bandung, 23 Oktober 2018.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...