Friday, November 2, 2018

MENGHORMATI DAN MEMANJAKAN PANENAN DAN BENIH

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Pada awal bulan April 2018 yang lalu, saya dengan beberapa rekan dosen dan tenaga pendidik dari Fakultas Filsasfat UNPAR Bandung, mengadakan acara liburan dan pembinaan bersama ke Bali. Kami melewatkan 5 hari untuk tujuan dan kepentingan itu. Selama berada di Bali, kami mengunjungi beberapa tempat yang penting dan menarik. Tetapi ada satu tempat yang ingin saya catat dan perhatikan secara khusus di sini. Pada hari kedua dari kunjungan kami ke Bali, kami mengunjungi sebuah pabrik pembuatan anggur yang terletak di Pinggir pantai Saba (yang terletak di pantai Bali Timur). Itu adalah sebuah pabrik penilangan anggur modern milik seorang ibu yang berasal dari Jakarta. Setelah memasuki usia pensiun ia membaktikan diri dan seluruh hidupnya untuk memberdayakan hidp para petani di daerah Saba dan sekitarnya dengan menjadi para petani anggur.

Selama berada di tempat itu, yang bernama Sababai Winery (Pengilangan Anggur Pantai Saba) kami melewatkan beberapa rangkaian acara. Tetapi saya mau menyoroti salah satu acara yang menurut saya amat menarik. Oleh si pemilik penilangan anggur, kami diperkenalkan untuk masuk ke dalam pabrik itu sendiri. Di sana kami berjumpa dengan beberapa orang karyawan. Ada satu pegawai yang ahli pembuatan anggur yang secara khusus datang dari Perancis untuk bekerja pada pengilangan anggur tersebut. Orang ini menunjukkan kepada kami beberapa mesin dan teknologi penyimpanan anggur yang sudah dikilang. Tetapi ada satu mesin yang sangat menarik perhatian saya. Si orang Perancis itu (sayang saya sudah lupa namanya) mengatakan bahwa mesin ini mempunyai fungsi yang sangat khusus dan unik dalam seluruh proses pengilangan tersebut. Yaitu mesin itu dipakai untuk “memanjakan” anggur yang baru saja dipetik dan dibawa dari ladang atau kebun anggur para petani. Ia mengisahkan kepada kami bahwa setelah dibersihkan anggur-anggur dari kebun tadi dimasukkan ke dalam mesin khusus itu. Ia mengatakan bahwa anggur-anggur itu harus “dimanjakan” di dalam mesin khusus ini. “Dimanjakan” itu maksudnya diperlakukan dengan sangat khusus. Misalnya, suhunya harus diatur, pergerakan dan perputaran mesinnya juga harus diatur, tingkat kebisingan bunyi mesin juga harus diatur. Pokoknya semua harus diatur agar semua berjalan seakan-akan buah-buah anggur itu sedang dibuai.

Mendengar cerita itu maka saya pun bertanya kepada dia: “Mengapa anggur-anggur itu harus diperlakukan dengan cara yang sangat khusus dan istimewa seperti itu?” Jawaban yang ia berikan kepada kami bagi saya sangat menarik: “Agar anggur-anggur itu tidak stress.” Secara spontan saya pun berseru: “Wow!”. Lalu saya pun bertanya juga: “Kok anggur bisa stress?” Begitulah reaksiku secara spontan. Lebih lanjut saya juga bertanya kepadanya: “Emangnya kalau anggur-anggur itu stress, apa yang akan terjadi?” Si Perancis itu mengatakan bahwa kalau anggur-anggur itu stress maka mereka tidak akan mengeluarkan air sama sekali. Seakan-akan mereka mutung, marah, dan kabur atau pergi dan menghilang entah ke mana. Dalam hati saya bertanya: “Kok bisa begitu yah?” “Mengapa begitu?”

Tetapi pada saat si orang Perancis itu mengatakan dan mengungkapkan semuanya itu, serta-merta saya pun teringat akan perlakuan yang diberikan oleh orang-orang tua di Manggarai dulu kepada panenan dan juga khususnya kepada benih yang akan ditanam (baik itu jagung maupun juga padi). Orang-orang Manggarai dulu memperlakukan panenan itu dengan sangat hati-hati dan bahkan juga dengan sangat hormat. Mereka sangat memanjakan panenan itu. dalam bahasa Manggarai dikatakan bahwa mereka “embong” (menggendong di punggung) panenan itu dengan diiringi lagu untuk meninabobokan (dalam bahasa Inggris cuddle) mereka. Pada awal tahun 70-an saya masih menyaksikan sikap dan perlakuan hormat yang diperlihatkan kakek saya kepada hasil panenan khususnya beberapa bagian panen yang khusus disiapkan menjadi benih (wini).

Menurut penelitian si Antropolog Amerika (yang menjadi salah seorang ahli spesialis Manggarai, jadi layak disebut Manggarainist), Maribeth Erb, bahkan panenan (jagung dan terutama padi) yang baru pertama kali dibawa dari ladang ke lumbung di rumah, diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Harus diarak dengan iringan nyanyian. Dalam perarakan itu si ritual-man juga harus mengenakan hiasan kepala yang dianyam dari bulir-bulir padi (disebut bali-belo). Begitu sampai di gerbang kampung (lewang), panenan yang baru dibawa dari ladang itu disambut laksana tamu baru (meka weru) yang sangat terhormat. Maka di gerbang penyambutan akan ada ayam, tuak, sirih dan pinang (standar perlengkapan untuk menerima tamu terhormat).

Masih menurut Erb, perlakuan istimewa itu dimaksudkan agar jiwa dari panenan dan benih itu tidak kabur. Sebab jika hal itu terjadi, maka panenan yang masuk itu kosong, dan benih tidak akan tumbuh pada musim tanam yang akan datang. Oleh karena itu panenan harus diperlakukan dengan sangat baik, dimanjakan, digendong, diembong (di-embong) agar jiwanya tidak mutung dan kabur entah ke mana. Dari masa kecil (tahun 70an) saya teringat akan lagu berikut ini, yang dalam perkembangannya menjadi lagu nina-bobo untuk anak-anak, tetapi yang aslinya kiranya berasal dari ritual penghantaran dan penjemputan panenan raya dari ladang ke kampung (lagu itu saya peroleh dari ayah saya yang sudah saya hafal sejak saya masih kecil). Syair lagu itu berbunyi sbb: “Oouo...oouo...o....lelele....latung de lau galung (woja de lau lokang) o ende lelele... rendung lelo deu o ende lelele... ae ae o, ia ia o, o pari tana sale.... eko mole.... e ndai eko mole kali ngoengn ge a.” (Yang secara garis besar artinya kira-kira demikian: Oouo...oouo...o...lelele... jagung di kebun yang luas (padi di kebun yang lama) wahai ibu lelele... rimbun sekali kelihatannya dari jauh wahai ibu lelele... ae ae o, ia ia o, o jemur di tanah barat. Digendong saja... eh.... ia hanya ingin digendong saja). Lagu itu diulang-ulang di sepanjang perjalanan dari ladang ke kampung hingga tiba di gerbang (lewang) kampung. Jadi, intuisi manusia Manggarai dulu, kiranya tidak main-main, sebab ternyata intuisi “purba” itu juga masih dipraktekkan oleh sebuah pabrik pengilangan anggur yang memakai peralatan dan teknologi modern. Luar biasa.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...