Saturday, November 3, 2018

ANOTASI DAN CATATAN KAKI

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Ada seorang filsuf besar abad keduapuluh (bernama Alfred Noth Whitehead), yang pada suatu saat mengatakan bahwa hanya ada satu saja filsuf besar, filsuf sejati dan filsuf utama di sepanjang sejarah Filsafat. Filsuf itu tidak lain ialah Plato. Filsuf lain sesudah dia hanyalah memberi komentar saja atas Plato. Tepatnya menurut dia Filsafat-filsafat para filsuf pasca Plato hanya sekadar memberi catatan kaki pada Plato. Jadi, filsuf original hanya satu yaitu Plato. Yang lain hanya komentator saja atas Plato; yang lain hanya tukang memberi anotasi saja pada filsafat Plato; yang lain itu hanya sekadar memberi catatan kaki (footnote) pada filsafat Plato yang dianggapi orisinal. Mungkin saja pernyataan ini terlalu berlebih-lebihan. Tetapi untuk sementara saya mau menerimanya di sini.

Jika memang benar demikian halnya, maka dalam sejarah Filsafat catatan kaki paling pertama atas pemikiran filosofis Plato dibuat oleh Aristoteles, seorang murid Plato yang paling terkenal. Kalau Plato memandang ke dunia Idea, dunia atas, yang disimbolkan dengan langit dan bintang-bintang, celestial bodies, maka Aristoteles memandang ke bumi, ke dunia nyata, dunia empiris, dunia sehari-hari, yang dilambangkan dengan kulit bumi, lumpur dan bebatuan tempat kita berdiri dan berjalan setiap hari. Singkatnya Plato itu idealisme, dan Aristoteles itu realisme atau empirisme. Itu sebabnya kedua orang ini sering digambarkan secara karikatural sebagai orang yang sedang berjalan bersama-sama, tetapi dengan arah tatapan berbeda. Yang satu ketika berjalan, seraya memandang ke atas yaitu ke langit dan bintang-bitang, simbol dunia idea itu, dunia atas itu. Itulah Plato. Sedangkan yang lain, yaitu Aristoteles, berjalan dengan memandang ke bawah, ke kakinya sendiri, ke bumi, ke bebatuan dan lumpur-lumpur, simbol dunia yang nyata, dunia empiris, dunia yang dapat diinderai, dunia yang dapat dialami secara inderawi. Masing-masing dengan risiko sendiri. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangan. Aristoteles yang tidak berjalan menengadah ke atas kehilangan kesempatan untuk menikmati keindahan dunia atas, dunia langit, terutama di malam hari, yang di Timur Tengah sana, konon sangat mempesona. Sebaliknya, Plato yang berjalan hanya dengan menengadah ke atas, bisa saja kakinya terantuk pada batu karena ia tidak melihat ke bawah, ke mata kakinya. Terantuk pada batu bisa menyebabkan dia jatuh tersandung, kaki terluka dan berdarah-darah.

Aristoteles sebagai seorang murid Plato tentu sangat menghormati dan mencintai Plato, sang guru. Kiranya hal itu sudah pasti dengan sendirinya. Sebuah relasi yang memang khas dalam pelbagai kawasan di dunia ini antara guru dan murid. Kira-kira seperti relasi guru-murid di Pesantren. Walaupun Aristoteles mencintai dan menghormati sang guru, hal itu tidak mencegah Aristoteles untuk bersikap kritis dan mengkritisi sang guru dan pandangan dan konsep filosofisnya. Daripada sekadar bersikap tunduk, memang Aristoteles lebih suka bersikap kritis terhadap sang guru. Tetapi ia bersikap kritis bukan demi sikap kritis itu sendiri melainkan demi menggapai dan juga membela kebenaran.

Karena itu, pada suatu saat ia berkata tentang sang guru: Aku mencintai Plato, tetapi aku lebih mencintai kebenaran. Mencintai Plato adalah menyangkut relasi personal. Sedangkan mencintai kebenaran adalah perkara kebenaran ilmiah. Demi mengupayakan apa yang ilmiah ini Aristoteles mengorbankan apa yang ada pada level relasi personal itu dan ia lebih mengutamakan hal yang berkaitan dengan substansi kebenaran itu sendiri. Karena itu, Aristoteles pun meninggalkan lorong orientasi pemikiran filosofis Plato sang Guru, lalu mulai meretas lorong pemikiran filosofisnya sendiri, yang dianggapnya sebagai kebenaran dan terasa jauh lebih realistik daripada idealisme Plato. Jadi dalam hal ini, di satu pihak Aristoteles itu hanya memberi catatan kaki saja pada filsafat Plato. Tetapi serentak juga di pihak lain, justru di sana ia mencapai dan membangun originalitasnya sendiri sebagai seorang filsuf dan aktifitas berfisafatnya. Kita tidak pernah tahu (setidaknya sejauh yang bisa saya ketahui sampai saat ini) bagaimana Plato (sang guru) sendiri memandang dan menilai pemikiran filosofis sang murid ini. Tetapi kiranya ia menghargainya sebagai sesuatu yang tetap bernilai pada dirinya sendiri. Bukan hanya sekadar sebuah anotasi atau catatan kaki belaka. Ia pasti menghargai orisinalitas pemikiran filosofis sang murid.

Di sini saya tiba-tiba teringat akan cerita di antara para rabi Yahudi mengenai hubungan Musa dan para rabi di kemudian hari yang mengisi hidupnya dengan aktifitas menafsirkan Taurat. Sedemikian canggih dan rumitnya studi dan penelitian para rabi atas kitab Taurat, maka Musa pun tergoda untuk turun dari surga dan menyelinap ke dalam kelas seorang rabi yang sedang membimbing muridnya membaca dan menafsirkan Taurat. Rabi itu sudah mengembangkan banyak teori hermeneutik untuk menafsirkan dan memahami Taurat. Konon Musa menjadi pusing karenanya. Lalu ia keluar dari kelas itu dan berkata bahwa anak-anak saya ini (yakni para rabi) sudah lebih cerdas. Dengan cerita seperti ini, tradisi para rabi mau mengatakan bahwa Musa, sang guru Hukum dalam tradisi Yahudi, sudah mengakui studi dan independensi pengikutnya yang memang mengikuti dia dalam lorong mendalami dan mencintai Taurat tetapi mereka mengikuti dia dengan kreatif. Tafsir Taurat tidak lagi terbatas pada kecerdasan dan inteligensia Musa, melainkan diserahkan kepada generasi berikut yang memiliki perlengkapan hermeneutik yang lebih canggih untuk membantu penafsiran dan pemahaman.

Kembali lagi kepada relasi Plato dan Aristoteles. Kiranya Plato tetap menghargai kredibilitas sang murid. Ia bahkan berbangga. Setiap guru pasti berbangga jika ada muridnya yang sukses dan menjadi cemerlang walau mungkin di hati kecilnya ia berharap agar murid itu tidak akan pernah melampaui kebesaran sang guru, setidaknya selama sang guru masih hidup. Jika dilihat dengan cara seperti ini, maka kita sekarang pun masih tetap punya peluang dan ruang untuk menjadi filsuf sejati, tidak hanya sekadar pemberi catatan kaki pada Plato. Atau kalau toh hanya menjadi penulis catatan kaki pada filsafat Plato, semoga kita bisa melakukan hal itu secara sangat brilian dan original sebagaimana pernah dilakukan Aristoteles.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...