Friday, December 23, 2016

NATAL MINIMALIS DAN EKSISTENSIALIS

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Natal minimalis. Apa itu? Saya belum segera menjawabnya sekarang. Nanti dalam proses akan menjadi jelas apa arti dari ungkapan ini. Saat itu, untuk kedua kalinya secara berturut-turut saya tidak dapat ikut serta bersama keluarga kecilku merayakan hari Natal di gereja dan di rumah kami. Sedih juga rasanya.

Yang pertama, terjadi pada Natal tahun yang lalu (2014), karena saya sedang dalam perjalanan pulang dari Washington DC ke Jakarta. Saya terbang dari Bandara Dulles (Philadelphia) pada malam hari tanggal 23 Desember dan tiba di kota Doha, Qatar kira-kira jam 4 sore hari berikut tanggal 24. Saya harus menunggu penerbangan berikut ke Jakarta, selama kira-kira 8 jam lebih. Saya menunggu di dalam ruang tunggu Bandara Doha karena jadwal penerbangan berikut kira-kira pukul 1 dinihari. Lagipula saya juga tidak bisa menanggalkan bandara karena saya tidak mempunyai visa untuk masuk Qatar. Selama menunggu di bandara Doha itulah saya merayakan natal minimalis saya.

Apa itu? Kira-kira sbb: Saya mencoba menciptakan suasana dan ruang hening dalam hatiku sendiri, dengan cara memejamkan mataku. Setelah saya merasa sudah bisa mendapatkan suasana hening itu dalam hati saya, lalu saya mulai menyanyikan lagu klasik ekumenis natal, Malam Kudus dalam dua bahasa, Indonesia dan Manggarai (bahasa Ibuku). Saya menyanyi kecil dengan suara menggumam dan saya merasa aman karena orang-orang cukup jauh dari kursi tempat saya duduk di ruang tunggu bandara Doha (Qatar). Apalagi suasana ruang tunggu sangat ramai, ada banyak suara walaupun tidak sampai terasa sangat bising. Di beberapa tempat juga tampak beberapa hiasan (ornamen) Natal. Butuhkan waktu kira-kira empat sampai lima menit untuk menyanyikan lagu itu, masing-masing satu ayat saja. Saya menyanyikannya sambil merem, dalam suasana ruang doa minimalis, hening-bening. Saya terhanyut dalam doa dan suasana natal dalam hatiku sendiri.

Begitu saya selesai menyanyi, saya membuka mata, dan tepat di samping kiriku ada seorang perempuan cantik, masih muda. Ia berbaju panjang dan berkerudung indah: “Are you a Christian?” Begitu tanyanya sambil tersenyum manis, bahkan teramat manis? Saya mulai rada takut dan curiga: “Jangan-jangan ini polisi sari’ah yang menyamar seperti calon penumpang.” Begitu gumamku dalam hati. Tetapi karena ia bertanya dengan sangat ramah dan tersenyum manis, maka saya pun dengan terus terang dan berani mengatakan, “Yes I am. How do you know it?” begitu kataku balik bertanya kepadanya: “Hmmm...from the song you sang (humming). Is it a “Silent Night” right? What a simple but a very beautiful song composed by an Austrian Priest.” Saya tersenyum mengagumi pengetahuannya tentang lagu tersebut. Memang itu benar: lagu itu diciptakan seorang pastor katolik tetapi kini menjadi lagu Natal ekumenis, yang pasti dinyanyikan di hampir semua gereja dari pelbagai denominasi yang ada. Luar biasa. Tiba tiba dia ulurkan tangan: “Then merry christmas for you sirrr...” “Ipran” (I said, introducing myself to her)...., “sir Ipran.” “I am Anissa. I am from Yamman, precisely South Yamman. I am on my flight-journey to Malaysia. To celebrate new year eve in my friend's house. Malaysia is more liberal compared to Yamman, in terms of the rules on woman's dress. For example, in Malaysia I can put off this jilbab and can walk on the street without being afraid of being watched by others.”

Saya terkejut sekali dengan pernyataan itu. Bukankah anda muslim? Lalu dia bilang, “Actually I am not. But I will not tell you. Let me give you a clue. I am from a mixed marriage family. My mother from Russia and my father from Yamman. My mother is a stubborn pious Christian lady. And I am a daughter of such lady.” Dan tentu saja saya cukup terkejut juga dengan pengakuan dan perkenalan diri dia yang serba sekilas itu. Saya pun bertanya lagi kepadanya: “Apa kata bapamu tentang hal itu?” Dia tersenyum saja dan berkata: “Bapaku tidak banyak menyoalkan hal ini; bagi dia yang penting hidup kami sebagai sebuah keluarga rukun-rukun dan damai saja. Itu sudah cukup.” Cerita ini saya hentikan di sini karena sesungguhnya percakapan kami panjang tetapi saya harus pindah ke topik lain yang menjadi focus dari tulisan ini.

Pengalaman yang kedua, ya terjadi malam 24 Desember 2015 silam. Saat itu saya merasa sejak balik dari Yogya minggu yang sebelumnya, saya merasa kurang fit. Badan saya terasa lemah. Terkadang suhu badan bisa berubah tiba-tiba naik. Maka saya pun memutuskan untuk tidak ikut ke gereja. Akhirnya, Atin, Yoan, Agung ke gereja bertiga. Saya menunggu di rumah. Sekitar jam tujuh malam saya laksanakan lagi ritual saya, ritual natal minimalis, persis sama dengan apa yang saya lakukan di atas tadi. Sedih sekali rasanya karena tidak bisa pergi bersama-sama keluarga ke gereja. Padahal ini adalah sebuah kesempatan yang sangat langka. Biasanya kedua anak kami tinggal jauh dari kami, yang satu di sebuah sekolah berasrama van Lith di Muntilan, yang lain kost di Babarsari Yogyakarta dekat kampusnya di UAJY. Saat mereka libur sebenarnya merupakan kesempatan emas bagi kami untuk bisa tampil lengkap dan utuh sebagai keluarga di tengah jemaat gereja di paroki kami. Sayangnya hal itu tidak bisa terjadi. Itulah yang membuat saya menjadi sangat sedih.

Pengalaman natal-minimalis ini tiba-tiba mengingatkan saya akan dua hal. Pertama, sebutan itu mengingatkan saya akan natal tahun 2003. Saat itu saya sedang dalam perjalanan dengan Bis pulang ke Flores untuk menghadiri pernikahan seorang saudari saya di sana. Saya menempuh perjalanan darat dengan bis dari Jakarta ke Bima bersama dengan dua atau tiga saudariku. Tadinya kami berharap bahwa pada tanggal 24 Desember siang kami sudah bisa tiba di kampung halaman orang tuaku, Dempol. Ternyata ada banyak rintangan di jalan. Akhirnya malam natal saya lewatkan di penginapan pelabuhan penyeberangan Sape. Pada hari-hari itu, kami tidak bisa segera menyeberang pagi hari karena tidak ada ferry yang mengangkut kami. Kami baru bisa menyeberang pada keesokan harinya. Akhirnya malam natal itu kami lewatkan di sana, di penginapan di Sape. Itulah natalku yang pertama di dalam perjalanan. Tetapi pengalaman itu menjadi sebuah pengalaman yang istimewa karena hal itu serta-merta menyadarkan saya bahwa natal sesungguhnya (paling tidak menurut Injil Lukas) adalah sebuah peristiwa yang terjadi dalam rangka dan konteks sebuah perjalanan mudik (pulang kampung). Natal adalah sebuah peristiwa iman dalam perjalanan. Sejak saya menyadari hal itu untuk pertama kalinya, maka hal itu tidak pernah lagi hilang dari kesadaran rohani saya. Saya bahkan pernah menulis sebuah tulisan singkat dan sederhana tentang hal itu dalam majalah paroki kami di Bandung, Bergema.

Kedua, saya tiba-tiba teringat akan sebuah pengalaman masa kecilku. Ayah saya adalah seorang guru SD yang bekerja di SD yang menjadi pusat paroki. Memang sebagian besar karir ayah saya sebagai guru selalu mendapat tempat di pusat Paroki, kecuali di SDK Arus. Yang lainnya adalah pusat paroki semuanya; seperti misalnya di Wewo, kemudian di Ketang, dan akhirnya di Rangga. Ketiga SDK ini adalah pusat paroki. Oleh karena itu, setiap kali hari raya (natal, paskah, pentakosta), rumah kami selalu penuh dengan tamu yang datang menginap. Mereka adalah keluarga-keluarga guru ataupun bukan guru, yang datang dari sekolah-sekolah yang terletak di stasi-stasi yang jauh untuk merayakan hari raya terkait. Misalnya di sini hari raya natal. Dalam situasi seperti ini ibu saya menjadi orang paling sibuk sedunia. Sejauh saya ingat, saat itu ibu hampir tidak pernah bisa ikut ke gereja. Saya ingat hal itu terjadi pada tahun 70 ataupun 71. Pada saat itu, Pastor memang sudah tinggal di dekat sekolah kami tetapi gereja belum dibangun. Gereja masih harus ke kampung tetangga, yaitu Rejeng; sebab memang pusat paroki sebelumnya terletak di Rejeng ini, sebelum akhirnya dipindahkan ke Ketang. Pada malam natal itu saya ingat juga bahwa saya tidak bisa menemani papa ke gereja karena hujan, sungai banjir, dan saya sendiri juga sedang sakit. Maka kami tinggal di rumah. Kami berlima. Kakak sulung ke gereja karena tugas koor anak sekolah dasar. Saya dan ketiga adik saya yang masih kecil tinggal di rumah bersama mama kami. Saat itu saya duduk di kelas dua atau tiga SD.

Seperti biasa, pada saat-saat seperti itu, mama selalu sibuk di dapur. Saat ketiga adik saya (simus, rius, kanis) sudah pada makan malam dan tidur, saya melihat mama sesekali keluar rumah di malam yang gelap gulita itu. Tidak lama. Hanya sebentar saja. Lalu dia masuk lagi ke dalam rumah. Pada saat itu dia selalu bilang begini kepada saya: “Belum nana. Belum selesai misa natal-nya.” Kira-kira hampir setengah sepuluh malam, saya diajak mama keluar rumah. Malam terasa dingin. Gelap sekali di luar. Sebagai seorang anak kecil saya biasanya rada takut berada di luar rumah di malam hari. Tetapi malam ini tidak. Sebab begitu kami berada di luar rumah, kami menyaksikan sebuah pemandangan yang indah. Ya, betapa pemandangan malam itu sangat indah. Dari daerah sekitar gereja di Rejeng gerombolan orang-orang tampak bergerak secara perlahan-lahan menjauh dari gereja yang semula tampak terang karena lampu gas (sebutan lokal untuk lampu petromax), tetapi lama kelamaan gereja itu mulai tampak redup dan akhirnya gelap sama sekali. Satu persatu lampu petromax dibawa pulang oleh para pemiliknya untuk menerangi perjalanan mereka pulang ke rumah masing-masing. Nah perjalanan cahaya lampu di tengah malam gelap itulah yang sangat indah dalam ingatan dan kenangan saya. Ada juga yang berupa obor-obor yang bernyala.

Hal yang menarik ialah bahwa di tengah kegelapan malam dan di kejauhan nyala-nyala api itu tampak seperti berjalan sendiri, melayang-layang di dalam kegelapan malam, sebab orang-orang yang membawanya tidak tampak sama sekali; mereka seakan-akan tenggelam dan tertelan dalam kegelapan malam. Karena merasa pasti bahwa itu adalah lampu-lampu natal umat serani yang baru bubar misa, maka saya tidak takut sama sekali. Tentu saja itu bukan api ja, api yang dalam kepercayaan orang Manggarai adalah api setan. Oh, pasti itu bukan api ja. Itu adalah nyala api natal yang bernyala-nyala dalam kegelapan malam dan di atas kepala-kepala manusia yang baru pulang dari gereja. Pasti nyala api natal itu juga sudah bernyala di dalam hati mereka masing-masing. Malam natal telah tiba. Gloria in excelsis Deo, Christus natus est in Betlehem.
Mama biasanya berdiri dengan tenang memandang itu semua, sambil ia memberi keterangan cukup rinci mengenai arah tujuan perjalanan lampu-lampu di malam gelap itu: “Nana Ransis, cahaya yang dibawa orang-orang itu akan menuju ke kampung ini (sambil menyebut nama kampung tersebut), dan cahaya orang-orang itu pasti akan menuju ke kampung ini (sambil menyebut namanya).” Ya, mama hafal semua nama-nama kampung yang terletak di sekitar paroki kami. Lalu ia tiba-tiba berkata lagi: “Nak Ransis, dengan perjalanan cahaya-cahaya itulah saya bisa membayangkan natal para gembala di padang di luar kota Betlehem dulu.” Hanya itu yang ia katakan kepada saya. Tetapi kalimat singkat itu sangat kuat berkesan dalam hati saya, hingga sekarang ini.

Jauh di kemudian hari, ketika saya sudah dewasa dan sudah berjalan begitu jauh dalam studi teologi dan kitab suci, saya akhirnya mengistilahkan natal ibu saya itu, natal minimalis, tetapi walau minimalis sangat efektif membawa dekat hati kita ke rasa natal dalam devosi saleh hati kita masing masing. Ya, itu natal minimalis tetapi sekaligus juga sangat eksistensialis. Saya ingat malam itu ibu sama sekali tidak takut berada di luar di dalam kegelapan malam. Sebab ada banyak juga cerita tentang perjalanan api malam yang serem. Api ja, api data tako (api yang dibawa para pencuri yang berkeliling kampung untuk melakukan aksinya mencuri ternak orang kampung). Malam natal tidak ada api yang serem. Cahaya malam natal adalah cahaya obor atau petromax dalam perjalanan pulang dari gereja ke kampung masing masing.

Bandung, 24 Desember 2016.
artikel sudah ditulis desember 2015

4 comments:

JOHNOSA said...

Kraeng Frans yang baik. Pertama-tama saya ucapkan proficiat utk promosi doktoral kraeng tua, dan selamat Natal tentunya. Artikelnya menarik kraeng tua "Natal minimalis dan eksistensialis". "Natal minimalis", sdh dijelaskan secara lugas berdasarkan pengalaman eksistensialis. Mudah dipahami karena Natal menjadi sesuatu yang hidup. Inilah makna Natal sesungguhnya, hidup sederhana, penuh damai, dalam kehening hati yang bukan minimalis tetapi semarak meriah. Natal keluarga kudus adalah natal minimalis, lahir dikandang binatang, hanya ada Maria dan Yusuf, diterangi bintang surgawi. Pengalaman minimalis itulah yang menjadi dasar keselamatan yang mendunia.Para gembalalah yang pertama mengetahui dan mewartakan kabar sukacita surgawi. Natal minimalis seharusnya petromax yang tepat untuk menerangi pengalaman eksistensialis kita. Tabe, selama Natal utk bapak keluarga.

JOHNOSA said...

Kraeng Frans yang baik. Pertama-tama saya ucapkan proficiat utk promosi doktoral kraeng tua, dan selamat Natal tentunya. Artikelnya menarik kraeng tua "Natal minimalis dan eksistensialis". "Natal minimalis", sdh dijelaskan secara lugas berdasarkan pengalaman eksistensialis. Mudah dipahami karena Natal menjadi sesuatu yang hidup. Inilah makna Natal sesungguhnya, hidup sederhana, penuh damai, dalam kehening hati yang bukan minimalis tetapi semarak meriah. Natal keluarga kudus adalah natal minimalis, lahir dikandang binatang, hanya ada Maria dan Yusuf, diterangi bintang surgawi. Pengalaman minimalis itulah yang menjadi dasar keselamatan yang mendunia.Para gembalalah yang pertama mengetahui dan mewartakan kabar sukacita surgawi. Natal minimalis seharusnya petromax yang tepat untuk menerangi pengalaman eksistensialis kita. Tabe, selama Natal utk bapak keluarga.

canticumsolis said...

Ase JOHNOSA yang baik. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih banyak atas apresiasi dite untuk promosi doktoral saya. Kedua, saya juga ucapkan terima kasih banyak atas perhatian dite yang meluangkan waktu untuk menulis komentar di sini. Ketiga, sekaligus saya juga mau berkenalan lebih lanjut dengan ite. Pasti ite ata Manggarai sebab memakai beberapa kata manggarai dalam komentar ini (Kae, tabe, kraeng tu'a). Karena itu saya juga mau bertanya siapakah nama lengkap dite? Terima kasih banyak yah atas tanggapannya. Oh ya apakah OSA di akhir JOHN itu berarti sesuatu? Misalnya, mungkin nama sebuah konggregasi religius, OSA? Apakah kita pernah berkenalan sebelumnya? Kalau ya, di mana? Terima kasih banyak. Akhirnya, saya juga mau mengucapkan terima kasih atas tilikan singkat dite terhadap artikel saya di atas. Bahwa ite menukik ke dalam ungkapan NATAL MINIMALIS DAN EKSISTENSIALIS, itu adalah tanda bukti yang jelas bagi saya bahwa pesan yang ingin saya sampaikan kepada para pembaca memang sudah sampai. Terima kasih atas kerjasama ini. FRANS.

canticumsolis said...

Ase JOHNOSA ybk.
Dalam rangka mengenal komentator saya dengan lebih baik, saya sudah berusaha melakukan penelusuran terhadap Blog anda. Nama Blog anda ialah KEBENARAN. Aktif sejak tahun 2009. Tetapi tidak saya temukan satu pun publikasi di sana. Bahkan terkesan bahwa Blog anda itu tidak aktif sama sekali sejak awal. Memang pada tahun 2011 ada sebuah publikasi. Tetapi ketika saya coba klik, tidak muncul apa-apa. Sayang sekali. Mengapa tidak diteruskan? FRANS.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...