Showing posts with label kumpulan artikel. Show all posts
Showing posts with label kumpulan artikel. Show all posts

Sunday, June 14, 2020

JEAN PAUL SARTRE, F.X. KIM CHI HA, PRAMUDYA ANANTA TOER: SOLIDARITAS INTERNASIONAL

Oleh: Fransiskus Borgias M. 



Beberapa hari yang lalu, seorang teman dosen (Samson Ganda Silitonga) di Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, mengunggah sebuah tulisan yang menurut saya bagus di whatsapp group kami di MKU unpar. Tulisan itu mencoba mengenang 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dengan Russia. Itu berarti hubungan itu sudah mulai diintensifkan pada tahun 1950. Jadi, hubungan itu terjadi sesudah Indonesia menjadi negara merdeka selama lima tahun. 

Penulis itu bertanya, apakah tahun-tahun sebelumnya tidak ada artinya sama sekali dalam rangka membangun hubungan diplomatik itu? Jawaban beliau rasanya bagi saya tidak begitu jelas. Tetapi yang saya tangkap ialah bahwa sebenarnya tahun-tahun itu juga mempunyai peranan penting di dalam proses membangun dan membentuk hubungan diplomatik itu sehingga terbentuklah apa yang disebut poros Moskwa-Jakarta. Tetapi kemudian, di dalam perkembangannya, poros hubungan itu sedikit banyak terganggu karena adanya sebuah poros diplomatik baru, Jakarta-Peking. Dengan adanya poros-baru ini, orang seakan-akan seperti ingin meninjau ulang tentang hubungan poros lama Jakarta-Moskwa. Kemudian beliau menyinggung beberapa detail lagi yang kiranya tidak perlu saya singgung di sini. 

Hal yang mau saya singgung lebih lanjut di sini ialah bahwa dalam tulisan itu dia juga menyinggung nama besar filsuf eksistensialisme Perancis, Jean Paul Sartre. Menurut Prof.Kees Bertens, dalam bukunya Filsafat Barat Abad XX, Prancis, Jilid 2, Sartre di dalam percaturan dan pergerakan politik di Prancis selalu sangat kekiri-kirian dan dia menaruh simpati yang tinggi kepada Marxisme dan komunisme, sebagai antitesis dari rasa alergi dia terhadap kapitalisme (hlm.86-87). "Pendiriannya selalu berhaluan kiri dan penuh simpati dengan partai-partai kiri." (hlm.87). Tetapi Sartre tidak pernah mau menjadi anggota partai Komunis (hlm.87). Berkat haluan pergerakannya yang kekiri-kirian itu, maka Sartre bisa mengunjungi beberapa negara Blok Timur yang hingga saat itu sangat tertutup bagi orang dari Eropa Barat (hlm.88). Misalnya, Sartre bisa mengunjungi Moskwa, Cina, dan Cuba. 

Di atas tadi sudah dikatakan bahwa sejak tahun 50an, sudah terbentuk hubungan diplomatik poros Jakarta-Moskwa. Namun demikian, begitu dikatakan oleh teman dosen saya itu, Sartre tidak pernah mau datang mengunjungi Jakarta sebagai semacam dukungan untuk Jakarta. Nah, terkait dengan hal itu saya pun bertanya, apakah Sartre pernah menaruh peduli pada nasib para tahanan politik komunis di pulau Buru. Pertanyaan historis-kritis ini muncul dalam diri saya karena sejauh yang saya ketahui Sartre juga menaruh kepedulian pada orang-orang yang dituduh komunis di beberapa tempat yang lain. Tidak hanya orang-orang Komunis yang ia perhatikan. Gerakan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Aljazair juga ia dukung dengan sepenuh hati bahkan sampai hampir merenggut nyawanya karena ancaman bom yang dipasang oleh para lawan politiknya. 

Terkait dengan rasa solidaritasnya terhadap pelbagai tokoh dan perjuangan di mana pun di seluruh dunia, saya mau membagi sharing apa yang saya ketahui sekilas dari Korea Selatan. Pada tahun 1990an saya pernah menerjemahkan sebuah buku yang berisi tentang seorang penyair-sastrawan-pejuang Korea Selatan yang ditangkap dan ditawan oleh rezim otoriter Korea Selatan pada tahun 1970an itu. Kalau dipikir-pikir, nasib sang sastrawan Korea Selatan itu, kurang lebih sama dengan nasib sastrawan di Indonesia yang juga menderita di bawah rezim Otoriter, misalnya Rendra dan Mochtar Lubis. Rasa-rasanya nasib mereka kurang lebih sama, juga pada kurun waktu yang sama. 

Nama sang sastrawan itu ialah Fransiskus Xaverius Kim Chi Ha. Dia adalah seorang penganut iman Katolik yang saleh dan taat. Hal itu tidak sangat mengherankan, mengingat fakta historis bahwa iman Kristiani memang sudah sangat berurat-berakar juga di Korea Selatan sejak sangat lama. Sejarah Gereja khususnya Gereja Katolik sudah sangat berurat-berakar lama di Korea Selatan. Bahkan dari Korea Selatan sudah ada martir yang menjadi santo dan santa, seperti Andreas Kim Tae Gon dan Paulus Chong Hangsang itu. 

Walaupun dia adalah seorang penganut iman Katolik yang saleh dan taat, tetapi oleh rezim penguasa otoriter Korsel saat itu ia ditangkap karena ia dituduh sebagai agen komunis. Bahkan ia dicap sebagai seorang penganut komunis juga. Tidak hanya sampai di situ saja. Rezim penguasa juga mengatakan bahwa Kim Chi Ha adalah seorang Komunis yang berbaju Katolik. Ia hanya bersembunyi di balik otoritas hirarki gereja Katolik Korea Selatan maupun Gereja Universal. Menurut agen-agen pemerintah, Kim Chi Ha itu tidak lain adalah orang komunitas karena ia sangat radikal di dalam gerakan perlawanannya. Itulah yang dituduhkan oleh pemerintah. 

Tetapi Kim Chi Ha membela diri dengan mengatakan bahwa dia itu menjadi radikal bukan karena diilhami oleh paham komunis (sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah) melainkan karena konsekwensi dan tuntutan dari iman Katoliknya sendiri. Menurut Kim Chi Ha, orang yang beriman Katolik itu harus radikal, dalam artian dasar dari kata itu, yaitu akar (radix). Lebih lanjut Kim mengatakan, radikalitas iman Katolik akan semakin menjadi-jadi apalagi kalau orang itu sudah mendalami dan menghayati dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan Kedua itu. Secara khusus ia sangat terpengaruh oleh dokumen-dokumen seperti Gaudium et Spes dan Dokumen tentang peranan kaum awam di dalam Gereja dan di tengah dunia. 

Terkait dengan hal itu Kim Chi Ha kurang lebih pernah mengatakan demikian: "Anda tidak bisa dan juga tidak boleh bersikap tenang-tenang saja dalam keheningan perayaan liturgis di gereja, kalau anda mau menjadi seorang Katolik pada masa pasca Konsili Vatikan Kedua, dan menghayati serta mengamalkan ajaran-ajaran Konsili itu." Itulah yang menjadi keyakinan dasar Kim Chi Ha. Dan ia tidak pernah goyah dengan keyakinan dasar itu. 

Tetapi rezim otoriter rupanya tidak mau tahu dengan semuanya itu. Ia tetap ditangkap dan dipenjarakan. Ada banyak suara protes disuarakan dari mana-mana untuk membela Kim Chi Ha. Suara otoritas Hirarkis gereja Katolik Korea Selatan tidak digubris atau didengarkan. Begitu juga suara gereja Katolik Amerika Serikat yang mencoba membantu, juga tidak didengarkan. 

Akhirnya memang dia mendekam di dalam penjara yang sangat memprihatinkan, yang menyebabkan sakit TBC-nya semakin parah. Nah saat dia di penjara itulah konon J. P. Sartre, untuk kembali ke topik awal tulisan ini, pernah menggalang bantuan dan membangun semacam jejaring internasional untuk mengirim kertas dan alat tulis untuk Kim Chi Ha di penjara. Karena salah satu hukuman bagi Kim ialah ia tidak boleh menulis dan membaca. Ia dikurung di dalam ruang bawah tanah yang sangat gelap, di mana ia tidak tahu jam, waktu, dan perputaran hari. Apakah hari sudah siang atau malam ia tidak bisa membedakannya karena semuanya sama saja di bawah sana. Ia sepertinya secara sangat harafiah sudah menjadi seorang penghuni neraka saja karena ia dikurung dalam ruang di bawah tanah, di mana ada kegelapan, tangis dan kertak gigi. 

Tetapi lewat lobi-lobi dan jejaring relasi dan solidaritas pertemanan, akhirnya Kim diijinkan untuk membawa Kitab Suci. Ia juga diperkenankan untuk membawa pena dan kertas. Itulah sebabnya ia bisa menulis sesuatu di dalam penjara. Bahkan ia menulis cukup banyak juga selama berada di dalam penjara. Mungkin karena berada di bawah tekanan dan himpitan rezim politik, maka pemikiran kreatif dia muncul dan mengalir dengan sangat derasnya. 

Tetapi setelah ia berhasil menuliskan sesuatu, masalah berikutnya ialah bagaimana tulisan-tulisan dia itu bisa dibawa keluar dari penjara dan bisa diterbitkan? Itu menjadi suatu masalah yang sangat besar. Tetapi akhirnya masalah itu bisa diatasi dengan bantuan seorang Yesuit (kalau tidak salah) yang datang mengunjungi dia dan berhasil melewati pemeriksaan super ketat penjara itu dan membawa lolos tulisan-tulisan dia keluar penjara. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Mungkin karena sang imam Yesuit itu mempunyai semacam kekebalan yuridis untuk bisa menghindari pelbagai macam pemeriksaan standar terhadap para pengunjung napi di penjara. Tulisan-tulisan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada yang berbentuk puisi. Ada yang berbentuk semacam dialog batin (soliloquia), ada yang berbentuk sandiwara, ada yang sekadar berbentuk catatan harian saja. 

Akhirnya, semua tulisan itu berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Amerika Serikat, di sebuah penerbit Orbis Books, Maryknoll, New York, sebuah penerbit Katolik yang sangat terkenal dan liberal dan progresif juga. Judul kumpulan tulisan itu mengambil judul salah satu tulisan di dalam buku itu. Dan itu adalah judul dramanya, THE GOLD-CROWNED JESUS. Dalam terjemahan saya, judul itu saya terjemahkan menjadi JESUS YANG BERMAHKOTA EMAS. 

Sedikit isi singkat drama itu, sejauh yang saya ingat lagi saat ini (sebab saya tidak bisa merujuk lagi bukunya dalam bahasa Inggris karena buku itu ada di kampus dan aturan ke kampus masih cukup ketat). Jadi ringkasan ini berdasarkan ingatan saya sendiri saja tanpa rujukan lagi ke sumbernya yang asli. 

Di sebuah taman kota di Seoul ada sebuah Patung besar berukuran manusia normal. Itulah Patung Tuhan Yesus yang memakai sebuah mahkota yang terbuat dari emas. Indah sekali emas itu tampak dari kejauhan. Berkilauan ditimpa sinar mentari pagi. Semua orang memandangnya dengan penuh kagum dan pesona. Tetapi justru mahkota dari emas itulah yang telah membelenggu Yesus di dalam kekakuan abadi. Ia sangat berharap bahwa ada seseorang yang datang untuk mengangkat mahkota emas itu dari kepala-Nya sehingga Dia bisa bergerak lagi untuk menunjukkan solidaritas-Nya dengan orang-orang yang tertindas di Korea Selatan, sebagaimana dulu telah Ia lakukan di Yerusalem. 

Dan terjadilah, bahwa ada seorang gelandangan miskin yang karena terdesak oleh kelaparan dan kemiskinan, memanjat patung itu dan mencuri mahkota emasnya. Dan tepat pada saat itu Tuhan Yesus pun bebas dan mulai bergerak. Tetapi sial bahwa pada saat itu juga polisi dan petugas taman kota cepat datang dan menangkap dan memenjarakan si gelandangan pencuri itu dan memasang lagi mahkota itu "pada tempatnya" yaitu di atas kepala Tuhan Yesus. Dan akibatnya Tuhan Yesus pun menjadi kaku lagi di dalam sangkar emasnya, tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela dan menolong orang miskin dan tertindas. Sebuah drama yang sangat menarik. 

Akhirnya, terkait dengan rasa solidaritas yang diperlihatkan Sartre terhadap Kim Chi Ha, saya pun bertanya secara kritis-historis apakah Sartre pernah bersolider juga dengan Pramudya Ananta Toer yang mendekam di pengasingan Pulau Buru di bawah Rezim Soeharto itu? Di sini saya tiba-tiba teringat, kalau tidak salah dalam untaian kuliah Filsafat Barat Modern di STF Driyarkara dulu, Prof.Kees Bertens, ketika menjelaskan tentang filsafat eksistensialisme Sartre, pernah menyampaikan bahwa Sartre memang mengirim mesin tik untuk Pramudiya di pulau Buru. Jadi, memang ada sebuah rasa simpati dan solidaritas internasional di kalangan orang-orang besar dunia, terhadap orang-orang yang menjadi korban di mana pun termasuk para tahanan di pulau Buru, di Indonesia. 

Bandung 15 Juni 2020. 

Saturday, June 13, 2020

DOMINE NON SUM DIGNUS 2

Oleh: Fransiskus Borgias M. 


Terkait hari Raya Tubuh dan Darah Kristus itu saya ingat akan sebuah cerita yang sudah sangat klasik. Cerita itu saya pernah baca dalam salah satu buku dari Paulo Coelho, penulis yang terkenal dari Brazil itu. Hanya saja saya sudah lupa judul buku dari Coelho tersebut. Tetapi yang paling penting ialah saya tetap ingat alur ceritanya. Di dalam buku itu, Coelho hanya mengisahkannya secara singkat saja. Mungkin juga dia meringkas dari sebuah sumber lain yang belum saya ketahui sampai sekarang ini. Nah tulisan saya kali ini tidak lain adalah upaya untuk mengisahkan kembali cerita itu dengan lebih detail dan lebih panjang, tentu saja menurut rumusan verbal saya sendiri. 

Dikisahkan bahwa dulu di Roma pada jaman Yesus Kristus, ada sebuah keluarga bangsawan Roma. Keluarga ini mempunyai dua orang anak laki-laki. Mereka memberi pendidikan yang sepatutnya bagi kedua anak itu menurut tuntutan tingkatan dan golongan sosial mereka. Setelah kedua anak itu bertumbuh menjadi dewasa, mulai tampaklah apa yang menjadi bakat, kemampuan dan kecenderungan kepribadian mereka. 

Si adik, mempunyai minat dan bakat yang sangat tinggi di bidang kesenian khususnya sastra. Ia pandai berbicara di muka umum dan juga pandai menulis. Setiap hari ia membaca banyak karya klasik sebagaimana yang memang menjadi trend para anak bangsawan pada masa itu. Bahkan sudah sejak sangat dini ia juga sudah bisa menulis beberapa puisi. Puisi itu juga dibacakan di beberapa forum kesenian yang memang disediakan juga di beberapa forum di Roma. Lambat laun, dia menjadi sangat populer di Roma karena karya-karyanya di bidang sastra, terutama puisi. Banyak dari karya puisinya itu dibacakan di arena-arena pertunjukan, baik dibacakan oleh dia sendiri, maupun dibacakan oleh orang lain. Pokoknya, sekali lagi, karena kata-katanya, karena produsir kata-katanya, si bungsi ini menjadi sangat terkenal. 

Semua orang Roma memuji-muji dia. Begitu juga halnya di tengah keluarga. Ia menjadi anak yang dipuja-puja, yang dianggap telah membesarka nama keluarga. Dan sekali lagi itu semua terjadi karena si bungsu tadi berhasil mengeluarkan banyak karya-karya sastra yang bermutu yang diakui banyak orang di dalam masyarakat. Si bungsu ini tidak hanya dipuja-puja, melainkan juga ia dipuja dalam perbandingan dengan si kakak yang dianggap tidak menghasilkan apa-apa untuk mengharumkan nama keluarga. 

Sebaliknya si kakak, itu orangnya pendiam. Ia tidak pandai berbicara. Sesungguhnya ia pandai berbicara, tetapi tidak banyak mengumbar kata-kata. Ia lebih banyak berdiam diri saja. Berbeda dengan si adik yang menaruh minat besar pada bidang sastra dan poetika, si abang ini mempunyai suatu kecenderungan lain sama sekali. Ia berminat di bidang militer, dinas ketentaraan. Suatu yang sangat luhur juga sebenarnya pada waktu di Kekaisaran Roma. Maka untuk mewujudkan cita-citanya ia pun masuk ke akademi militer yang terkenal di kota Roma, dari mana sudah dihasilkan banyak jenderal dan ahli strategi perang kekaisaran Roma. 

Sebagai orang yang terlibat dalam dunia militer, ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk mengasah kemampuannya di bidang disiplin ketentaraan, termasuk dalam hal pengendalian diri, pengendalian kata-kata, pengendalian moral, sebab di situlah letak dasar terutama dari idealisme keksatriaan Roma. Apa yang disebut courage di dalam empat kardinal virtue dari Aristoteles itu, sungguh-sungguh dipelajari di dalam disiplin kemiliteran Yunani dan Roma (Greeco-Roman Military academy). Sebagai seorang militer, ia mencapai sukses yang tidak kalah spektakuler dibandingkan dengan adiknya. Hanya memang dia tidak menjadi buah bibir masyarakat umum, sebab dunia militer memang bukan dunia artis yang heboh, melainkan dunia yang hening, beroperasi di dalam diam dan hening. 

Karena karakternya yang banyak diam dan hening, lagipula didukung dengan disiplin militer yang juga tidak banyak berbicara, sesungguhnya di dalam hatinya si abang ini juga mempunyai suatu pengembaraan intelektual dan rohani yang tidak kalah dahsyatnya. Ada semacam kehausan rohani yang melanda jiwanya yang tidak pernah bisa dihauskan dengan sistem keyakinan religious Romawi yang ada di sekitarnya, bahkan ia menjadi bagian utuh dari religious culture tersebut. Diam-diam ia mencari dan mencari. Berharap bisa menemukan suatu jawaban di suatu saat, dan di suatu tempat kelak. 

Sementara itu, lambat laun karier militernya menanjak dengan sangat pesat dan maju. Jabatan militer di Roma sudah tidak bisa lagi menampung dia. Memang dia harus naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi untuk itu ia harus lulus sebuah ujian. Dan ujian yang terberat pada masa itu ialah mengepalai dinas kemiliteran di daerah yang paling rawan secara politik dan militer. Dan daerah yang dianggap paling rawan pada waktu itu ialah negeri Kanaan yang meliputi Galilea dan Yudea. Di sanalah seorang prokurator Roma juga menjalani dinas kepemerintahannya. Dia adalah Pontius Pilatus. 

Nah si abang ini pun akhirnya diputuskan untuk terlebih dahulu menjalani dinas kemiliteran di negeri Kanaan itu, sebelum nantinya mendapat promosi ke jenjang jabatan yang lebih tinggi di kota Roma, ibukota kekaisaran pada masa itu. Dan terjadilah demikian. Dengan suatu pesta perpisahan yang ramai, ia dan keluarganya pun dilepaspergikan dari Roma menuju ke negeri Kanaan itu di Timur Tengah, negeri  yang tidak pernah sepi dari pergolakan militer maupun keagamaan. 

Jujur saja, sebenarnya secara manusiawi, si abang ini merasa ciut juga, apakah nanti di sana ia bisa mengembangkan karir militernya dengan baik agar bisa mencapai puncak tertinggi. Walaupun ada sejumput keraguan seperti itu, namun si abang tetap pergi dengan penuh percaya diri ke Kanaan, sebagaimana yang memang telah diajarkan oleh disiplin kemiliteran yang dipelajarinya selama ini. Ia maju tak gentar. Biarpun medan penuh hingar-bingar. Ia tetap berjalan tegar, kalau bisa orang-orang hingar-bingar pada bubar. 

Ia tidak ditempatkan di Yerusalem, melainkan di Kapernaum, di Galilea. Saat ia bertugas di sana, ia sudah sering mendengar kabar tentang seorang guru Agung yang namanya menjadi terkenal di seluruh Galilea dan Yudea dan bahkan juga di luar wilayah itu namanya terkenal. Ia sudah mendengar tentang apa yang dikerjakannya, mukjizat-mukjizat yang dikerjakannya. Tidak lupa ia juga sudah mendengar kabar tentang ajaran-ajaranNya. Entah bagaimana ia merasa tertarik sekali untuk bertemu dengan Guru Agung itu. Untuk melihat mukjizat-mukjizatNya yang terkenal itu. Terlebih lagi ia ingin sekali mendengarkan secara langsung kotbah-kotbahNya. Tetapi dari apa yang ia dengar dari kata-kata orang-orang ia sudah merasa sangat tertarik. Ia merasakan sebuah magnet menarik hatinya dari dalam. Dan daya tarik itu sangat kuat. 

Tetapi entahlah bagaimana, ada-ada saja hal yang menghalangi dia untuk bisa datang dan bertemu secara langsung dengan sang Guru Agung itu. Ada-ada saja alasan baginya untuk tidak bisa datang. Ada alasan  yang bersifat pribadi. Tetapi lebih banyak alasan yang berasal dari tugasnya sebagai seorang perwira tinggi militer. Sampai pada suatu saat ia tidak bisa menghindar lagi. Ia mempunyai seorang pegawai yang sangat baik. Karena itu, ia juga sangat menghargai pegawai itu. Entah kenapa, tiba-tiba si pegawai yang baik dan sangat dihargainya itu, jatuh sakit keras. Dan tampaknya ia akan segera mati karena sakit tersebut. 

Dalam keadaan panik, ia pun mengirim utusan untuk menghadapi sang Guru Agung. Ia meminta agar si Guru Agung itu datang untuk menyembuhkan pegawainya tersebut. Ternyata si Guru Agung berkenan untuk datang. Maka datanglah si Guru Agung ke arah rumah si perwira Roma tadi setelah diyakinkan oleh utusan orang-orang Yahudi bahwa si Perwira itu adalah orang yang sangat baik. Walaupun dia seorang Roma, tetapi ia menaruh perhatian pada bangsa Yahudi. Bahkan ia juga sudah membuktikan perhatiannya itu, dengan cara membangun rumah ibadat bagi orang Yahudi di Kapernaum. 

Tetapi begitu si Guru Agung itu, sudah mendekati rumahnya, si Perwira itu menyuruh utusannya untuk datang kepada Yesus. Ia menyuruh utusannya untuk menyampaikan kata-katanya kepada sang Guru Agung. Begini katanya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh." (Mat 8:8; Luk 7:1-10). Dan terjadilah mukjizat itu. Mukjizat itu terjadi karena bertemu dengan iman yang besar yang dipuji selangit oleh sang Guru Agung itu sendiri: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel." (Mat 8:10). 

Itulah satu-satunya kesempatan si abang itu omong dalam seluruh hidupnya. Dan omongan itu terekam di dalam injil. Tetapi si Perwira yang pendiam itu, mengucapkan sebuah kalimat efektif yang tepat waktu, tepat tempat, dan juga tepat pada seorang pendengar yang Agung dan mulia. Sejak kalimat itu terucapkan kalimat itu tidak pernah hilang lagi, bahkan menjadi abadi. Hingga saat ini setiap kali hari orang-orang Katolik di seluruh dunia, saat mereka merayakan ekaristi pasti akan mengucapkan kalimat itu menjelang komuni: "Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh." Sudah mengalami modifikasi sedikit. Dalam bahasa Latin bunyinya demikian: Domine, non sum dignus, ut intres sub tectum meum, sed tantum dic verbo et sanabitur anima mea. Judul tulisan saya diambil dari teks bahasa Latin ini. 

Berbeda dengan ketenaran sang adik yang memprodusir mungkin ribuan mungkin juga jutaan kata-kata dalam pelbagai karya puisinya, dan juga sudah menikmati ketenaran karena kata-kata itu selama masa hidupnya, sang kakak hanya mengucapkan satu kali kalimat, tetapi kalimat itu sangat efektif, dan menjadi sangat abadi, melampaui usia si penuturnya sendiri. Luar biasa. 

Bersambung.... 

DOMINE NON SUM DIGNUS 1

Oleh: Fransiskus Borgias M. 


Hari ini adalah Hari Raya Tubuh Kristus. Ada juga versi sebutan yang "lengkap" yaitu Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Tetapi yang jelas aslinya ialah masih tersimpan dalam sebutannya menurut versi Latin, yaitu solemnitas Corpus Christi. Lalu dari mana "darah" Kristus itu? Ceritanya panjang. Tetapi bisa dipersingkat demikian. Ketika devosi kepada Kristus semakin berkembang mekar dan bertumbuh subur maka muncullah bermacam-macam devosi kepada pelbagai aspek dalam diri Kristus. Salah satunya ialah devosi kepada Darah Kristus yang teramat mulia, yang tentu saja mengalir dan memancar keluar dari dalam Hatinya yang tertembus tombak dan terluka, dari mana, menurut kesaksian Yohanes, mengalir darah dan air. Jadi, sesungguhnya devosi akan darah termulia Tuhan Yesus pasti erat terkait dengan devosi kepada Hati Kudus Yesus Kristus. Dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah Sanctissima Cordis Iesu Christi. 

Terkait dengan devosi terhadap hati kudus Yesus Kristus ini, muncullah dalam sejarah gereja beberapa kongkregasi yang secara khusus membaktikan diri kepada penyembahan terhadap Hati Kudus Yesus. Kiranya bisa disebut dua yang ada dan hadir di Indonesia, yaitu MSC dan SSCC. Salah satu tokoh  yang terkenal dari kongregasi SSCC ialah Pater Damian dari Molokai itu. Bahkan sekarang dia sudah dikanonisasi menjadi orang kudus (santo) gereja. Luar biasa. 

Dan dari Hati Kudus Yesus ini mengalirlah DarahNya yang termulia. Sejauh saya ketahui, dari praksis devosi ini pun muncul juga beberapa kongregasi hidup bakti. Misalnya di Indonesia adalah kongregasi para suster Darah Mulia. Di Amerika Serikat dan di Australia ada sebuah kongregasi para imam yang membaktikan diri kepada Precious Blood of Christ. Tetapi kongregasi para imam ini tidak ada di Indonesia. Waktu belajar teologi di Belanda, salah satu profesor saya di bidang teologi modern dan teologi misi ialah seorang imam yang berasal dari kongregasi ini, yaitu Pater Robert J.Schreiter, yang merupakan salah satu murid yang paling terkenal dari teolog besar dari Nijmegen, Pater Edward Schillebeeckx OP. 

Nah, karena besar dan kuatnya devosi akan darah Mulia Yesus Kristus itu, maka dulu pernah ada tanggal yang khusus yang diberikan untuk Darah Mulia ini. Tetapi saya lupa persisnya tanggal berapa. Tetapi kiranya sejak pembaharuan Liturgi dalam Konsili Vatikan II, ataupun sedikit sebelumnya, sudah ada pembaharuan liturgi dalam bentuk penyederhanaan di dalam penanggalan liturgi itu. Dalam rangka penyederhanaan itu, maka ada banyak tanggal yang kemudian dihapus, lalu pestanya entah dihilangkan, entah disatukan dengan perayaan yang lain yang dianggap terkait ataupun bahkan dianggap sebagai induk asalnya. 

Begitulah, sejak hari dan tanggal khusus untuk darah Mulia itu dihapus, maka pestanya pun digabungkan dengan Hari Raya Tubuh Kristus, yang memang secara tradisional dan historis dianggap sebagai sumber dan asal-muasal dari devosi Darah Mulia tersebut. Maka sejak saat itu, Hari raya yang aslinya ialah CORPUS CHRISTI, lalu menjadi Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus et Sanguis Christi). 

Bersambung.... 



LEARNING SOMETHING FROM CHRISTIAN PRINCE

By: Fransiskus Borgias. 

Last night I watched the video of Christian Prince (afterwards will only be written as CP). It is a video on the so-called new inspired answer to the everlasting question of the Muslims who always asking the textual proof of the deity or divine status of Jesus Christ. In that video CP said that he has gotten a new answer to the old question of the Muslim. Usually they will ask the Christians in this way: Please show us the biblical proof in which Jesus said about himself as God? `

And now via this video CP said that he wanted to use al Quran and also the Bible to prove the divinity of Jesus the Christs. First CP quotes the verses of the Quran, especially the texts that mention the ninety-ninth divine names (the names of God). In Islamic theological tradition there are ninety nine Names of God. And usually Muslim people will recite those names in their prayer. 

CP, in his video for the time being only mention six names of God. These names are al Haq, Al Nur, al Baeth, al Awal and al Akher, al Malek, and finally al Hadi. Names are not merely function nominally, but it also denote the existence and the essence of God. God is in his Names. The Names of God is also God. There is a very close relationship between God and his Names. The Names of God is identical with God. The Names points exactly to God who bear the name. So in the expressio of CP, God is al Haq, God is al Nur, God is al Baeth, God is al Awal and al Akher, God is al Malek, and God is Hadi. 

The CP move forward by taking the brave conclusion and even theological and Christological consequences of such doctrine and religious belief. CP said, that if God is al Haq then Muslims should accept Jesus Christ, because Jesus Christ said in the Gospel of John that He is the al Haq. Even CP said that Jesus said this truth using the first person: I am the truth (the way and the life; John 14:6), because al Haq in Arabic language means the Truth in English, or Veritas in Latin and Kebenaran in Indonesian language. 

This same way of taking conclusion is also apply to the other five names mentioned explicitly by CP. For example: God's name is al Nur, meaning the Light. Jesus Christ also revealed Himself as the light of the world. In John 8:12 we find the self revelation of Jesus Christ as the Light of the World by saying, "I am the light of the world." If Muslims believe that God is the al Nur, then CP said that they must accept and believe in Jesus Christ, because Jesus Christ is the Light Himself. 

The next name or attributes of God in Islamic theological tradition is al Baeth, meaning, the resurrection. God is resurrection. Resurrection is in God. In and together with God there is no dead, there is only life, there is resurrection. And again CP said that if Muslim people believe in God as the al Baeth, then they must come to accept Jesus Christ, because Jesus also said of Himself as the al Baeth. In John 11:25, Jesus said very clearly that "I am the resurrection and the Life." So Jesus is the Resurrection and also the life. 

The next name or attributes mentioned by CP is al Malek, which means, the King. God is the King. In Nathanael's leap of faith there is also a very clear confession of Jesus Christ as the King (see John 1:49). Not only Nathanael (one of the Disciples of Jesus), the croud in Jerusalem also exclaim Jesus as the King of Israel (see John 12:13). In a rethorical style of question Pilate ask Jesus: "Are you a King of the Jewish people?" (cfr.John 13:33). Upon the cross of Jesus there is also a proclamation of the kingly status of Jesus: Iesus Nazarenus Rex Iudaerom. Even in the Book of Revelation of John there is also a statement of the name of the figure appeared in the vision of John: King of kings, Master of masters (cfr.Rev 19:16). So it is very clear that there are a lot of Christological confession in the New Testament on the Kingly status and dignity of Jesus Christ. 




Friday, June 12, 2020

PESTA SANTO ANTONIUS DARI PADUA

Oleh: Fransiskus Borgias 

Hari ini, tanggal 13 Juni, adalah pesta Santo Antonius dari Padua. Mungkin dalam penanggalan liturgi yang umum, hari ini hanya dikategorikan sebagai hari peringatan saja, tetapi bagi keluarga besar Fransiskan dan Fransiskanes sedunia, hari ini adalah Hari Raya. Dan memang juga dirayakan sebagai sebuah hari raya (solemnitas). Karena memang santo ini adalah seorang santo yang besar dan luar biasa mengagumkan. 

Setiap kali saya ingat akan nama sang santo ini, maka serta-merta saya ingat akan beberapa hal berikut ini. Pertama, saya ingat akan Perayaan tahunan di beberapa Paroki Fransiskan di Jakarta, terutama sekali di Gereja Hati Kudus Kramat Raya dan Gereja Santo Paskalis, di Cempaka Putih. Setiap tahun, sudah pasti diagendakan sebagai sebuah perayaan agung, novena santo Antonius Padua ini yang berlangsung selama sembilan Selasa berturut-turut. Saya pernah mengalami aura novena agung ini sejak saya Frater dulu baik waktu tinggal di biara Padua (dan itu berarti merasakan aura di Paskalis), maupun waktu tinggal di biara Fransiskus Kramat (dan itu berarti merasakana aura yang ada di Paroki Kramat). Dan memang animo umat terasa sangat luar biasa. Seluruh area parkiran yang luas tersedia, penuh diisi mobil, kendaraan pribadi maupun juga bis, sebab ada yang datang dari luar kota, seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan bahkan Bandung juga ada. Benar-benar luar biasa daya tarik Santo Antonius Padua yang diberi tugas khusus oleh Fransiskus dari Asisi untuk mengajarkan teologi tetapi tanpa harus mematikan semangat doa. 

Kedua, saya teringat akan kenyataan bahwa pada tahun 2005, terbit buku saya tentang sang santo, Antonius Padua, renungan. Buku itu terbit pada Yayasan Pustaka Nusatama Yogyakarta. Saya berjuang cukup lama untuk mengerjakan buku tersebut sampai terbit. Dan yang lebih penting lagi ialah fakta bahwa saya belajar sangat banyak dalam seluruh proses penulisan dan pengeditan tulisan tersebut hingga menjadi sebuah buku. Puji Tuhan untuk semuanya itu. 

Ketiga, saya teringat akan buku dari Paus Yohanes Paulus II, yang judulnya ialah DOA DAN DEVOSI, MEDITASI 365 HARI. Buku itu adalah kumpulan catatan dan kutipan kotbah dari bapa suci untuk setiap tanggal dalam sebulan dan sepanjang tahun. Buku itu disunting oleh Uskup Peterus Canisius Yohanes van Lieerde. Dan Puji Tuhan, buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Julis Valentinus Barus pada bulan Mei 1995 dan bahkan sudah juga dicetak ulang. Diterbitkan pada penerbit Erlangga. Luar biasa sekali. 

Nah terkait dengan tanggal 13 Juni ini, ada sebuah renungan yang sangat menarik dari Bapa Suci tentang Santo Antonius dari Padua. Bagian selanjutnya dari tulisan saya ini, tidak lain adalah kutipan dari buku tersebut (hlm.228-229). Di bawah ini kutipan dimulai: 

13 Juni. 
St.Antonius dari Padua, Pewarta Injil. 
Selama hidupnya, Antonius adalah seorang pewarta Injil. Dan jika kita menghormatinya sebagai pewarta Injil, hal itu karena kita percaya bahwa Roh Kudus tinggal dalam dirinya secara berapi-api, memperkaya dirinya dengan karunia-karunia yang menakjubkan dan menggerakkannya "dari dalam" untuk melaksanakan kegiatan yang luar biasa selama 40 tahun masa hidupnya. Tetapi Roh Kudus itu masih tetap tidak kehabisan daya dalam waktu - Ia tetap bekerja, secara dahsyat dan sesuai dengan penyelenggaraan ilahi, juga pada masa sekarang ini. 

Pertama-tama saya meminta kamu untuk merenungkan "cap pewarta Injil dalam dirinya." Itu juga sebabnya mengapa Antonius dinyatakan sebagai "Santo." 

Tanpa membuatnya menjadi eksklusif, tanda kekudusan ini telah mencapai puncak yang luar biasa dalam diri Antonius. Semuanya didesaknya melalui kekuatan teladannya dan pengembangan dunia sepenuhnya diserahkan pada devosi kepada Antoius. Kita sulit menemukan kota atau desa di daerah Katolik yang tidak memiliki paling tidak satu altar atau patung santo ini. Cirinya yang tenang tenteram, dengan senyuman yang lembut, menerangi jutaan orang Kristen di rumah-rumah, di mana, melalui Antonius, imam memelihara pengharapan akan penyelenggaraan Bapa surgawi. Orang-orang beriman, terutama yang paling rendah dan tak berdaya, memandang dan merasakan dia sebagai orang kudus mereka, seorang perantara yang punya kuasa dan selalu siap sedia bagi mereka. 

Exulta, Lusitania felix; o felix Padua, gaude. Bersukarialah, hai Portugal yang bahagia; ya, Padua yang bahagia, bergembiralah. Saya ulangi kata-kata ini bersama pendahulu saya, Paus Pius XII. Bergembiralah, Padua, dalam kemuliaan asal-usul zaman Romawimu, sebenarnya zaman pra-Romawi-mu; ke dalam peristiwa-peristiwa besar sejarahmu, engkau menambahkan gelar yang paling mulia, yaitu pemelihara kenangan yang hidup tentang St.Antonius, dalam makamnya yang mulia. Karena engkau, sesungguhnya, nama Antonius telah menyebar dan bergema di seluruh keheningan dunia, karena ciri istimewa ini: kebenaran pokok-pokok pewartaan Injil yang disampaikannya. 


WERI, MENANAM...

Oleh: Fransiskus Borgias 

Seorang sahabat di Facebook, Yuvens Janggat, seorang pegiat pemberdayaan pelbagai aspek kehidupan Masyarakat di Manggarai, pagi ini mampir di laman Facebook saya, dengan mentautkan sebuah tautan yang sangat menarik, yaitu peliputan dalam bentuk beberapa foto kegiatan bapa Uskup Ruteng dalam kunjungannya ke Manggarai Timur bagian utara, ke Lingko Lolok dan sekitarnya, yang sekarang menjadi daerah yang mungkin paling ramai dibahas di Manggarai, karena ada rumor bahwa akan masuk pabrik semen, tetapi yang sebenarnya itu hanya kamuflase untuk sebuah perusahaan tambang. 

Nah dalam acara kunjungan ini, konon dalam kotbahnya bapa Uskup Ruteng, menyerukan agar orang tetap mempertahankan tanah dan lahan pertanian mereka, mengembangkan hidup dari pertanian. Bahkan bapa Uskup secara simbolis sekali menyuarakan semuanya itu dengan aksi menanam sebuah pohon di halaman Kapel yang kiranya terletak di tengah daerah yang menjadi fokus perdebatan itu. Bagi saya, aksi bapa Uskup menanam pohon itu bisa diartikan sebagai sebuah seruan moral-etis-ekologis: Lihatlah, inilah yang saya tanam. Mana yang kau tanam? atau bisa juga diartikan sebagai: Marilah kita menanam lagi dan lagi, dan jangan meninggalkan kebiasaan yang sudah kita kenal dari turun temurun, yaitu menanam dan menanam. Sebab orang Manggarai hidup dari menanam. 

Terhadap tautan itu saya memberikan sebuah komentar. Adapun komentar saya sepenuhnya saya kutip sepenuhnya secara harafiah di bawah ini. Perubahan satu-satunya hanya di sini sudah ada pembagian dalam paragraf, sesuatu yang tidak bisa saya lakukan di sana, sebab kalau saya enter dalam komentar di sana, maka langsung akan terkirim. Makanya seluruh komentar itu sangat panjang dan hanya satu paragraf saja. Nah, paragraf yang panjang itu, saya penggal-penggal menjadi beberapa paragraf di bawah ini. 

Di sini kutipan dimulai:  
Hikmat lokal Manggarai ialah WERI, menanam. Saat akan WERI, ada ritual WUAT WINI, artinya menyuruh (wuat) agar benih (wini) itu pergi ke dalam tanah, berkecambah dan lalu mengeluarkan akar ke dalam tanah (wake celer ngger wa) dan kemudian tumbuh ke atas, ke permukaan tanah dalam rupa batang, cabang, ranting dan daun (saung bembang nggereta). Jelas sekali diungkapkan di sana, bahwa benih-lah yang disuruh oleh para leluhur orang Manggarai untuk masuk ke dalam misteri kegelapan rahim ibu bumi dan dari dalam rahim ibu bumi itu ia menghirup daya-daya hidup dan yang kemudian juga bisa menghidupkan. Itulah panen yang kita petik dari hasil usaha kita menanam dan menanam benih. 

Orang Manggarai tidak mengenal teknologi kaer tanah, apalagi kaer sampai wangker walek tanah seperti yang dilakukan tambang-tambang yang mengerikan itu. Oleh karena itu dalam hemat saya, seharusnya tugas pemerintah ialah mengembangkan local wisdom itu, mengembangkan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan yang kesemuanya adalah hidup dari permukaan bumi yang menurut pengamatan Fransiskus Asisi adalah bagaikan sang ibu yang dengan rajin dan tekun menumbuhkan tetumbuhan hijau dan berbiji, dan semuanya itu menjadi makanan dan asupan gizi bagi semua makhluk hidup. 

Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa "mencoba bertahan dengan pertanian adalah langkah mundur". Kalau memang ada yang berkata seperti itu, saya hanya mau mengatakan bahwa hingga saat ini pemerintah menurut saya belum berbuat apa-apa untuk memajukan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan. Mungkin di sana-sini ada, tetapi itu kebanyakan adalah inisiatif pribadi dan atau aktifitas dari LSM tertentu. Saya sangat yakin bahwa kalau semua aspek itu dikembangkan dengan sangat baik, dan modern, maka tidak akan ada pengangguran di Mangggarai, dan Manggarai akan menjadi maju semaju-majunya. 

Belum lagi kita berbicara mengenai pengembangan pariwisata. Kita mulai saja dengan pengembangan pariwisata alam yang jelas sudah merupakan modal dasar yang kita miliki. Ada banyak gunung dan bukit yang indah dan eksotik, ada banyak pantai yang indah, ada danau yang indah, ada air terjun (cunca) yang indah-indah, ada sawah spiderweb yang sangat terkenal itu. Di atas itu kita punya aset wisata budaya. Baik itu budaya yang asli Manggarai, maupun yang sudah tercampur dengan praksis-praksis Kristianitas. 

Akhirnya ada wisata religi, seperti gua maria, biara-biara yang unik dan eksklusif, maupun mungkin jalan-jalan salib yang bisa dibangun dan dikembangkan dengan sangat baik dan yang pasti didukung dengan sangat kuat oleh praksis hidup devosi umat yang sangat kuat. Kalau semuanya itu bisa digerakkan dan dihidupkan, maka Manggarai akan hidup, akan berjaya. 

Kalau saya berbicara Manggarai, maka yang saya maksudkan ialah Manggarai Raya yang dicakup di bawah satu Keuskupan, dengan pemimpin yang baru, EPISCOPUS RUTENGENSIS.... 


INJIL BAHASA MELAYU? MASALAH BUAT LOE?

Oleh: Fransiskus Borgias 

Beberapa waktu yang lalu muncul berita heboh dari ranah Minang. Gubernur Sumbar tiba-tiba mengumbar suara via pelbagai media yang menyerukan, meminta, mendesak, dan mungkin juga memaksa Kemenkominfo agar menghapus (menurunkan) Aplikasi Alkitab bahasa Minang yang ada di dalam Playstore. Alasan yang dipakai ialah bahwa aplikasi itu dianggap mengganggu rasa keminangan, budaya minang yang sudah lengket dengan Islam. Hemmmm.... Saat itu, saya sama sekali tidak membuat catatan apa pun tentang hal itu. 

Tiba-tiba hari ini saya membaca berita lagi bahwa dari kawasan timur pulau Sumatera yaitu persisnya dari kawasan Riau, muncul juga seruan serupa yaitu ingin agar aplikasi alkitab berbahasa Melayu di dalam playstore juga dihapus. Lagi-lagi alasannya sama, karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan budaya Melayu yang kental bernuansa Islami. Ketika muncul berita ini, saya merasa perlu untuk mengeluarkan semacam catatan kritis. 

Pertama, kalau kekristenan itu dianggap budaya asing karena datang dari Barat, bukankah agama Islam juga asing? Agama itu datang dari Timur Tengah. Agama Kristen juga aslinya dari Timur Tengah, yaitu dari Tanah Suci Kanaan, di mana negara Israel modern sekarang ini berada yang diproklamirkan menjadi negara pada tahun 1948 itu. Agama Kristen itu lahir dari tanah suci itu, yang terdiri atas dua wilayah besar, yaitu Galilea dan Yudea, sekadar untuk menyebut dua wilayah yang besar saja. Kemudian dari wilayah tersebut, agama Kristen mengalami proses internasionalisasi yang kencang sehingga kemudian ia menyebar ke barat (Eropa) dan dari Eropa akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Akhirnya juga sampai juga ke Nusantara ini. Dan ada anak-anak negeri ini yang menerimanya dengan tulus hati dan menjadi pengikut Kristus. Hal itu persis sama dengan dengan datangnya Islam yang datang dari timur tengah dan diterima juga oleh orang-orang di negeri ini dan menjadi pengikutnya. 

Catatan kedua. Begini. Kalau pelarangan ini dimaksudkan untuk melindungi kelompok jemaat agama tertentu agar tidak membaca kitab suci agama lain, wah itu mah kampungan sekali. Sebab bukankah Alkitab itu sudah ada dalam terjemahan bahasa Indonesia? Atau jangan-jangan besok-besok ada juga gerakan untuk melarang terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia? Saya rasa para penutur bahasa -bahasa daerah di Indonesia, rata-rata sudah sangat mahir berbahasa Indonesia. Kalau toh aplikasi Alkitab dalam bahasa daerah itu dilarang, mereka masih bisa membacanya melalui bahasa Indonesia. Katakanlah besok-besok mau dilarang juga yang berbahasa Indonesia. Tetapi masih ada dalam bahasa Inggris dan pelbagai bahasa Internasional lainnya yang sudah menyediakan terjemahannya. Orang-orang masih bisa membaca teks itu dari bahasa-bahasa internasional seperti Inggris, Belanda (yang pernah menjajah Indonesia), Jerman, China, dll. 

Jadi, menurut saya pelarangan itu sia-sia belaka. Aksi pelarangan itu bahkan menurut saya menunjukkan fakta bahwa orang kurang memiliki kesadaran sejarah yang tinggi dan mendalam. Sebab kalau orang memiliki kesadaran historis yang mendalam, maka akan dengan mudah dipahami secara historis bahwa mana agama yang muncul lebih dulu, mana agama yang muncul kemudian. Tidak bisa disangkal lagi bahwa dalam konteks agama-agama yang muncul di kawasan Timur Tengah, agama Yahudi-lah yang paling tua. Sesudah itu, dari rahim Keyahudian, lahir juga agama Kristen. Dan semuanya itu terjadi di kawasan Timur Tengah, Kanaan, yang sekarang ini menjadi negara Israel. Jauh di kemudian hari muncullah agama Islam. 

Segitu saja dulu.... semoga berguna... untuk pencerahan secara historis. 

Thursday, June 11, 2020

LAGU ANAK-ANAK BERMASALAH? (BAGIAN 3. HABIS)

Oleh: Fransiskus Borgias 

Sekarang saya membahas secara khusus lagu yang kedua yang dipermasalahkan oleh sang penceramah tadi. Lagu tersebut ialah lagu yang berjudul BALONKU. Kiranya kita semua sangat hafal syair lagu itu. BALONKU ADA LIMA, RUPA-RUPA WARNANYA. HIJAU KUNING KELABU, MERAH MUDA DAN BIRU. Itulah bait yang pertama. Dan masalah belum ada di situ di dalam pengamatan sang ustad penceramah tadi. Masalahnya terletak dalam bait kedua lagu itu. Bunyinya demikian: MELETUS BALON HIJAU, HATIKU SANGAT KACAU. BALONKU TINGGAL EMPAT KUPEGANG ERAT-ERAT. 

Nah di sinilah letak masalahnya. Manakah masalah itu? Masalahnya terletak dalam kata-kata pertama dari bait kedua tadi: MELETUS BALON HIJAU. Hal itu di dalam tafsir si penceramah adalah semacam upaya memecah-belah umat islam, yang dalam wacana politik-sosiologis di Indonesia disebut kelompok hijau. Maka deskripsi peristiwa MELETUSNYA BALON HIJAU itu serta-merta dianggap oleh si penceramah sebagai upaya memecah-belah persatuan umat Islam. Manakala umat Islam sudah pecah, maka yang lain terus dipelihara dan disayang terus menerus, jangan sampai mati secara sia-sia saja. Dan kebetulan warna lain yang masih tidak pecah ialah ada warna kuning, merah muda, kelabu, dan biru. Entah apa yang dipikirkan dan diasosiasikan oleh si penceramah dengan warna-warna yang tersisa itu. Kalau kuning, kiranya jelas. Itu warna Golkar. Yang lain-lain tidak begitu jelas. Merah muda? Tidak ada yang cocok. Sebab PDIP itu merah tua. Jadi, tidak cocok. Apalagi yang warna kelabu. Tidak ada yang cocok lagi. Selain warna biru, masih ada yang cocok, sebab ada beberapa partai yang ada unsur biru dalam logo partainya. Selebihnya tidak ada yang relevan. 

Jadi, dengan demikian pengamatan si pak penceramah ini tidak seluruhnya tepat. Karena lagu ini sudah tercipta sebelum muncul partai-partai pasca reformasi yang mengambil warna biru sebagai warna logo partainya. Padahal lagu itu sendiri sudah tercipta jauh-jauh hari sebelum masa reformasi itu sendiri. Sebelum masa itu kita hanya mengenal tiga warna partai yaitu Kuning, Hijau, dan Merah. Warna biru baru muncul sesudah orde reformasi tahun 1998. Kalau tidak salah, partai pertama yang mengadopsi warna biru itu ialah PAN. Kalau anggapan itu benar, maka wacana curiga yang dilontarkan si penceramah tadi, juga menjadi tidak tepat. Karena toh PAN pun adalah partai Islam. Jadi, tidak seluruhnya benar bahwa yang islam itu dipecahkan atau dibiarkan pecah, sehingga yang lain, yaitu yang tidak pecah akan dipegang erat-erat. Artinya, dijaga baik-baik, dirawat, disayang-sayang. 

Kalau sudah dibaca dengan cara seperti ini, saya lalu bertanya dalam hati, model seperti apakah para pendengar ceramah dari si penceramah itu? Mengapa saya pertanyakan ini, karena kalau para pendengarnya kritis, maka mereka pasti akan melakukan kajian kritis terhadap omongan sang penceramah. Jika dikritisi maka tidak akan mudah dibohongi apalagi dengan tujuan menabur wacana kebencian seperti itu. Dan hal seperti itu kiranya jelas tidak baik dan bahkan sangat berbahaya dalam konteks berbangsa dan bernegera di Republik tercinta ini. Kalau para pendengarnya sudah kritis, maka si penceramah tidak akan mendapat jatah diundang lagi dalam ceramah berikutnya. Tetapi ternyata tidak demikian. Justru model penceramah seperti itu yang laku. 

Ya, mungkin para pendengarnya memang suka akan omongan yang memanipulasi data objektif dari sesuatu hal tertentu. Sebab omongan manipulatif seperti pasti akan menarik para pendengarnya. Dan kalau sudah berhasil menarik perhatian para pendengarnya, maka pasti si penceramah itu tidak akan diundang lagi, tidak akan memilik pembeli tertentu juga. Dan jika hal itu terjadi, maka itu adalah sebuah kiamat yang pasti bagi mereka. 

habis....    

LAGU ANAK-ANAK BERMASALAH? BAGIAN 2

Oleh: Fransiskus Borgias 

Tatkala menonton video tersebut, pertama-tama kesan spontan yang muncul dalam hati saya ialah bahwa selama ini, setiap kali saya mendengar ataupun menyanyikan lagu-lagu itu, sama sekali tidak pernah muncul bayangan pikiran kebencian seperti yang dilukiskan di dalam ceramah itu. Poetic imagination saya tatkala mendengar lagu NAIK KE PUNCAK GUNUNG itu, ialah bahwa si pencipta lagu itu sedang membangun angan-angan di dalam benak para penyanyi anak-anak akan situasi di pegunungan yang ada di kawasan Puncak Jawa Barat ataupun di Kawasan Tretes di Jawa Timur sana. Ataupun di pelbagai tempat yang lain, di mana mata kita disuguhi pemandangan alam yang sangat indah dan penuh dengan pohon-pohon pinus dan cemara. Tidak pernah terlintas sedikit pun di sana bahwa di bagian awal lagu itu kita sedang membayangkan membuat tanda salib seperti yang dibuat oleh Leonard Messi (yang memang disinggung secara khusus oleh si penceramah) saat membuat selebrasi setiap kali bisa menjebol gawang lawan. 

Entah dari mana datangnya, pikiran buruk si penceramah itu? Anak-anak coba diberi motivasi dengan bentuk syair lagu untuk bisa dekat dengan alam dan mengapresiasi alam dan juga mencintainya. Eh malah di hati sang ustad lagu itu dijadikan sebagai ajang kampanye kebencian terhadap salib. Bagi saya ini sebentuk staurophobia yang unik sekali. Kalau staurophobia yang selama ini saya kenal ialah rasa benci dan takut (phobia) akan semua benda dan bentuk benda yang mirip-mirip stauros (salib). Dan sekarang, staurophobia mendapat dimensi baru, yaitu rasa takut akan sebuah bentuk deskripsi verbal yang dianggap mempunyai asosiasi yang sangat kuat dengan salib. 

Tatkala saya membicarakan hal ini, saya langsung bertanya dalam hati: siapakah yang menciptakan lagu itu? Apakah dia orang Kristen (Katolik maupun Protestan) ataukah orang Islam. Kalau toh dia orang Kristen maka saya sangat yakin bahwa saat dia menciptakan lagu itu, dia sama sekali tidak mengkonstruksi verbal ayat-ayat lagu sebagai semacam salib. Dia hanya mencoba mendeskripsikan alam dalam bentuk kalimat syair lagu yang efektif dan indah. Dan jadilah konstruksi seperti itu. 

Sekarang, kalau si pencipta lagu itu adalah orang Islam? Hemmm.... Saya andaikan saja bahwa penciptanya orang Islam. Apakah dia, sebagai seorang Islam, memang pernah memikirkan Salib ataupun bentuk salib (cruciform) saat ia memilih kata-kata dan menyusun kata-kata syair lagu tersebut sehingga berbentuk seperti yang sekarang kita kenal? Rasanya tidak mungkin sejauh itu. Kalau si pencipta syair lagu itu adalah orang Islam, kiranya jelas dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk menebar kebencian. Oleh karena itu, konotasi yang mengandung unsur "menebar kebencian" hanya ada dalam benak si ustad penceramah saja. Dialah yang mempunyai imijinasi religius yang tidak puitis, yang tidak romantis, dan tidak naturalis. Dan dari sana muncul benih-benih kebencian dan memprodusir ceramah-ceramah yang mengumbar rasa benci. 

Poin saya yang lain yang terkait dengan lagu NAIK-NAIK KE PUNCAK GUNUNG ini ialah bahwa, kalau toh benar bahwa lagu itu diciptakan oleh orang Kristen, rasanya tidak mungkin dia punya niatan apa pun untuk memakai lagu-lagu tersebut untuk alat pewartaan iman Kristiani lewat upaya penggambaran akan salib. Kiranya penyebaran iman Kristen tidak akan pernah memakai cara-cara yang aneh seperti itu. Cara-cara penyebaran iman Kristen selama ini ialah pewartaan yang normal saja, pewartaan biasa, dan kalau atas penyelenggaraan Ilahi ada yang merasa tertarik maka orang itu akan diterima ke dalam komunitas. Tetapi itupun harus melewati suatu proses dan pentahapan yang tidak mudah sebelum orang itu dibaptis. 

Jadi, adalah sangat keliru kalau ada anggapan bahwa lagu itu adalah alat proses Kristenisasi. Proses Kristenisasi tidak perlu memakai hal-hal seperti itu. Sebab penyebaran iman Kristiani, menurut paham orang Kristen, adalah hasil karya Roh Kudus juga, bukan terutama hasil usaha manusia. Dan walaupun itu hasil karya Roh, tidak otomatis bahwa orang yang bertobat akan langsung dibaptis dan diterima begitu saja. 

Bersambung.... 

DUA LAGU ANAK-ANAK BERMASALAH? BGN 1

Oleh: Fransiskus Borgias 

Beberapa waktu belakangan ini saya secara kebetulan saja menemukan sebuah video di youtube. Video itu berisi rekaman ceramah seorang ustad di hadapan umatnya. Saya tidak usah menyebut nama ustad tersebut. Saya cukup mendeskripsikan isi videonya tersebut secara verbal dalam tulisan saya yang singkat dan sederhana ini. 

Dalam video itu ia mempostulasikan dua hal pokok berikut ini. Pertama, bahwa bahkan ada lagu-lagu anak-anak yang sengaja diciptakan untuk program Kristenisasi di Indonesia. Lagu yang ia maksudkan ialah lagu-lagu anak-anak yang berjudul Naik-naik ke puncak gunung. Menurut si penceramah, lagu ini sesungguhnya adalah sebuah lagu dengan latar belakang orang Kristen khususnya Katolik (bukan Protestan) karena syair-syair lagu itu ia kaitkan dengan praksis tanda salib. Kata-kata "naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali" itu pasti menunjuk ke atas, dan itu adalah tiang salib vertikal. Ada atas jadi ada bawah. Lengkap sudah tiang vertikal itu. Tetapi itu belum salib kalau hanya satu tiang vertikal, tegak lurus dengan langit. Nah baru datanglah baris kedua dari syair lagu tersebut yang berbunyi sebagai berikut: "Kiri-kanan kulihat saja." Menurut tafsir imajinasi ngawur sang ustad, gerak kata-kata kiri-kanan itu adalah lambang salib tiang palang melintang (horizontal). Nah barulah lengkap sudah bentuk salib itu. Jadi, lagu itu adalah lagu Kristenisasi di tengah masyarakat muslim yang mayoritas di negeri enamdua ini. 

Tidak hanya berhenti di situ. Karena lagu itu masih ada kelanjutannya. Potongan syair yang baru saja saya kutip tadi masih disambung dengan kata-kata berikut ini: "Banyak pohon cemara." Nah, ternyata pohon cemara ini juga sangat bermasalah bagi si ustad ini. Pohon cemara itu adalah pohon import, tetapi ia tidak menyebut import dari mana. Dan rupanya ia menyampaikan ceramahnya di suatu daerah di Sumatera. Sebab ia mengatakan, bahwa di sini ini (Sumetera) banyak pohon sawit. Rupanya ia ceramah di tengah kebun kelapa Sawit. Dia lupa bahwa Sawit itu juga import dari Afrika, oleh si Kumpeni Kafir Belanda dan mula-mula dibudidayakan di Kebun Raya Bogor. Baru setelah terbukti bisa hidup barulah dibudidayakan secara massal di negeri enampuluh dua ini. Apa masalah dengan pohon cemara itu? Ya, pohon cemara itu adalah pohon natal. Jadi, saat lagu anak-anak itu menyebut pohon cemara, sebenarnya dia mengingatkan kita semua akan Natal. Hemmmmm..... Catatan kritis saya akan saya berikan pada bagian kedua dari artikel singkat ini. 

Kedua, bahwa ada juga lagu anak-anak yang bahkan dengan sengaja menimbulkan efek kebencian terhadap umat muslim. Hemmmmm... Lagu yang ia maksudkan ialah lagu yang berjudul "Balonku ada lima." Yang menjadi masalah bagi dia ialah bagian syair lagu bait kedua. "Meletus balon hijau." Selama ini, entah bagaimana prosesnya, memang warna hijau, dalam wacana politik di Indonesia, selalu diasosiakan dengan kelompok Islam. Suatu hal yang tidak atau belum saya mengerti tentu saja. Kenapa hanya balon hijau saja yang meletus? Itu adalah program memecah-belah dan menebar kebencian terhadap umat muslim di negeri ini. Apalagi di bagian akhir dari bait tersebut dikatakan "Balonku tinggal empat, kupegang erat-erat." Pokoknya selain yang hijau yang sudah meletus tadi, ya dipegang erat-erat. Hemmmm..... 

Bersambung.... 

Sunday, May 31, 2020

METODE IBRANI

Oleh: Fransiskus Borgias M Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Judul tulisan saya ini ialah Metode Ibrani. Ya Metode Ibrani, atau dalam Bahasa Inggris disebut Hebrew Method. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah strategi Ibrani atau Hebrew strategy. Apa pun istilahnya, tetapi pertanyaan penting yang harus dijawab ialah apa yang dimaksud dengan ungkapan itu? Untuk memahami arti ungkapan itu, kita harus terlebih dahulu menukik ke dalam Perjanjian Lama, khususnya ke Kitab Keluaran, yang mengisahkan tentang pembebasan orang Israel dari perbudakan Mesir. Yang memimpin gerakan pembebasan itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Exodus atau Keluaran tersebut, ialah Musa/Moses. Menurut apa yang kita baca dalam Kitab Keluaran tersebut tampak beberapa untaian informasi yang penting dan menarik berikut ini. Dikatakan bahwa ketika orang-orang Israel berencana akan meninggalkan tanah Mesir, mereka membawa serta hal-hal yang amat berharga dari tanah Mesir itu, seperti emas, perak, uang, yang kelak akan mereka pakai untuk membangun bait suci di Yerusalem. Tetapi tidak semuanya mereka bawa. Hal itu tidak mungkin juga karena hal itu akan sangat membebani mereka di dalam perjalanan tersebut. Pergerakan mereka akan terhambat oleh beban pikulan atau bawaan yang terlalu banyak. Dan kalau toh mereka akhirnya membawa juga semuanya tentu saja itu adalah tanda serakah. Oleh karena itu, mereka hanya membawa yang penting-penting dan berharga saja. Yang tidak penting, dan yang dianggap akan menjadi beban yang tidak perlu, ditinggalkan saja di Mesir. Jauh di kemudian hari, St.Agustinus secara alegoris-analogis memakai hal atau perbuatan selektif orang-orang Ibrani ini sebagai kriteria atau patokan dan ukuran di dalam menghadapi ajaran-ajaran Filsafat Kafir yang ada di sekitar dia pada waktu itu. Bagi dia filsafat kafir (Yunani kuno) itu seperti harta Mesir yang berlimpah. Tetapi tidak semuanya baik dan berguna. Metode Ibrani pun dipakainya: ambil saja apa yang baik dan berguna. Kata kunci dia adalah uti dan frui, yang berguna dan mendatangkan kebahagiaan. Dengan pegangan ini Agustinus bisa menyeleksi dari khasanah filsafat kafir. Ada hal yang diambil dan dipergunakan sebagai alat bantu untuk merumuskan pelbagai macam ajaran iman (misalnya, ajaran Platonisme dan kelak dalam Neoplatonisme). Ada juga hal yang ditinggalkan dan bahkan sedapat mungkin dijauhi karena dianggap tidak berguna dan mungkin juga berbahaya bagi ajaran iman kristiani (seperti manikeisme, skeptisisme). Dengan itu ia menjadi jembatan emas Kristianitas ke dalam Neoplatonisme yang kemudian hidup terus di dalam Fransiskanisme. Via jembatan emas yang dibangun oleh santo Agustinus itu, maka warisan agung filsafat Yunani masuk ke dalam Kekristenan dan menjadi alat bantu untuk merumuskan pelbagai ajaran iman. Walaupun istilah “philosophia est ancilla theologiae” dikaitkan terutama dengan Thomas Aquinas, tetapi sesungguhnya kesadaran akan hal itu, juga sudah muncul di dalam diri dan praksis berfilsafat dan berteologi dari santo Agustinus itu sendiri. Itulah jasa agung dari santo Agustinus, suatu jasa yang kiranya tidak akan pernah terlupakan hingga sekarang ini. Ajaran Platonisme dan neoplatonisme ini dianggap sebagai hal yang berperan di dalam mengembangkan teologi mistik di dalam Kekristenan itu sendiri, walaupun hal itu jangan terlalu dibesar-besarkan juga, sebab bagaimanapun, tradisi teologi mistik di dalam Kekristenan memiliki tradisi biblis sebagai basis dan landasannya. Adalah teks seperti Kidung Agung dianggap sebagai inspirasi biblis bagi penghayatan hidup mistik. Post-Agustinus, tradisi Platonisme dan Neoplatonisme ini hidup terus dan dirawat oleh karya-karya antara lain dari orang seperti Pseudo-Dionsius pada abad keenam. Dan melalui dia hidup terus selama awal abad pertengahan dan terutama sekali hingga ke jaman puncak keemasan (golden period) dari filsafat skolastik itu sendiri. Hanya kemudian, pada pertengahan abad ketigabelas, pengaruh dari Agustinianisme itu mulai rada menjadi ‘redup’ karena pengaruh dari sepak terjang santo Tomas Aquinas yang kemudian mengganti Neoplatonisme itu dengan Aristotelianisme. Hal ini terjadi, bukan terutama karena orang tidak lagi suka akan Platonisme dan Agustinianisme, melainkan semata-mata karena pada jaman itu ada sebuah semangat baru yang merebak karena perkenalan para pemikir Eropa dengan filsafat Aristoteles. Di tempat lain saya sudah menyinggung bahwa perkenalan dengan Aristoteles ini terjadi berkat jasa para filsuf Yahudi dan Islam di Spanyol. Tetapi ternyata Aristoteles yang diperkenalkan oleh mereka, sudah mengalami semacam amputasi karena mereka berusaha menyesuaikan filsafat itu dengan ajaran agama Yahudi dan Islam. Oleh karena itu, para pemikir Kristiani mencoba menempuh jalan lain yaitu berusaha mengenal secara langsung filsafat Aristoteles itu dari Bahasa aslinya. Nah orang yang sangat berjasa dalam upaya ini ialah William Moerbecke. Orang inilah yang banyak menerjemahkan karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Latin, yang akhirnya bisa dipergunakan dengan sangat baik oleh Thomas Aquinas. Dengan menyebut kedua tokoh ini (Agustinus-Duns Scottus yang dipengaruhi oleh Plato dan Neoplatonisme dan Thomas yang dipengaruhi Aristoteles), saya sesungguhnya sudah menyebut dua tonggak historis yang sangat penting dalam sejarah gereja dan teologi Kristiani. Dengan adanya dua tonggak itu, maka gereja dan para pemikirnya seakan-akan sedang berada di persimpangan jalan dan di sana pada moment itu mereka harus memilih. Agustinus dan tradisi Fransiskan kelak memilih Plato dan Neoplatonisme yang kemudian diteruskan oleh tradisi Fransiskan (dalam diri antara lain orang seperti Bonaventura, dan terutama Yohanes Duns Scottus). Tomas Aquinas memilih Aristotelianisme. Kalau ditinjau dari sebuah sudut pandang yang besar dan menyeluruh, maka kita akhirnya bisa menyadari bahwa sesungguhnya “the turning point” seperti ini terus menerus terjadi di dalam Sejarah gereja dan sejarah teologi itu sendiri. Misalnya, pada abad 20 ini orang mulai menoleh kembali pada Teologi dan filsafat Patristik. Salah satu tokoh filsafat hermeneutic yang terkenal dan besar ialah Paul Ricoeur. Orang ini terkenal dengan beberapa bukunya yang tebal-tebal. Tetapi ternyata sumber ilham dia adalah Agustinus, terutama Confessiones-nya itu. Kini dengan muncul wacana filsafat modern dari orang-orang seperti Derida, Habermas, Foucault, Zizjek, Badiou, Ricoeur, Gadamer, mereka gereja dan para teologi sekali lagi ditantang untuk memilih dan memilih lagi. Di sini saya langsung teringat akan buku Paradigm Shift in Theology dari Hans Kung dan David Tracy itu. Kata mereka, di sepanjang waktu, teologi selalu mengalami pergeseran paradigm. Kini dalam kondisi post-modern ini, gereja juga harus memilih: berdamai dan bersaudara dengan filsafat postmodernisme yang beraroma Parisian itu. Hal itu tidak terhindarkan. Pada suatu saat Karl Rahner pernah berkata dalam salah satu jilid dari Theological Investigations-nya itu, teologi harus menjalin banyak relasi dengan disiplin lain, tidak hanya dengan filsafat saja. Maka dalam situasi dewasa ini, salah satu mitra dialognya ialah postmodernisme ini.

Saturday, May 30, 2020

KESENIAN ALAMIAH (NATURAL ATRS)

Oleh: Fransiskus Borgias

Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.

 


Ya, kesenian alamiah. Ini adalah terjemahan dari ungkapan natural arts dalam Bahasa Inggris. Rasanya sudah ada yang memakai istilah itu. Pasti dengan makna dan pemahaman berbeda juga. Tidak apa-apa. Saya memakainya dengan pemahaman dan pemaknaan saya sendiri. Itulah yang ingin saya usahakan dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini. Apa pun yang orang maksudkan dengan ungkapan itu, inilah makna yang saya maksudkan di sini. Yang saya maksudkan dengan ungkapan itu adalah ini. Alam dengan daya kekuatannya sendiri bisa bergerak dan menggerakkan unsur-unsur di dalam dirinya. Sesudah terjadi pergerakan itu maka akan muncul pola-pola yang indah dan mengagumkan. Terkadang pola-pola itu tidak terduga-duga sama sekali. Nah itulah yang saya maksud dengan natural arts itu (kesenian alamiah). Mungkin penjelasan dan definisi di atas masih terlalu kabur atau belum jelas. Mungkin juga dianggap terlalu abstrak. Nah, untuk membuatnya menjadi jelas dan kongkret, saya akan mendukungnya dengan beberapa contoh. Saya berharap contoh-contoh ini akan bisa menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan istilah itu.

Contoh pertama, air yang meresap ke dalam tanah yang mengandung kapur. Di dalam tanah itu ada gua bawah tanah. Setelah menembus tanah di permukaan akhirnya air tadi merembes dan menetes dari langit-langit gua. Tetapi karena tetes-tetes air itu mengandung kapur, maka lama kelamaan tumbuhlah stalagmite (bawah) dan juga stalagtit (atas). Terkadang dalam jangka waktu yang panjang, stalagtit dan stalagmite itu bertemu dan menyambung, membentuk tiang-tiang eksotis di dalam gua, seakan-akan mereka menyangga langit-langit gua itu agar tidak roboh. Di banyak tempat tiang-tiang itu, baik stalagtit maupun stalagmite dibaluri batu-batu Kristal kemilau indah. Kalau mereka terkena sinar lampur senter, mereka memantulkan pantulan cahaya yang sangat indah dan mengagumkan. Luar biasa. Setidaknya saya sudah melihat hal itu di gua Batu Cermin di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Saya juga pernah melihat hal itu di Liang Woja di beo Golo, Cibal. Juga saya pernah melihatnya di sungai bawah tanah di gua Pindul, Gunung Kidul, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Contoh lain: gundukan pasir di pantai Parang Tritis, Bantul. Di beberapa tempat, pasir pantainya cukup luas sehingga terkesan seperti padang pasir dalam bentuk mini. Angin laut selatan biasanya bertiup kencang. Saat datang angin yang bertiup, maka ia pun menyapu permukaan pasir itu. sapuan angina yang bertiup itu membentuk pola-pola gundukan pasir yang sangat indah. Dan pola-pola itu berubah setiap saat. Proses perubahan permukaan gundukan itu juga sangat indah. Kalau ada yang memfoto gundukan itu, maka foto itu hanya mengabadikan sepersekian detik saja dari totalitas proses pembentukan keindahan alamiah itu, the natural arts tadi. Kalau ada yang bikin video, maka video itu pun juga hanya merekam sepersekian detik saja dari proses dinamis terciptanya keindahan itu.

Lain lagi ceritanya dengan pasir yang terletak di bibir pantai tepat di bagian ombak menghempas lelah secara abadi tetapi tidak pernah bosan-bosan, sebab ia akan kembali lagi, menghempas lagi, tampak terkesan lelah lagi dan kembali lagi. Nah, seluruh proses itu juga ikut membentuk pola-pola pasir di pantai. Pasir itu disapu ombak, dihempas ombak. Ombak kembali. Saat ombak itu surut kembali ke laut, maka terbentuklah pola-pola indah di pasir, sebagai jejak-jejak sapuan air laut yang menghempas. Indah. Wow. Amazing. Kalau yang ini juga difoto ataupun divideo, maka foto dan video itu hanya merekam seperti sekian detik atau menit saja dari proses pembentukan keindahan itu. Alam laut, alam pantai, selalu melukis, selalu mengukir setiap saat. Tiada pernah berhenti. Sungguh mengagumkan bagi jiwa yang mudah terhanyut dalam kontemplasi kosmik.

Contoh lain: abu vulkanik di gunung api. Abu itu, saat diletupkan keluar dari perut bumi di puncak gunung, juga membentuk awan-awan panas yang sangat indah dan mengagumkan, tetapi sekaligus juga sangat mengerikan dan menakutkan, sebuah perpaduan paradoksal antara tremendum dan fascinossum di dalam wacana religious dari Rudolf Otto itu. tidak seberapa lama, debu panas vulkanik tadi turun ke bumi menutup permukaan tanah. Datanglah hujan. Lalu air hujan itu membuat debu tadi mengendap dan mengeras. Proses itu juga menghasilkan endapan-endapan yang sungguh mengagumkan. Indah. Saya bisa melihat hal ini sewaktu mendaki gunung Papandayan di Garut, September 2017 silam. Juga bisa saya lihat saat melihat sisa-sisa endapan debu vulkanik dari muntahan gunung Merapi baik dari Kaliulang, maupun dari arah Muntilan. Endapan-endapan yang sangat indah.

Mungkin contoh berikut ini akan membuat beberapa orang terkejut. Bagi saya, peristiwa tanah longsor juga adalah proses alami dari alam (ibu bumi) itu sendiri untuk membentuk, membenah dirinya sendiri, mempercantik permukaannya. Tidak jarang tanah longsor itu membentuk sebuah pemandangan yang indah walaupun juga sangat mengerikan. Kulit pohon juga sungguh mengagumkan. Tatkala pohon itu masih muda, kulitnya sangat mulus. Tetapi dengan semakin bertambahnya usia, maka kulit pohon itu membentuk pecahan-pecahan dan selaput-selaput yang indah. Bahkan terkadang tumbuh jejamuran juga di sana, jejamuran yang menempel rata di kulit pohon sehingga memberi warna indah tersendiri bagi kulit pohon tersebut. Permukaan bebatuan juga selalu mengalami perubahan karena pelbagai gesekan yang terjadi. Ampas kopi di gelas kopi juga bisa membentuk pola-pola yang indah dan mengagumkan. Terkadang tidak terduga-duga sama sekali.

Kalau kita memandang awan di langit. Lalu ada angin bertiup. Angin itu membentuk pola-pola awan yang indah dan mengagumkan. Luar biasa. Belum lagi kalau kita memandang awan itu dari atas ketinggian sekian ribu kaki saat naik pesawat terbang. Hal itu saya alami tahun 2000. Saat itu, saya mendapat beasiswa untuk belajar teologi di Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda. Untuk itu saya harus terbang ke sana tanggal 16 Agustus 2000. Saya memakai pesawat terbang KLM. Kami menempuh penerbangan selama 17-18 jam. Kami terbang sangat tinggi. Puji Tuhan saya bisa tidur dengan nyenyak. Saya mendapat kursi di dekat jendela di sebelah lambung kanan pesawat itu. Tatkala pagi tiba, saya melihat di kaca monitor bahwa kami terbang di angkasa Eropa Timur. Saya mendongak keluar. Luar biasa indah. Matahari pagi pancarkan sinar paginya yang amat silau menyinari awan tebal menggumpal. Oh Praise the Lord. How great Thou art. How great Thou art. Itupun adalah seni alamiah.

Itulah sekadar beberapa contoh. Memang alam ini adalah seniman agung yang dinamis dan terus bergerak dan melukis. Ia mencipta pola-pola dan bentuk-bentuk unik yang indah. Ajaib. Mengagumkan. Alam, selalu dalam proses mencipta karya seninya sendiri. Bahkan termasuk “memproses” umat manusia itu.

 


Thursday, May 28, 2020

ORANG YAHUDI YANG PERCAYA PADA YESUS KRISTUS

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias

Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR Bandung

 

 

Beberapa hari lalu saya mendapat sebuah video singkat di WA Group, yang dikirim teman saya, pak Sylvester Manti. Video pendek itu berdurasi kurang lebih lima menit. Video itu berkisah tentang pertobatan seorang Yahudi menjadi pengikut Yesus. Peristiwa pertobatan itu ia istilahkan dengan sebuah rumusan menarik: menerima Yesus dalam diri dan hidupnya. Bagi dia bertobat berarti mau menerima Yesus di dalam hidup dan dirinya. Menarik sekali apa yang ia kisahkan di sana. Itulah yang saya kisahkan kembali dalam kata-kata sendiri, dalam tulisan singkat dan sederhana ini.

Ia mengatakan bahwa dalam sebuah keluarga Yahudi di mana pun di dunia ini selalu ditanamkan (diinternalisasi) sebuah pandangan bahwa Alkitab mereka adalah Tanakh, yang terdiri atas Torah, Nebiim, Ketubim (dan disingkat TANAKH). (Jadi kitab orang Yahudi itu bukan hanya Torah sebagaimana secara salah dipersepsikan oleh salah satu kelompok, sebab faktanya kitab suci orang Yahudi tidak hanya Torakh, melainkan ada juga Nebiim dan Ketubim). Orang Yahudi dalam video pendek itu rupanya tinggal di Italia. Karena itu, ia menyangka bahwa agama Kristen (Katolik) itu muncul di Italia. Bahkan ia juga menduga bahwa Yesus dan pengikutNya yang semula adalah orang Italia. Hal itulah yang ia ketahui dan pegang dan yakini sampai pada suatu saat ia sangat terkejut tatkala mengetahui bahwa agama Kristen itu muncul di tanah Kanaan, di Galilea dan Yudea (dengan sengaja saya tidak menyebut Palestina karena entitas ini adalah sesuatu yang muncul di kemudian hari). Tokoh kita tadi semakin terkejut lagi saat ia mengetahui bahwa Yesus adalah orang Yahudi yang lahir, besar, dan mati di Kanaan itu. Tadinya ia mengira Yesus adalah orang Italia. Dan dia juga bahkan semakin terkejut lagi setelah mengetahui bahwa ternyata agama Kristen itu lahir dari Rahim agama Yahudi juga.

Karena itu, sejak muncul semua pengetahuan dan kesadaran seperti itu, ia pun mulai diam-diam mencari dan menekuni asal-usul agama tersebut. Untuk itu, diam-diam dia mulai membaca Perjanjian Baru, kitab suci orang Kristen (tentu dia salah karena Kitab Suci orang Kristen itu tidak hanya PB, melainkan juga mencakup PL). Yang jelas ialah bahwa selama ini ia selalu diberi gambaran oleh orang tua dan lingkungan agama Yahudi yang ia anut, bahwa apa yang disebut PB adalah kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dulu pada abad pertama pernah mengejar dan menganiaya orang Yahudi. Tentu saja informasi itu tidak benar. Bahkan sangat salah secara historis.

Betapa dia sangat terkejut lagi saat ia membaca secara langsung untaian kitab Perjanjian Baru. Untaian pertama ialah Injil Matius. Saat ia membaca bab pertama Injil Matius itu ia terperangah. Di sana dikatakan bahwa Yesus adalah anak Daud, anak Abraham. Jadi, jelas bahwa Yesus (yang ia lafalkan Yeshua, Yoshua) adalah orang Yahudi. Itu adalah fakta historis yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Lebih terkejut lagi karena selama ini selalu dikatakan di kalangan orang Yahudi bahwa orang Kristen yang semula adalah orang yang menganiaya orang Yahudi. Ternyata setelah ia membaca PB, justru yang terjadi ialah yang sebaliknya, yaitu orang Kristen-lah yang menjadi korban persekusi yang dilakukan orang Yahudi. Jadi, apa yang ia ketahui selama ini berdasarkan pendidikan dalam keluarga Yahudi, merupakan sebuah pembalikan dan penggelapan fakta sejarah yang mengerikan. Orang Yahudi masa kini mencitrakan diri sebagai kelompok yang baik, justru dengan menjelekkan peran orang Kristen jauh di masa silam. Padahal yang sesungguhnya terjadi secara historis ialah orang Kristen yang menjadi korban pengejaran (persekusi) yang dilakukan oleh orang Yahudi yang sangat fanatic dan berteriak-teriak di jalanan menyerukan nama Tuhan untuk menuntut darah orang.

Sejak munculnya kesadaran dan pengetahuan seperti itu, dia pun tidak ragu lagi menjadi Kristiani, dengan menerima Yesus Kristus. Sejak itu ia menjadi Christianoi (istilah yang diambil dari Kisah Para Rasul 11:26). Selama ini ia diam-diam dan merahasiakan hal itu dari lingkungan teman dan keluarganya. Tetapi pada suatu kesempatan, sekelompok orang Yahudi berkumpul dan di dalam perkumpulan itu mereka ditanya siapakah yang percaya dan siap menerima Yesus, ia dengan berani angkat tangan. Selain itu masih ada beberapa orang lain. Yang membuat dia terkejut ialah bahwa ternyata ayahnya juga mengangkat tangan. Ia klarifikasi: “Ayah ini yang ditanya ialah siapa yang percaya pada Yesus. Ayahnya juga tanpa ragu mengatakan, “Ya, saya percaya dan menerima Yesus. Jadi, ternyata ayahnya juga diam-diam sudah lama mempertimbangkan untuk menerima Yesus Kristus di dalam hidupnya.

Saat saya menonton video ini saya tiba-tiba teringat akan untaian kuliah Filsafat Yahudi dulu di STF Driyarkara yang diampu oleh Pater Alex Lanur OFM. Saya ingat, pada suatu saat, di dalam salah satu rangkaian kuliah itu, Pater Alex mengatakan sbb: “Hanya ada dua saja alasan untuk orang Yahudi agar mereka dapat menjadi orang Kristen dan menerima Yesus. Alasan pertama, mereka hidup sejaman dan setempat dengan Yesus. Itulah yang terjadi dengan para rasul dan orang-orang lain dalam PB yang menjadi percaya dan menerima Yesus saat mereka melihat dan mendengar pewartaan-Nya. Tetapi argument ini tidak seluruhnya benar. Sebab banyak orang Yahudi lain pada waktu itu yang tetap tidak percaya pada Yesus walaupun mereka melihat dan mengalami Yesus secara langsung. Bahkan mereka berusaha membunuh Yesus dan nyatanya juga sudah membunuh Yesus.

Alasan kedua, yaitu mereka mengalami sebuah mukjizat di dalam hidup mereka. Jadi, walaupun tidak hidup sejaman dengan Yesus, tetapi kalau mereka mengalami sebuah mukjizat, maka ada kemungkinan mereka akan mau bersedia untuk menerima Yesus dan menjadi pengikut Yesus. Contoh yang paling terkenal kiranya ialah Paulus. Ia yang tadinya adalah seorang pengejar dan penganiaya orang Kristiani, tetapi setelah mukjizat di perjalanan ke Damaskus itu, akhirnya ia bertobat dan menerima Yesus di dalam hidupnya. Kiranya orang di dalam video singkat tadi juga mengalami mukjizat perjumpaan yang membawa sebuah penyingkapan dalam hidupnya.

Akhirnya di sini saya juga ingat akan seorang teologi Yahudi masa kini, tetapi saya lupa namanya. Dalam bukunya ia pernah mengatakan bahwa krisis pembuangan Babel (abad 6 sebelum Masehi) telah mengilhami banyak karya rohani yang agung dalam sejarah dan tradisi Israel. Ia tidak menyebut PB sama sekali. Oleh karena itu, di sini saya menyebut PB juga. Bagi saya PB merupakan salah satu produk literer rohani yang luar biasa mengagumkan yang dihasilkan oleh orang-orang Yahudi pasca krisis penghancuran bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 Masehi itu. luar biasa.

 


Wednesday, May 27, 2020

DAYA IMAJINASI MANUSIA

Oleh: Fransiskus Borgias.
Dosen dan Peneliti pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.




Murray Bodo OFM, adalah penulis Fransiskan asal Amerika Serikat. Ia produktif menulis karya-karya yang bernafaskan spiritualitas Fransiskan. Ia adalah imam Fransiskan yang berasal dari salah satu propinsi Fransiskan di sana. Salah satu bukunya ialah yang berjudul Santa Clara, Cahaya Dalam Taman (Nusa Indah Ende 1996). Aslinya ditulis dalam Bahasa Inggris: Clare, A Light in the Garden. Awal 90-an saya menerjemahkan buku itu ke Bahasa Indonesia. Tahun 1995, saya mengirim naskah itu ke Nusa Indah Ende. Ternyata mereka menerimanya dan menerbitkannya tahun 1996. Puji Tuhan.

Apa hal penting yang menyebabkan saya terdorong membuat catatan ini? Sebenarnya tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Tetapi saya bisa mengatakannya begini. Dalam pengantar buku itu, ia pernah mengatakan sesuatu hal yang sangat menarik: Daya imajinasi manusia mempunyai kekuatan untuk mengingat dan menyimpan peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia. Sejarah atau history mempunyai caranya sendiri untuk merekam dan mengingat, yaitu dengan mencatat pelbagai peristiwa yang terjadi dalam hidup. Dengan itu terbentuklah kronik dan catatan historis. Pencatatan itu demi mudah dan sistematikanya, entah berpusat pada tokoh besar tertentu, atau terpusat pada peristiwa atau kejadian dahsyat tertentu. Misalnya, yang berpusat pada tokoh tertentu, seperti Paus yang sangat mencolok perannya dalam percaturan politik internasional. Atau yang berpusat pada peristiwa-peristiwa besar dunia, seperti Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Atau dalam konteks Sejarah Gereja Katolik, orang berbicara tentang Konsili Vatikan II ataupun Konsili Vatikan I atau Konsili Trente. Pokoknya ada sentrum tertentu pada mana orang mengacu saat menulis pelbagai peristiwa atau kejadian.

Di pihak lain daya imajinasi manusia (imagination) mempunyai caranya sendiri yang unik untuk mengingat dan menyimpan peristiwa. Sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya saya menyinggung dulu tulisan saya yang lain tentang imajinasi. Sedemikian kuatnya peran imajinasi dalam hidup manusia, sehingga orang bisa mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bisa membangun imagi atau gambaran di dalam hati dan budinya. Tentu hal itu erat terkait dengan eksistensi manusia itu sebagai imago dei. Kemampuan manusia untuk bisa menggambar dan membayangkan di dalam kalbunya, bisa dijelaskan dengan fakta bahwa manusia, menurut Kejadian 1:26-28, adalah citra Allah, imago dei. Atas dasar itu ada yang mengatakan bahwa manusia adalah homo imaginans, makhluk yang bisa membangun dan membentuk gambar dalam dan dengan kekuatan akal budinya. Ungkapan homo imaginans ini dibentuk berdasarkan ungkapan-ungkapan lain yang sudah ada, seperti homo ridens, homo ludens, homo laborans, homo orans, dll.

Tetapi Murray Bodo sekali tidak menjelaskan lebih rinci mengenai apa cara unik itu, atau bagaimana cara kerjanya, cara menyimpan dan cara mengingatnya. Ia hanya mengatakan bahwa daya itu ada dan bekerja secara sangat ajaib dalam hidup manusia. Murray Bodo mengaku bahwa saat menulis buku ini (juga bukunya tentang Fransiskus) ia banyak memakai daya kekuatan imajinasinya untuk membangun cerita tentang Fransiskus dan Klara. Dan dalam artian itu, seperti halnya juga sejarah, daya imajinasi manusia mempunyai otoritas yang kuat. Dengan cara itu, ia pun bisa melengkapi sejarah.

Sejarah (history) tentu tidak mungkin mencatat semua hal, semua peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat maupun dalam relasi antar manusia. Pasti ada hal atau segi yang mungkin dilupakan. Ada yang dengan sengaja diabaikan untuk memberi prioritas dan penekanan pada hal-hal tertentu yang dianggap lebih penting dan lebih relevan untuk dikisahkan sebagai sejarah.

Menurut Murray Bodo, lubang-lubang atau kekosongan sejarah itu diisi dengan hasil-hasil kerja daya imajinasi manusia. Bahkan ketidak-tahuan sejarah juga bisa diisi dengan daya kekuatan imajinasi anak-anak manusia. Hal itu terutama berlaku bagi para penafsir sejarah. Dengan daya kekuatan imajinasi orang bisa mengembangkan pembacaan secara hermeneutic atas sejarah itu. Berkat kekuatan imajinasi, orang bisa mengembangkan cara baca just the lines of the texts, tetapi orang bisa juga mengembangkan cara baca between the lines (of the texts), dan akhirnya orang juga bisa mengembangkan cara baca also the lies in the process of producing the texts. Bodo mengatakan: “Jika anda percaya, sebagaimana aku percaya, bahwa daya khayal kadang-kadang membawa kita lebih dekat pada kebenaran daripada fakta, lalu barangkali anda berani eprcaya bahwa daya khayal dapat juga merekam sesuatu yang gagal direkam oleh sejarah.” (p.8).

Dengan bekal keyakinan itu Bodo mulai menyusun ceritanya yang indah tentang santa Clara. Hal itu dilakukannya setelah ia menyelesaikan bukunya tentang Fransiskus Asisi, yang berjudul Francis, A Journey and a Dream. Buku tentang Fransiskus Asisi ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Spiritualitas OFM di bawah koordinasi P.Paskalis B.Syukur OFM (sekarang uskup Bogor) dan P.Ignas Wagut OFM. Sedangkan buku tentang Santa Klara sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dengan bekal daya imajinasi itu Bodo menyusun banyak cerita fiksi tentang apa yang kiranya dipikirkan Klara muda saat ia meninggalkan keluarganya, Bangsawan Offreducio, lalu pada malam hari, bergabung dengan Fransiskus dan para saudara lainnya. Hal itu dilukiskan dengan sangat indah dalam sebuah Bahasa Film oleh Franco Zeffirelli dalam filmnya Brother Sun and Sister Moon itu. Itulah yang pertama.

Hal lain yang diimajinasikan Bodo ialah renungan Klara di masa tuanya. Di sini ada sesuatu yang indah yang dilukiskan Bodo. Dalam imajinasi Bodo, dilukiskan bahwa Clara dan Fransiskus itu sesungguhnya juga saling mencintai. Walaupun tanpa noda-noda untuk saling memiliki apalagi saling menguasai. Menurut Bodo, cinta yang terjalin di antara mereka itu bersifat transparan, tembus pandang. Itulah sebabnya cinta mereka tidak tersangkut pada pribadi masing-masing, Fransiskus terpaku pada Clara dan Clara terpaku pada Fransiskus. Tidak seperti itu kata Bodo. Melainkan dalam peristiwa cinta di antara keduanya, mereka justru melampaui, go beyond, diri masing-masing dan akhirnya sampai kepada Allah, sang mahakasih itu. Lagi-lagi dalam imajinasi Bodo, saat mereka saling memandang dalam dan karena cinta, mereka tidak lagi terutama melihat manusia, melainkan melihat dan menemukan Allah. Sebab Allah adalah kasih. Yang berdiam dalam kasih, juga berdiam dalam Allah. Maka bisa dipahami bahwa mereka bisa sampai melihat Allah dalam dan karena saling mencintai.

Untuk memperkuat pandangan ini Bodo mengutip Paul Sabatier: “Kadang-kadang ada jiwa-jiwa yang begitu murni, begitu kurang duniawi, sehingga pada pertemuan mereka yang pertama, mereka masuk tempat yang paling suci; hal itu terjadi lebih sering dari yang kita duga. Dan begitu mereka berada di sana, maka pikiran mereka tentang suatu persatuan yang lain tidak hanya menjadi suatu perendahan, melainkan suatu yang tidak mungkin. Begitulah cinta Fransiskus dan Klara.” (p.7).

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...