Friday, June 12, 2020

WERI, MENANAM...

Oleh: Fransiskus Borgias 

Seorang sahabat di Facebook, Yuvens Janggat, seorang pegiat pemberdayaan pelbagai aspek kehidupan Masyarakat di Manggarai, pagi ini mampir di laman Facebook saya, dengan mentautkan sebuah tautan yang sangat menarik, yaitu peliputan dalam bentuk beberapa foto kegiatan bapa Uskup Ruteng dalam kunjungannya ke Manggarai Timur bagian utara, ke Lingko Lolok dan sekitarnya, yang sekarang menjadi daerah yang mungkin paling ramai dibahas di Manggarai, karena ada rumor bahwa akan masuk pabrik semen, tetapi yang sebenarnya itu hanya kamuflase untuk sebuah perusahaan tambang. 

Nah dalam acara kunjungan ini, konon dalam kotbahnya bapa Uskup Ruteng, menyerukan agar orang tetap mempertahankan tanah dan lahan pertanian mereka, mengembangkan hidup dari pertanian. Bahkan bapa Uskup secara simbolis sekali menyuarakan semuanya itu dengan aksi menanam sebuah pohon di halaman Kapel yang kiranya terletak di tengah daerah yang menjadi fokus perdebatan itu. Bagi saya, aksi bapa Uskup menanam pohon itu bisa diartikan sebagai sebuah seruan moral-etis-ekologis: Lihatlah, inilah yang saya tanam. Mana yang kau tanam? atau bisa juga diartikan sebagai: Marilah kita menanam lagi dan lagi, dan jangan meninggalkan kebiasaan yang sudah kita kenal dari turun temurun, yaitu menanam dan menanam. Sebab orang Manggarai hidup dari menanam. 

Terhadap tautan itu saya memberikan sebuah komentar. Adapun komentar saya sepenuhnya saya kutip sepenuhnya secara harafiah di bawah ini. Perubahan satu-satunya hanya di sini sudah ada pembagian dalam paragraf, sesuatu yang tidak bisa saya lakukan di sana, sebab kalau saya enter dalam komentar di sana, maka langsung akan terkirim. Makanya seluruh komentar itu sangat panjang dan hanya satu paragraf saja. Nah, paragraf yang panjang itu, saya penggal-penggal menjadi beberapa paragraf di bawah ini. 

Di sini kutipan dimulai:  
Hikmat lokal Manggarai ialah WERI, menanam. Saat akan WERI, ada ritual WUAT WINI, artinya menyuruh (wuat) agar benih (wini) itu pergi ke dalam tanah, berkecambah dan lalu mengeluarkan akar ke dalam tanah (wake celer ngger wa) dan kemudian tumbuh ke atas, ke permukaan tanah dalam rupa batang, cabang, ranting dan daun (saung bembang nggereta). Jelas sekali diungkapkan di sana, bahwa benih-lah yang disuruh oleh para leluhur orang Manggarai untuk masuk ke dalam misteri kegelapan rahim ibu bumi dan dari dalam rahim ibu bumi itu ia menghirup daya-daya hidup dan yang kemudian juga bisa menghidupkan. Itulah panen yang kita petik dari hasil usaha kita menanam dan menanam benih. 

Orang Manggarai tidak mengenal teknologi kaer tanah, apalagi kaer sampai wangker walek tanah seperti yang dilakukan tambang-tambang yang mengerikan itu. Oleh karena itu dalam hemat saya, seharusnya tugas pemerintah ialah mengembangkan local wisdom itu, mengembangkan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan yang kesemuanya adalah hidup dari permukaan bumi yang menurut pengamatan Fransiskus Asisi adalah bagaikan sang ibu yang dengan rajin dan tekun menumbuhkan tetumbuhan hijau dan berbiji, dan semuanya itu menjadi makanan dan asupan gizi bagi semua makhluk hidup. 

Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa "mencoba bertahan dengan pertanian adalah langkah mundur". Kalau memang ada yang berkata seperti itu, saya hanya mau mengatakan bahwa hingga saat ini pemerintah menurut saya belum berbuat apa-apa untuk memajukan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan. Mungkin di sana-sini ada, tetapi itu kebanyakan adalah inisiatif pribadi dan atau aktifitas dari LSM tertentu. Saya sangat yakin bahwa kalau semua aspek itu dikembangkan dengan sangat baik, dan modern, maka tidak akan ada pengangguran di Mangggarai, dan Manggarai akan menjadi maju semaju-majunya. 

Belum lagi kita berbicara mengenai pengembangan pariwisata. Kita mulai saja dengan pengembangan pariwisata alam yang jelas sudah merupakan modal dasar yang kita miliki. Ada banyak gunung dan bukit yang indah dan eksotik, ada banyak pantai yang indah, ada danau yang indah, ada air terjun (cunca) yang indah-indah, ada sawah spiderweb yang sangat terkenal itu. Di atas itu kita punya aset wisata budaya. Baik itu budaya yang asli Manggarai, maupun yang sudah tercampur dengan praksis-praksis Kristianitas. 

Akhirnya ada wisata religi, seperti gua maria, biara-biara yang unik dan eksklusif, maupun mungkin jalan-jalan salib yang bisa dibangun dan dikembangkan dengan sangat baik dan yang pasti didukung dengan sangat kuat oleh praksis hidup devosi umat yang sangat kuat. Kalau semuanya itu bisa digerakkan dan dihidupkan, maka Manggarai akan hidup, akan berjaya. 

Kalau saya berbicara Manggarai, maka yang saya maksudkan ialah Manggarai Raya yang dicakup di bawah satu Keuskupan, dengan pemimpin yang baru, EPISCOPUS RUTENGENSIS.... 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...