Thursday, June 11, 2020

LAGU ANAK-ANAK BERMASALAH? (BAGIAN 3. HABIS)

Oleh: Fransiskus Borgias 

Sekarang saya membahas secara khusus lagu yang kedua yang dipermasalahkan oleh sang penceramah tadi. Lagu tersebut ialah lagu yang berjudul BALONKU. Kiranya kita semua sangat hafal syair lagu itu. BALONKU ADA LIMA, RUPA-RUPA WARNANYA. HIJAU KUNING KELABU, MERAH MUDA DAN BIRU. Itulah bait yang pertama. Dan masalah belum ada di situ di dalam pengamatan sang ustad penceramah tadi. Masalahnya terletak dalam bait kedua lagu itu. Bunyinya demikian: MELETUS BALON HIJAU, HATIKU SANGAT KACAU. BALONKU TINGGAL EMPAT KUPEGANG ERAT-ERAT. 

Nah di sinilah letak masalahnya. Manakah masalah itu? Masalahnya terletak dalam kata-kata pertama dari bait kedua tadi: MELETUS BALON HIJAU. Hal itu di dalam tafsir si penceramah adalah semacam upaya memecah-belah umat islam, yang dalam wacana politik-sosiologis di Indonesia disebut kelompok hijau. Maka deskripsi peristiwa MELETUSNYA BALON HIJAU itu serta-merta dianggap oleh si penceramah sebagai upaya memecah-belah persatuan umat Islam. Manakala umat Islam sudah pecah, maka yang lain terus dipelihara dan disayang terus menerus, jangan sampai mati secara sia-sia saja. Dan kebetulan warna lain yang masih tidak pecah ialah ada warna kuning, merah muda, kelabu, dan biru. Entah apa yang dipikirkan dan diasosiasikan oleh si penceramah dengan warna-warna yang tersisa itu. Kalau kuning, kiranya jelas. Itu warna Golkar. Yang lain-lain tidak begitu jelas. Merah muda? Tidak ada yang cocok. Sebab PDIP itu merah tua. Jadi, tidak cocok. Apalagi yang warna kelabu. Tidak ada yang cocok lagi. Selain warna biru, masih ada yang cocok, sebab ada beberapa partai yang ada unsur biru dalam logo partainya. Selebihnya tidak ada yang relevan. 

Jadi, dengan demikian pengamatan si pak penceramah ini tidak seluruhnya tepat. Karena lagu ini sudah tercipta sebelum muncul partai-partai pasca reformasi yang mengambil warna biru sebagai warna logo partainya. Padahal lagu itu sendiri sudah tercipta jauh-jauh hari sebelum masa reformasi itu sendiri. Sebelum masa itu kita hanya mengenal tiga warna partai yaitu Kuning, Hijau, dan Merah. Warna biru baru muncul sesudah orde reformasi tahun 1998. Kalau tidak salah, partai pertama yang mengadopsi warna biru itu ialah PAN. Kalau anggapan itu benar, maka wacana curiga yang dilontarkan si penceramah tadi, juga menjadi tidak tepat. Karena toh PAN pun adalah partai Islam. Jadi, tidak seluruhnya benar bahwa yang islam itu dipecahkan atau dibiarkan pecah, sehingga yang lain, yaitu yang tidak pecah akan dipegang erat-erat. Artinya, dijaga baik-baik, dirawat, disayang-sayang. 

Kalau sudah dibaca dengan cara seperti ini, saya lalu bertanya dalam hati, model seperti apakah para pendengar ceramah dari si penceramah itu? Mengapa saya pertanyakan ini, karena kalau para pendengarnya kritis, maka mereka pasti akan melakukan kajian kritis terhadap omongan sang penceramah. Jika dikritisi maka tidak akan mudah dibohongi apalagi dengan tujuan menabur wacana kebencian seperti itu. Dan hal seperti itu kiranya jelas tidak baik dan bahkan sangat berbahaya dalam konteks berbangsa dan bernegera di Republik tercinta ini. Kalau para pendengarnya sudah kritis, maka si penceramah tidak akan mendapat jatah diundang lagi dalam ceramah berikutnya. Tetapi ternyata tidak demikian. Justru model penceramah seperti itu yang laku. 

Ya, mungkin para pendengarnya memang suka akan omongan yang memanipulasi data objektif dari sesuatu hal tertentu. Sebab omongan manipulatif seperti pasti akan menarik para pendengarnya. Dan kalau sudah berhasil menarik perhatian para pendengarnya, maka pasti si penceramah itu tidak akan diundang lagi, tidak akan memilik pembeli tertentu juga. Dan jika hal itu terjadi, maka itu adalah sebuah kiamat yang pasti bagi mereka. 

habis....    

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...