Tuesday, June 23, 2020

MENGENAL NABI HOSEA (BGN 4)

Oleh: Fransiskus Borgias M 


 

Dalam bagian terakhir dari tulisan yang terdahulu, saya sudah mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara Hosea dan kitab Ulangan. Kitab Ulangan itu sendiri oleh banyak para pakar Alkitab dianggap sebagai sebuah karya yang berasal dari lingkungan para Imam (dari utara) itu. Untuk mendukung pernyataan ini kiranya perlu diberikan beberapa contoh kongkret berikut ini tentang kemiripan yang ada di antara mereka. Pertama, misalnya baik kitab Hosea maupun kitab Ulangan memandang Israel sebagai sebuah bangsa yang mempunyai hubungan dengan Yahweh lewat sebuah relasi perjanjian yang dipengantarai oleh Musa (hal itu misalnya tampak dalam kedua teks ini: Ul 5; Hos 8:1-3; 12:14). Kedua, baik Hosea maupun kitab Ulangan sama-sama menunjuk kepada Dekalog (sepuluh perintah) sebagai sebuah gagasan garis besar yang mendasar dari apa yang dituntut Yahweh dari umat perjanjianNya (lihat Ul 5:1-22; Hos 4:1-3). Ketiga, baik Hosea maupun kitab Ulangan sama-sama menekankan arti penting dari hal “mengenal Yahweh” dan “tidak melupakan ataupun mengabaikan hukum-hukumNya” (lihat Ul 4:9; 6:6-13; 8:11-20; Hos 4:1-3). Memang kedua hal itu sangat penting bagi Hosea dan Ulangan. Keempat, keduanya yakin dan percaya bahwa tindakan “meninggalkan perjanjian Yahweh” dengan melanggar pelbagai hukum-hukum ini akan mendatangkan pelbagai akibat yang mengerikan dan dahsyat dalam hidup mereka (lihat Ul 28; Hos 8:3). Kelima, keduanya mencirikan peranan dari para imam sejati pertama-tama ialah menjadi “para pengajar” yang mengajarkan hukum ini, dan bukan terutama “orang yang mempersembahkan kurban-kurban” (lihat Ul 33:10; 31:9-11; Hos 4:6; 8:12). Keenam, keduanya sama-sama mempunyai sikap yang kritis dan tegas terhadap lembaga kerajaan dan memandang seorang raja tertentu hanya memiliki keabsahan sebagai raja kalau ia ditunjuk (diangkat, diurapi) oleh Yahweh (Ul 17:14-15; Hos 8:4). Ketujuh, keduanya memandang patung anak sapi di Betel (walaupun mempunyai asal-usul sejak jaman Harun juga) sungguh-sungguh merupakan simbol yang tidak sah (dank arena itu tidak dapat diterima) bagi Yahweh (Ul 9:15-21; Hos 8:5-7).

Dari ketujuh daftar itu kita dapat menyimpulkan bahwa suatu kemungkinan penafsiran yang sah dan mungkin terhadap kenyataan ini ialah dengan mengatakan bahwa mereka menunjuk ke sebuah latar belakang yang sama. Kalau tidak demikian, maka sulit kiranya terdapat kesamaan ataupun kemiripan tertentu dalam beberapa hal yang penting dari kehidupan iman Israel itu sendiri. Jadi, di sini mau dikatakan bahwa pelbagai kesamaan yang mencolok di antara pelbagai tradisi menunjukkan bahwa tradisi itu mungkin mempunyai asal-usul yang kurang lebih sama. Kita mendapat sebuah kesan yang kuat bahwa keduanya (kitab Ulangan dan kitab nabi Hosea) kiranya berasal dari komunitas-komunitas imamat (Levita) yang banyak bermukin di kerajaan utara. Kita harus ingat akan hal ini dengan baik. Kita juga harus terus mengingat akan fakta bahwa kaum Levita ini sudah dikucilkan dari tempat-tempat suci yang resmi yang didukung dan diselenggarakan oleh negara. Kalau kita ingat akan kedua fakta ini, maka kiranya kita bisa dengan cukup mudah memahami mengapa Hosea itu bersikap sangat kritis terhadap status dan lembaga imamat yang sudah mapan (lihat misalnya sikap kritis itu tampak terekam dalam Hos 4:4-11).

Tetapi para imam yang ia kritik bukanlah yang berasal dari kalangan kaum Levita. Melainkan kelompok para imam yang berasal dari latar belakang “keluarga yang biasa” saja. Konon raja Yeroboam dulu sudah mengangkat dan menunjuk mereka untuk menduduki dan melayani tempat-tempat suci yang ada di wilayah kerajaan utara (1Raj 12:31). Perhatikan bahwa kritik yang diajukan oleh nabi Hosea memang sebuah kritik yang sudah sepatutnya akan muncul dari kaum Levita terhadap lembaga imamat “jadi-jadian” (yang tidak berasal dari tradisi garis keturunan imamat yang tradisional, yang dikenal Israel). Misalnya, lembaga imamat yang ia kritik itu adalah lembaga imamat yang suka akan kurban (mempersembahkan kurban) dan mengurbankan tugas pengajaran. Maka akibatnya sudah sangat jelas, yaitu umat pun menjadi sangat kekurangan pengetahuan, bahkan berada dalam keadaan tanpa pengetahuan sama sekali. Kira-kira seperti yang diungkapkannya dalam kutipan berikut ini: “umat-Ku hancur karena kekurangan pengetahuan” (Hos 4:6). Jadi, di sini juga diandaikan bahwa para imam tersebut mengabaikan tugas mereka yang sebenarnya karena terlalu menekankan ibadat-ibadat kurban. Maka dari konteks seperti ini keluarlah kritik-kritik yang sangat pedas terhadap ibadat-ibadat kurban Israel, di pelbagai tempat kudus, yang ada di kerajaan utara.

Dari seluruh uraian yang sudah dibentangkan di atas tadi, kiranya kita boleh menarik beberapa poin simpulan berikut ini. Pertama, bahwa boleh jadi Hosea itu adalah seorang petani. Tetapi sekaligus juga kita bisa mengatakan bahwa dia juga adalah seorang anggota dari para imam dari suku Levi yang sudah dikucilkan, sudah tidak diberi kepercayaan lagi. Dengan menerima kedua macam pengandaian ini kita bisa juga membayangkan dia sebagai seseorang yang sangat terlibat di dalam kegiatan studi dan juga kegiatan mempertahankan dan mendorong serta memajukan kultur kontra yang sangat rapuh dan rentan ini (Lihat Hos 8:12; di dalam teks ini kita bisa dengan mudah melihat peranan yang kiranya mungkin ia mainkan di dalam tindakan membantu karya pelestarian dari pelbagai ajaran-ajaran yang diwariskan di dalam gereja untuk kemudian dibuat dalam bentuk yang tertulis, agar orang tidak lagi mudah lupa). 


Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR, Bandung. Anggota LBI dan ISBI. Ketua Sekolah Kitab Suci K3S Keuskupan Bandung. 


 


Monday, June 22, 2020

ATG: MEMBACA DAN MENAFSIRKAN KITAB SUCI

Oleh: Fransiskus Borgias M. 



Tulisan saya ini terkait pandangan mengenai hubungan umat Kristen Katolik dengan Kitab Suci. Ada semacam ketakutan, keseganan, dan keengganan di kalangan umat Kristen Katolik untuk membaca, memahami, dan menafsirkan Kitab Suci. Hal itu misalnya sedikit berbeda dengan semangat yang ada dan hidup di kalangan para saudara yang terpisah, para anggota jemaat Kristen Protestan. 

Akibat dari adanya ketakutan dan keengganan tersebut ialah fakta bahwa buku Kitab Suci orang-orang Kristen Katolik itu tetap bersih, tetap mulus; tanpa catatan apa pun di dalamnya, tanpa ada garis bawah, tanpa ada stabilo, tanpa ada tanda-tanda baca, tanpa ada catatan pinggir, semacam upaya “fill the blank space” seperti yang dilakukan oleh seorang teolog napi di Filipina yang, karena tidak mempunyai buku tulis, lalu menulis ide-idenya di pinggir halaman kitab sucinya, tetapi dari praksis itu ia kemudian menemukan sebuah metafora yang baru dan orizinal dan kreatif dan juga tepat sekali mengenai hubungan antara Kristianitas dan budaya asli setempat termasuk praksis agama asli di dalamnya. Keduanya dianggap saling mengisi satu sama lain. 

Kembali ke jalur tulisan ini, pokoknya buku Kitab Suci orang-orang Kristen Katolik itu mulus-mulus. Mungkin ada juga yang sudah berdebu tebal. Mungkin juga sudah ada yang halaman kitabnya lengket satu sama lain saking karena tidak pernah dibuka. Akibatnya, kitab itu menjadi jamuran, mungkin juga lumutan. Mungkin hal ini berlebihan, tetapi bisa saja hal seperti itu memang secara nyata terjadi. Tentu saja di sana-sini ada kekecualian juga. Ada umat Kristen Katolik yang buku Kitab Sucinya penuh dengan catatan, penuh dengan coretan, penuh dengan garis bawah, penuh dengan stabile, penuh dengan pelbagai tanda baca, terutama tanda-tanda seperti tanda seru (!), tanda tanya (?), tanda bintang (*), tanda kurung (()), dst.dst. Bagi saya kalau kita menemukan tanda-tanda seperti itu di dalam buku Kitab Suci seseorang itu adalah pertanda ada sebuah perjumpaan, ada sebuah upaya perjuangan untuk memahami, perjuangan untuk menafsirkan. 

Terkait dengan hal ini tiba-tiba saja saya teringat akan sebuah dialog antara saya dengan Pater CG dulu. Memang kami pernah berdialog tentang hal ini. Menurut dia, salah satu penyebab dari adanya keengganan dan keseganan umat Kristen Katolik terhadap buku Kitab Suci ialah karena efek dari penekanan pada peranan magisterium untuk menafsirkan Kitab Suci. Akibatnya ialah bahwa umat biasa merasa tidak perlu membaca buku Kitab Suci. Toh nanti hal itu pasti akan dibacakan oleh seorang petugas liturgy. Bahkan mungkin juga ada yang diam-diam dalam hati berkata, mengapa harus repot-repot menafsirkan dan memahami, toh nanti ada petugas yang menafsirkannya, membantu kita di dalam memahami kitab suci. Biasanya memang umat Kristen Katolik itu dibantu untuk memahami. Mereka lalu menjadi sangat manja, terbiasa disuap, tinggal menelan saja. Tidak terbiasa dengan proses-proses lain yang mendahuluinya, yang memang sangat penting untuk pemahaman pribadi dan perkembangan kepribadian juga. 

Selanjutnya pater CG juga menambahkan bahwa di kalangan umat Kristen Katolik ada anggapan yang cukup kuat bahwa ilmu tafsir (exegese) itu adalah sebuah ilmu yang bersifat eksklusif untuk sekelompok kecil para ahli (para pakar). Menarik sekali bahwa di dalam seluruh kariernya sebagai seorang ahli kitab Pater CG berusaha keras untuk membongkar mitos itu dan pelbagai anggapan yang sudah melekat kuat di dalam diri pribadi masing-masing orang. Walaupun pater CG sendiri adalah seorang ahli Kitab Suci, tetapi dia adalah seorang yang menganut aliran tafsir eksistensialis atas Kitab Suci itu. Yang dimaksudkan dengan tafsir eksistensialis ialah penafsiran kitab suci berdasarkan basis pengalaman hidup masing-masing orang. 

Memang ada banyak bahaya subjektivisme, tetapi ciri originalitas tampak sangat jelas di sana. Menurut saya bahaya subjektivisme bisa diredam di dalam perjumpaan dan konfrontasi dengan pelbagai macam tafsir dan pembacaan yang lain, sedangkan originalitas itu adalah sesuatu yang mengalir dan memancar keluar dari dalam hati sanubari masing-masing orang. Itulah arti penting dari originalitas itu. 

Terkait dengan gaya dan pola tafsir seperti ini, bahkan pater CG juga pernah menyebutkan bahwa para spesialis Kitab Suci itu sebenarnya adalah spesialis fosil-fosil belaka. Itu adalah produk dari hermeneutika yang mencoba mencari dan menggali apa yang ada di belakang teks. Padahal kitab suci selalu “mengemukakan” sesuatu. Kalau Kitab Suci itu selalu “mengemukakan” sesuatu (forward something) mengapa kita harus susah-susah mencari sesuatu di belakangnya? Kira-kira begitulah kritik terhadap tendensi tafsir kritik teks dan kawan-kawannya. 

Untuk memahami Kitab Suci dan untuk membuat Kitab Suci itu bisa mendarat dan bermakna bagi hidup umat beriman, menurut Pater CG kita tidak selalu mutlak memerlukan para ahli fosil tadi. Pater CG menekankan bahwa umat beriman biasa pun juga bisa secara langsung membaca dan memahami Kitab Suci. Syaratnya sederhana saja kok, kata dia. Asal saja mereka itu bisa membaca dan menulis dengan baik. Pokoknya, harus melek huruf dan melek angka. Sesederhana itu kata pater CG. 

Untuk menegaskan kebenaran historis yang sederhana itu pater CG lalu mengatakan kepada saya: “Ingat ya Frans, Kitab Suci itu pada mulanya ditulis untuk komunitas jemaat, yang pada umumnya orang-orang sederhana. Paling tidak, mereka itu bukan spesialis ilmu tafsir. Mereka itu bukan ahli fosil. Mereka itu umat biasa saja.” “Nah, coba kamu bayangkan bagaimana surat 1Tesalonika itu misalnya dibaca di ruang gereja rumah di Tesalonika pada tahun 50an Masehi itu. mereka itu baru saja bertobat dan menjadi Kristiani, para pengikut Kristus. Mereka pada umumnya adalah umat sederhana. Paulus menulis surat 1Tesalonika itu untuk mereka tadi. 

Nah, Frans, kalau surat itu dulu berbunyi bagi mereka, seharusnya surat itu juga bisa berbunyi bagi umat masa kini, dan umat sepanjang masa, di setiap waktu dan di setiap tempat. Sekali lagi, Paulus tidak menulis surat untuk kelompok umat spesialis. Melainkan ia menulis surat untuk umat yang sederhana, tetapi mereka mempunyai akal sehat untuk bisa membaca dan menulis, serta menafsirkan. Sudah barang tentu saat surat itu dibacakan di depan komunitas jemaat, pasti ada sang pembaca (lector) yang juga berfungsi sebagai commentator dan interpreter untuk surat tadi. Tetapi tetap saja tinggal fakta bahwa umat itu adalah orang yang sederhana dan mereka bisa memahami hal itu dengan sangat baik. Kalau umat yang sederhana itu dahulu bisa memahami dengan baik, kiranya kita dewasa ini dengan kondisi kemajuan yang lebih baik bisa memahami dengan lebih baik juga. Itulah idealismenya. 
Oleh karena itu, marilah kita membaca Kitab Suci dengan mind-set seperti itu. Janganlah membuat Kitab Suci itu menjadi sesuatu yang rumit, ruwet, dan sulit. Gunakanlah saja akal sehatmu. Selanjutnya Roh Kudus akan membantu anda untuk bisa menafsirkan dan memahami dengan lebih baik. 


Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung. 


Sunday, June 21, 2020

HENTIKAN RASISME

Oleh: Fransiskus Borgias M. 
(Sebuah catatan agak spontan setelah menonton video Kotbah dari Romo Amandus Rahadat). 
Dosen dan peneliti serior pada FF-UNPAR, Bandung. 


Setahun yang lalu, pada bulan Agustus, terjadi sebuah keributan di Surabaya, karena ada sebuah asrama mahasiswa Papua yang diteriaki dengan nada rasis terhadap para penghuni yang ada di sana. Buntut dari peristiwa itu ialah terjadi beberapa pecikan "api" di beberapa tempat, baik di pulau Jawa ini, maupun terutama sekali di Papua itu sendiri. Bahkan terjadi sebuah pergolakan sosial yang besar di tanah Papua itu sendiri. Cenderung ke arah kerusuhan massal. Syukur hal itu masih bisa diredam dan dikendalikan. 

Setelah peristiwa itu berlalu hampir setahun, rasanya seperti sudah dingin. Setidaknya itulah kesan yang kita dapatkan di tanah Jawa ini. Orang cenderung sudah melupakannya. Karena sudah melupakannya, maka cenderung juga tidak lagi begitu diperhatikan. Orang lalu menjadi lalai. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan di tanah Papua sendiri. Memang yang menjadi korban biasanya, tidak akan pernah dengan mudah melupakan cap dan stereotipe yang dikenakan oleh orang lain kepadanya. Orang pasti akan terus mengingat hal itu. Barangkali orang yang menyerukan seruan rasis itu sudah lupa, tetapi kelompok yang kepadanya seruan rasis itu ditujukan, tidak akan dengan mudah untuk melupakannya. Kiranya hal itu bisa dipahami dan dijelaskan dengan cukup mudah. Cap, apalagi cap negatif yang dikenakan oleh orang lain kepada kita, seperti langsung melekat ke dalam lubuk ingatan kita, laksana sebuah besi-panas yang ditempelkan pada badan hewan untuk menandai dan mencirikan hewan tersebut. 

Di tengah "keheningan" itu, ingatan orang akan aksi rasismu muncul lagi ke permukaan dengan sangat kuatnya, ketika di Amerika Serikat muncul kasus matinya seorang warga Kulit Hitam, George Floyd, akibat lehernya ditekan dengan lutut, kebetulan oleh seorang petugas kepolisian yang berkulit putih, dan kebetulan juga orang itu termasuk salah satu pendukung dari President Donald Trump itu sendiri (yang dicap rasis di dalam kebijakan pemerintahannya). Saya nonton video itu. Saya ingat kalimat terakhir yang diucapkannya: Saya tidak bisa bernafas. Sesudah itu ia lemas dan tidak bergerak lagi, dan ia pun mati. Jujur saja, saya menjadi sangat sedih menyaksikan video itu. Sebagai akibatnya, maka muncullah kerusuhan yang sangat mengerikan di seluruh Amerika Serikat, sebuah kerusuhan yang juga disertai dengan aksi penjarahan, karena orang-orang berada pada krisis hidup akibat krisis pandemi Covid-19 ini. 

Kira-kira seminggu yang lalu, saya juga menonton sebuah video dan mendapat sebuah naskah yang berisi pernyataan sikap dari para imam pribumi (asli Papua) terkait dengan rasisme dan pelbagai hal yang terjadi sesudahnya sebagai buntut dari perbuatan rasisme tersebut. Saya melihat di dalam video itu, juru bicara yang tampil ialah romo John Bunay Pr, seorang imam yang berasal dari Keuskupan Jayapura. Pernyataan sikap itu mewakili para imam yang "asli" papua, bukan hanya sekadar kelahiran Papua saja. 

Hari ini saya mendapat sebuah video yang berisi kotbah seorang Pastor di Katedral Timika. Pastor itu bernama pastor Amandus Rahadat. Kotbah itu disampaikan dalam kotbah Misa Hari Minggu Kemarin. Kotbah itu divideokan dan kemudian disebarkan di media sosial. Saya mendapatnya. Dengan bertitik tolak dari seruan Yesus dalam Injil Matius, bahwa JANGAN TAKUT kepada orang yang membunuh badanmu tetapi tidak mampu membunuh jiwamu. Atas dasar itu, sang pastor menyerukan agar semua orang, yang berkehendak baik, dan yang berpikiran rasional, waras, berani bersuara menyuarakan keadilan dan kebenaran. Lalu ia mulai mendarat: Keadilan dan kebenaran seperti apa yang ia maksudkan? 

Lalu sang Pastor Amandus teringat akan seruan pastor "asli" papua yang berjumlah 57 orang, yang minggu yang lalu, 8 Juni 2020, telah menyatakan sikap dan pendapat mereka terkait beberapa issue yang terjadi akhir-akhir ini. Seruan yang diserukan Minggu lalu, tangal 8 Juni 2020 itu, diserukan oleh juru bicara mereka, Pastor John Bunay. Seruan itu menyerukan tiga poin utama: Pertama, ajakan untuk menolak rasisme, kedua, untuk menolak segala bentuk ketidak-adilan, dan ketiga untuk menolak segala bentuk kekerasan (apalagi yang terjadi sesusah rasisme itu) terhadap umat Tuhan yang ada dan hidup di tanah Papua ini. 

Pastor Amandus memusatkan seluruh perhatiannya di dalam kotbah itu pada poin yang pertama yaitu persoalan rasisme. Persoalan itu ia langsung kaitkan dengan peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya tahun yang lalu, 16 Agustus 2019, di mana para penghuni wisma papua, diteriaki monyet. Pastor Amandus mengatakan bahwa tindakan dan kata-kata rasisme itu mempunyai konsekwensi yang sangat besar secara kemanusiaan, juga secara ipoleksosbud. Oleh karena itu ia menyerukan agar semua orang yang berkehendak baik dan berpikiran waras, harus bersuara menyerukan perbuatan rasis tersebut. Orang tidak bisa dan tidak boleh diam lagi. 

Di sini sama sekali tidak ada pilihan lain, selain harus bersuara menyalurkan kebenaran. Menurut Pastor Amandus, mengapa para imam asli Papua itu sampai harus bersuara, itu tidak lain karena gereja Hirarki diam, membisu, bungkam. Padahal gereja hierarki itu mempunyai daya kekuatan di seluruh dunia yang sangat besar. Tetapi sayangnya tidak bersuara. Padahal ia harus bersuara. Ia dengan lantang menyerukan tantangan kemanusiaan itu kepada, pemerintah, keamanan (polisi dan tentara), umat beragama, khususnya gereja Katolik, dan lebih khusus lagi Hierarki Gereja Katolik. 

Lalu secara pribadi saya merasa sangat tersentuh karena di beberapa bagian dari kotbahnya itu, pastor Amandus dengan lantang dan berani berkata bahwa semua orang yang pernah bertugas di Papua, kebetulan saya pernah dua kali mendapat tugas mengajar di Abepura Papua, agar demi akal sehat, demi hati nurani, berbuatlah sesuatu, berserulah untuk membela persoalan kemanusiaan ini. Dan untuk itu kita jangan takut, karena Tuhan Yesus sendiri yang menyuarakan hal itu. Saat saya mendengar seruan itu, saya menjadi sangat terharu. Diam-diam dalam hati saya menjawab pertanyaan retoris beliau dengan mengiyakan semua yang telah ia kerjakan dengan dia. 

Saya harus dengan berani dan jujur mengatakan bahwa ketika saya dipanggil dan ditugaskan untuk mengajar di Papua, persisnya mengajar para frater di Abepura, STFT Fajar Timur, Abepura, Papua, tentu saja saya mengajar manusia, mengajar sesama imago Dei, the image of God, my brothers who, like me, have been created in the very image of God. Karena itu, saya pun datang dengan penuh hormat, cinta dan bakti yang sama yang telah saya tunjukkan di tempat tugas saya yang utama, yaitu di Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. 


ATG – MENGENAL CLETUS GROENEN OFM

Oleh: Fransiskus Borgias

Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR, Bandung.

 

 

Pater Cletus Groenen. Sebuah nama besar dalam dunia teologi, khususnya teologi biblika di Indonesia. Ia adalah seorang dosen ilmu Kitab Suci pada Seminari Tinggi, Kentungan, Yogyakarta. Ia adalah seorang imam Fransiskan. Ia berasal dari negeri Belanda. Tetapi ia menamatkan sekolah Kitab Sucinya di Roma. Tetapi bukan di Biblikum, juga bukan di Gregoriana, melainkan di Antonianum, universitas milik para pater Fransiskan di Kota Abadi itu. sudah sejak tahun 50-an ia datang untuk berkarya di Indonesia. Mula-mula di Seminari Tinggi Fransiskan di Cicurug, Sukabumi, tetapi kemudian di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta.

Sebenarnya saya sendiri sudah pernah mendengar dan membaca sesuatu tentang nama Cletus Groenen (selanjutnya akan disingkat CG saja) sejak saya masih duduk di bangku Seminari Kecil dan Menengah Pius XII, Kisol, Manggarai Timur, Flores. Pada saat itu saya membaca tentang dia dalam beberapa berita yang ada di dalam majalah mingguan Hidup, ataupun juga dalam pelbagai tulisan dia yang muncul di dalam majalah bulanan Rohani, juga dalam majalah spectrum dari KWI, juga dalam majalah Orientasi, dan terutama sekali dalam buku-buku kitab suci yang dia tulis dalam bidang Kitab Suci, baik yang terbit di Kanisius, maupun terutama yang terbit di Nusa Indah, Ende, Flores.

Setelah tamat dari Seminari Menengah Pius XII Kisol, saya masih melewatkan masa pendidikan Postulant OFM di Biara Santo Yosef Pagal, Manggarai. Di sanalah, selama satu tahun, saya semakin banyak mengenal pater CG lewat majalah bulanan khusus intern keluarga OFM, yaitu Taufan yang asyik dan menghibur itu. Saya juga bisa mengenal beliau melalui majalah dwi-bulanan keluarga Fransiskan, yaitu Perantau, sebab beliau sering sekali menulis di sana tentang hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas Fransiskan. Di postulant ini juga saya bisa mengenal beliau lewat beberapa kepustakaan yang khas Fransiskan.

Hingga tahun 1982, bulan Juli, saya masih belum sempat bertemu dengan dia secara langsung, dari muka ke muka. Karena saya masih di Flores dan dia tinggal di tanah Jawa, persisnya di kota Yogyakarta. Sampai saat itu saya juga tidak tahu apakah ia pernah ke Manggarai. Yang jelas ialah bahwa pertemuan saya yang pertama dengan beliau baru terjadi pada pertengahan bulan Juli 1982. Setelah selesai dengan masa pendidikan postulant kami di Pagal selama satu tahun, saya dengan teman-teman lalu ramai-ramai berangkat menuju ke Yogyakarta untuk memulai pendidikan lanjutan kami yaitu di dalam novisiat Fransiskan di Biara Santo Bonaventura, Yogyakarta.

Baru pada saat itulah saya baru sempat bisa bertemu secara langsung dari muka ke muka dengan beliau. Saat itu ia tinggal di biara santo Bonaventura, Jl.Legi Papringan, No.7, Kotak Pos 29, Yogyakarta. Sehari-hari ia mengajar di Fakultas Teologi di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta, dan juga di STKAT Pradnyaparamita, Yogyakarta juga.

Sejak pertama kali saya melihatnya secara langsung saya langsung kagum dan terkesan sekali: Ia orangnya sangat serius, tekun, pekerja keras, matiraganya kuat (makannya sedikit) yaitu ia hanya makan roti sepotong saja di pagi hari, sedikit nasi di siang hari. Badannya sangat ramping (bahkan cenderung ke arah kurus). Ia juga selalu mengenakan jubah hitamnya. Hidupnya serba sangat teratur dan berirama. Yang sangat menarik perhatian saya ialah, walaupun dia seorang imam, seorang doctor Kitab Suci, seorang dosen yang terkenal, toh ia setiap hari mencuci pakaiannnya sendiri. Ia keringkan pakaiannya sendiri, pokoknya semuanya, dengan cara digantung dengan gantungan di jendela kamarnya yang terbuka kea rah taman bunga. Tampaknya tidak di setrika.

Ia juga seorang perokok sejati. Tidak ada waktu yang tanpa merokok. Ia hanya berhenti merokok kiranya saat ia tidur dan merayakan perayaan ekaristi dan brevir. Pada saat makan, dia juga makan cepat dan sesudah itu ia merokok. Di luar jam-jam itu ia merokok. Ia seorang perokok berat sudah bagaikan gerbong atau lokomotif Kereta Api yang terur berjalan. Ia bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam, seperti kata pemazmur itu. Ia sangat rajin dan sangat tekun membaca. Di meja kamarnya selalu ada buku tebal yang terbuka dan sedang dibacanya dengan tekun.

Oleh karena ia sangat suka merokok, maka ada banyak lubang-lubang kecil pada jubahnya. Lubang-lubang kecil itu ada di mana-mana, karena pengaruh percikan apir rokoknya sendiri. Ia juga seorang penasihat dan bapa rohani yang tegas dan berwibawa, tetapi juga terkadang jenaka. Selama di masa novisiat saya lebih dari tiga kali pergi meminta waktu dia untuk bimbingan rohani, berbicara dari hati ke hati tentang masalah hidup doa dan hidup seksualitas dan tentang drama jatuh cinta anak manusia.

Di bagian lain saya akan menceritakan satu persatu momen-momen itu. tetapi di sini saya lanjutkan dulu peristiwa perkenalan awal saya dengan beliau. Yang jelas, tidak pernah sekalipun saya melihat dia mengenakan pakaian lain selain jubah. Ia selalu berjubah. Jubah itu adalah pakaiannya sehari-hari, bukan hanya sekadar pakaian formalitas untuk urusan liturgis kegerejaan dan kealtaran saja. Sungguh-sungguh mengagumkan.

Pada suatu kali, saya lupa persis kapan waktunya, saya melihat dia pergi keluar. Oh ya bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Pada saat itu ia mengenakan celana panjang hitam dan baju atasan biru sangat muda (cenderung ke arah putih) dan berlengan panjang. Bajunya itu ia masukin ke dalam celananya. Istilah kami di Flores, khususnya di Manggarai, stell-in (lawannya stell-out). Entah diperoleh dari mana istilah itu. pater CG tampak ramping sekali dan cakep juga. Malam itu ia dijemput oleh seorang bule. Jauh di kemudian hari saya baru tahu bahwa itu tidak lain adalah Pater Dr.Bernhard Kiesser SJ, dosen teologi Moral di seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta.

Saya mendapat penjelasan dari para senior bahwa konon mereka pergi makan di sebuah restoran karena pada hari itu pater CG sedang merayakan hari ulang tahunnya. Belakangan juga saya diberitahu bahwa hanya Pater Bernhard Kiesser sajalah yang bisa mengajak pater CG pergi keluar untuk makan di restoran dengan mengenakan busana sipil (non-jubah). Tetapi itupun tidak pada sembarang waktu. Melainkan hanya pada kesempatan ulang tahunnya saja.

Konon tidak pernah ada vicaris dan kemudian provincial OFM yang bisa membujuk atau mengajak pater CG untuk pergi keluar dengan mengenakan busana sipil, seperti yang bisa dilakukan oleh Pater Kiesser. Maklum, pater Kiesser, konon, dulu adalah mahasiswa kesayangan pater CG, dan hubungan yang baik itu masih terus berlangsung bahkan setelah pater Kiesser sendiri juga sudah menjadi dosen teologi Moral di Seminari Tinggi Kentungan. Ah, pater CG yang unik, nyentrik, eksentrik.

 

                                           


Saturday, June 20, 2020

DRAMA NATAL JEAN PAUL SARTRE

Oleh: Fransiskus Borgias M.

 

 

Jean Paul Sartre, sastrawan, dan filsuf eksistensialis Prancis yang terkenal itu, pernah juga menulis sebuah naskah drama Natal. Hal itu ia lakukan pada masa Perang Dunia Kedua sedang berlangsung dengan sengitnya di Eropa. Pada saat itu, Jerman (Nazi) sedang menyerbu dengan penuh nafsu negara-negara lain tetangganya. Hal itu terjadi di bawah masa pemerintahan Adolf Hitler, Der Fuehrer itu yang terkenal dengan Mein Kampft-nya itu. Memang judul karyanya adalah sebuah drama Natal. Tetapi sesungguhnya yang menarik perhatian Sartre di dalam naskah drama Natal itu bukanlah peristiwa Natal itu sendiri. Focus perhatian dia jauh sekali dari peristiwa Natal itu. Ia hanya memakai peristiwa Natal sebagai konteks historis bagi drama yang ia tulis. Yang pasti Natal itu sendiri tidak sangat menarik bagi Sartre yang pada saat itu sudah mengakui diri sebagai seorang ateis, walaupun oleh neneknya di masa kecilnya ia dibesarkan secara Katolik dan dalam tradisi Katolik Prancis yang kental dan kuat.

Di dalam naskah drama itu Sartre justru tertarik pada satu fakta yang lain sama sekali. Yaitu Negeri Kanaan (negara Israel modern dewasa ini) diserbu dan dikuasai oleh bala tentara Kekaisaran Roma. Di dalam naskah itu Sartre mengecam peristiwa penyerbuan dan pendudukan itu oleh bala tentara Roma. Jadi, Sartre menempatkan konteks historis dramanya jauh di masa silam, pada masa-masa awal jaman Perjanjian Baru, Common Era, Christ Event, Anno Domini, Tahun Masehi.

Tentu saja para pembaca dan penonton sama sekali tidak akan keliru di dalam menafsirkan dan memahami maksud dari drama Natal ini. Sesungguhnya Sartre mau mengecam penyerbuan dan pendudukan yang dilakukan oleh Jerman kepada negara-negara lain yang ada di sekitarnya. Dalam kasus Sartre tentu saja ialah pendudukan dan penyerbuan oleh Jerman terhadap Prancis. Jadi, boleh dikatakan bahwa matanya sebagai penulis drama memang sedang memandang ke masa silam, tetapi hatinya justru sedang ada di sini, sedang memandang ke masa kini, sekarang dan di sini (hic et nunc).

Dengan cara penulisan seperti ini, Sartre sebenarnya mau menghindari sebuah konfrontasi dan konflik. Ia tidak mau secara frontal mengecam Jerman. Sebab hal itu pasti akan sangat berbahaya bagi hidup Sartre sendiri. Tetapi harus ada kritik dan kecaman yang keras. Maka apa yang dibuat Sartre ialah menengok ke masa silam dan di sana ia menemukan kisah yang kurang lebih sama dengan apa yang sedang terjadi secara nyata sekarang dan di sini. Melalui pengolahan ulang atas cerita itu ia menyampaikan pesan dan kritik politiknya untuk dan pada masa kini. Informasi singkat tentang hal ini dapat dibaca di dalam buku dari Prof.Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid 2, Prancis (Jakarta, Gramedia: 1996). Informasi khusus tentang drama Natal ini ada dalam halaman 85.

Ketika menulis tentang hal ini saya tiba-tiba teringat akan beberapa gejala lain yang kurang lebih seperti itu yang saya temukan di dalam Kitab Suci Yudeo-Kristiani. Di sana, di dalam Kitab Suci itu ada dua pengarang juga yang memakai metode yang sama. Yang pertama ialah Daniel dan yang kedua ialah Pengarang kitab Ruth. Sejauh yang saya ketahui, kitab Daniel itu ditulis atau muncul kurang lebih dua abad sebelum Masehi. Kita semua tahu bahwa pada kurun dua abad sebelum Masehi itu, negeri Kanaan (Israel) sedang berada di bawah himpitan dan tekanan pergerakan budaya dan agama Helenis. Terutama di bawah pemerintahan raja Antiokhus Epifanes dari Syria, maka orang-orang Israel di tanah Kanaan dipaksa untuk meninggalkan tradisi agama leluhurnya dan menjadi penganut agama Helenisme, sebab itulah yang menjadi cita-cita dasar dari pergerakan Helenisme yang mulai dicanangkan oleh Alexander Agung itu dan diteruskan lebih lanjut oleh para panglima perangnya.

Orang-orang Israel menjadi sangat menderita di bawah tekanan dan himpitan kekejaman militer dan terutama religious yang dilakukan oleh Antiokhus Epifanes. Terhadap tekanan itu muncullah pemberontakan kaum Makabe, yang memang untuk sementara waktu bisa mempertahankan kedaulatan Israel, tetapi akhirnya juga kalah. Berbeda dengan kaum Makabe, yang mengangkat senjata di bawah pimpinan Yudas Makabe itu, nabi Daniel menempuh sebuah jalan pendekatan yang lain. Ia mengecam dan mengeritik kebijakan sang raja itu, tetapi ia lakukan hal itu tidak secara langsung dan frontal. Melainkan ia menempatkan setting atau latar belakang ceritanya jauh ke masa silam, yaitu kea bad keenam ataupun kelima sebelum Masehi, di bawah masa pemerintahan Nebukadnezar.

Kekejaman Raja inilah yang ia lukiskan dan juga menubuatkan bahwa akan segera tiba saatnya untuk menjadi hancur dan runtuh. Sedangkan Israel akan menjadi selamat dan hal itu dilambangkan dengan tidak terbakarnya tiga pemuda Israel itu yang dihukum di dalam tanur api. Mereka tidak terbakar sama sekali karena mereka dilindungi oleh Malaekat, sehingga saat raja mengintip ke dalam tanur api itu, ia melihat ada empat orang, padahal ia hanya menjebloskan tiga orang saja. Dengan cara menempatkan setting cerita jauh ke masa silam, maka penguasa politik saat ini yang lalim dan kejam tidak bisa menjadi tersinggung sama sekali. Kalaupun toh ia tersinggung, Nabi Daniel bisa membela diri dengan mengatakan bahwa cerita yang ia susun bukanlah tentang dia melainkan tentang seseorang yang lain di masa silam. Titik. Beres. Habis perkara.

Pengarang yang lain ialah pengarang kitab Rut. Sesungguhnya orang ini adalah orang yang hidup pada masa Ezra dan Nehemia yang ditugaskan oleh Cyrus untuk membangun kembali Bait Allah di Yerusalem. Ketika Ezra melaksanakan tugas itu, ia juga melakukan semacam aksi pemurnian etnis. Caranya? Dengan menyuruh semua orang Israel yang kawin campur dengan orang bukan Israel agar segera menceraikan isteri-isteri mereka. Tentu saja hal itu amat menyedihkan. Maka muncullah penulis kitab Rut. Pesan pokok Rut hanya satu: Orang asing juga ada yang baik. Beristerikan orang asing tidak selalu merupakan hal yang tercela sama sekali. Buktinya? Ya si Rut itu. Rut adalah seorang perempuan Moab, jadi seorang Kafir. Tetapi ia berjanji setia kepada Naomi, sang ibu Mertua dan akhirnya kembali ke Betlehem dan menikah dengan Boaz di sana, dan itulah cikal-bakal leluhur Raja Daud yang terkenal itu. (Tentang Rut ini saya sudah membuat catatan yang lebih panjang di tempat yang lain).

Selain dengan cara seperti di atas tadi, ada juga pengarang lain yang memakai cara atau pendekatan yang lain. Misalnya dengan memakai fable. Memakai dunia binatang sebagai sindiran pedas kepada manusia. Mochtar Lubis memakai cara seperti ini. Hal itu tampak sangat jelas di dalam novelnya yang sangat menarik, Harimau-harimau. Lubis sebenarnya mengecam lawan politiknya yaitu Soeharto, sang arsitek dan penguasa Orde Baru. Harimau itu menjadi musuh bersama-sama para pencari kulit kayu manis di hutan. Ada seorang tokoh yang disebut Pak Dhe. Nah Pak Dhe ini mengembangkan sebuah narasi tentang harimau dan tentang takut akan harimau. Ia juga mengatakan bahwa hanya dia saja yang bisa mengatasi harimau karena dia saja yang jago menembak di kampung mereka. Hal itu orang percayai, karena hanya dia saja yang mempunyai senapan dan terbiasa memegang senapan itu. hal itu berlangsung sampai terbukti bahwa hal itu tidak benar. Maka sejak saat itu, otoritas Pak Dhe pun runtuh.

 


Friday, June 19, 2020

GEREJA IKAN (ICHTOUS DOMESTIK CHURCH)

Oleh: Fransiskus Borgias M. 

Saya tinggal di Kompleks Perumahan Taman Kopo Indah II Bandung sejak awal Desember 1998. Sejak awal saya tinggal di sana, ada beberapa rumah yang berfungsi sebagai gereja. Saya tidak akan menyebutkannya di sini. Juga saya tidak akan mencirikannya. Kurang lebih tiga atau empat tahun terakhir ini, ada sebuah gereja rumah yang menurut saya sangat unik. Bahwa itu adalah gereja rumah, hal itu bisa tampak dari kegiatan pada hari Minggu yang ramai. Ada banyak orang daripada biasanya. Ada banyak mobil dan motor yang parkir di jalan. Jadi, memang ada kegiatan peribadatan. Bagi saya tidak apa-apa. Bukan tentang hal itu saya mau menulis di sini. 

Yang mau saya tulis di sini adalah desain tampang depan dari domestic church itu. Di Bagian atas depan, dari jauh kita bisa melihat gambar seekor ikan raksasa. ada insangnya, ada matanya, dan ada juga mulutnya. Bodi ikan itu tampak sangat jelas sekali. Mungkin karena ada gambar yang berbentuk ikan itulah maka orang-orang menyebutnya gereja Ikan. Dan karena itu adalah rumah maka disebut domestic church, gereja rumahan, gereja di rumah. Dalam bahasa Yunani, ikan itu artinya ialah ichtous. Oleh karena itu, boleh juga disebut Ichtous Church, alias gereja ikan. 

Bagi orang-orang pada umumnya mungkin gambar ikan itu sama sekali tidak ada artinya. Mungkin orang bahkan mengira itu adalah rumah yang jual ikan, dan semua fasilitas pemeliharaan ikan, seperti aquiarium misalnya, sebab di Taman Kopo Indah memang ada banyak rumah-rumah aquarium seperti itu. Tetapi tentu saja rumah itu, bukan rumah ikan biasa. Untuk orang-orang Kristiani yang mengenal sejarah gereja, dan lebih khusus mengenal (tidak usah mendalami) sejarah kesenian Kristiani purba, maka gambar ikan itu pasti membawa satu makna tertentu. Apa itu? 

Bagi orang yang pernah membaca sejarah Gereja Purba, gambar ikan itu mempunyai arti yang sangat jelas. Pertama, pasti gambar ikan itu mengingatkan dia akan beberapa kali sebutan ikan di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Bahkan Yesus pernah menyuruh Petrus untuk menangkap ikan dan berhasil menangkap banyak ikan, melampaui apa yang selama ini pernah dialami oleh para nelayan itu. Mungkin juga orang ingat akan mukjizat Makan Kenyang yang dibuat oleh Yesus yang memberi makan kepada lima ribu orang dengan lima roti dan dua ekor ikan. 

Tetapi mungkin orang lain lagi ingat akan kesenian Kristiani purba pada jaman mereka hidup di dalam Katakomba-katakomba, gua dan lorong bawah tanah yang dipakai sebagai tempat persembunyian dari kejaran dan incaran orang-orang yang ingin memusnahkan kekristenan itu dari muka bumi. Agar tempat pelarian dan persembunyian di dalam tanah itu aman dan bisa menyelamatkan, maka mereka memerlukan beberapa simbol penunjuk arah yang berupa sebuah bahasa sandi internal yang hanya dikenal oleh orang-orang dalam saja. 

Sesungguhnya pada waktu itu, mereka memakai banyak simbol. Tetapi salah satu dari simbol-simbol itu ialah ikan. Di dalam bahasa Yunani ikan itu artinya ICHTOUS. Saat orang-orang Kristiani purba itu melihat gambar ikan maka mereka langsung terpikir akan keselamatan. Sebab bagi orang-orang Kristiani purba itu, ICHTOUS itu adalah sebuah singkatan teologis dan kristologis yang luar biasa indah dan mendalam. ICHTOUS itu adalah singkatan dari Iesus Christus Theou Ouios Soter. Artinya ialah Yesus Kristus Putera Allah Penyelamat. Jadi, saat orang melihat gambar itu di dinding lorong, maka itu adalah tanda keselamatan. Saat mereka menempuh lorong gelap dan rahasia itu, maka mereka akan selamat. Setidaknya mereka tidak terjebak di dalam jalan buntu di dalam lorong-lorong gelap di bawah tanah itu. Itulah fungsi dan peranan dari ICHTOUS tersebut. 

Ketika sedang sibuk memikirkan tentang hal ini, tiba-tiba saya terpikir tentang sifat-sifat dari simbol-simbol itu. Ada simbol yang sudah sangat bersifat eksklusif. Misalnya simbol Salib. Tatkala orang melihat simbol salib maka serta merta orang teringat akan Kristianitas, dan praksis doa yang menandai diri sendiri dengan tanda salib tersebut. Sekalipun orang itu orang yang bukan Kristen, tetapi mereka pasti akrab dengan tanda dan gambar salib itu. Bahkan muncul juga fenomena sosial di mana orang takut akan salib, staurophobia, cruciphobia, dan karena ada phobia terhadap stauros (salib), maka orang pun lalu mengembangkan pelbagai macam wacana untuk mematikan tanda salib tersebut. 

Itulah sebabnya, ada orang yang cenderung berpikir bahwa simbol salib itu sudah sangat bersifat eksklusif. Dan tanda khas dari eksklusivisme ialah cenderung mengeliminasi lian betapapun proses eliminasi itu berlangsung sangat halus dan tidak kelihatan. Tanda salib itu membangun semacam ciri pembeda ada aku dan kau, bahkan bukan lagi hanya pembeda, melainkan juga menjadi semacam tembok pemisah yang memisahkan aku dan kau, kami dan kamu, mereka. Walaupun sebenarnya tanda salib itu sangat bersifat universal. Bahkan tanda salib itu sudah ada mendahului kekristenan itu sendiri. Tetapi pengkaitan historis antara salib dan Kekristenan sudah sangat kuat dan karena itu tidak bisa lagi tersangkalkan oleh siapapun, juga tidak bisa lagi dihapus oleh siapapun. 

Itulah yang membedakan simbol salib dengan simbol lain. Dalam konteks ini, salib itu saya kontraskan dengan gambar ikan tadi. Mungkin karena orang tidak tahu, maka penolakan tidak terasa, karena orang tidak tahu. Hal itu misalnya sangat berbeda dari pengenalan orang-orang pada umumnya terhadap salib. Salib itu sudah menjadi semacam tanda pengenal Kekristenan. Salib menandai rumah-rumah orang Kristen. Sedangkan ikan atau ichtous ini, sekalipun sangat luhur dan mulia, karena terkait langsung dengan misteri kristologi, masih sangat bersifat inklusif. Salah satu ciri khas dari sikap inklusif itu ialah kemauan dan kerelasediaan untuk menerima lian apa adanya juga dengan dan dalam agamanya sendiri. 

Dengan pertimbangan seperti itu maka sikap para pemilik domestic ichtous church itu menurut saya sangat bijaksana. Mereka tetap mau setia kepada iman Kristologis, tetapi sekaligus tetap bersikap inklusif di dalam ekspresi simbolik secara sosial di ruang publik. Kita tidak lagi semata-mata terpaku pada satu simbol saja, apalagi kalau simbol itu sudah menimbulkan semacam rasa takut (staurophobia) dan curiga dari lian. Pemakaian simbol ikan, setidaknya hingga saat ini, sangat bersifat inklusif. Saat orang melihat ikan, maka yang spontan terpikirkan ialah mungkin ikan goreng, ikan bakar, ataupun ikan pepes. Tidak ada sama sekali konotasi yang bersifat Kristologis. 

Menurut saya, ini adalah sebuah tantangan bagi Kreatifitas Kristiani, baik untuk menggali simbol-simbol lain yang bersifat historis, tetapi sekaligus bersifat inklusif, maupun, seperti halnya dulu orang-orang Kristiani purba sendiri, mengembangkan eksperimen-eksperimen teologis baru untuk mengembangkan wacana dan imaji-imaji baru yang bisa dipakai sebagai simbol, sekali lagi simbol yang tidak eksklusif, melainkan simbol yang mutlak bersifat inklusif. 

Dosen dan Peneliti FF-UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung. 


Thursday, June 18, 2020

MENGENAL NABI HOSEA, BAGIAN 3

Oleh: Fransiskus Borgias M 
Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR, Bandung. 
Ketua Sekolah Kitab Suci K3S Keuskupan Bandung. 

 



Dalam bagian terdahulu diberitahukan bahwa nabi Hosea, dengan mengikuti usul dari exegete kondang dari Jerman, Hans Dieter Wolff, kiranya berasal dari keluarga para imam. Informasi ini penting dan menarik. Untuk bisa memahami arti penting informasi ini mungkin ada baiknya kita melihat sejenak tentang kelompok para imam ini, apa yang menjadi nasib mereka. Sebab bagaimana pun dalam kaca mata antropologi budaya modern, kelompok para imam ini adalah kelompok sub-kultur yang penting dan menarik untuk dikaji (diamati).

Hal pertama yang bisa dikatakan tentang mereka ialah bahwa pernah terjadi dalam perjalanan sejarah Israel, kelompok para imam Levita ini merupakan kelompok yang menjalankan fungsi dan peranan sebagai pemimpin (paling tidak dalam bidang ritual) dalam masyarakat Israel (lih. Ul 18:1-8). Bahkan menurut Keluaran 32:25-29, adalah Musa sendiri, yang adalah tokoh besar yang dipandang sebagai pendiri dan pemberi landasan kokoh eksistensi historis dan teologis Israel, yang telah menunjuk dan mengangkat mereka untuk menjalankan fungsi dan peran sebagai imam (bdk., juga Ul 33:8-11). Hal itu dilakukan Musa untuk memberi mereka pahala atau imbal jasa karena kelompok ini sudah sangat berjasa selama Israel sedang melewati masa-masa krisis di dalam perjalanan historis mereka. Terlebih lagi, haruslah disadari terus menerus bahwa pada masa-masa awal pendudukan Israel di Kanaan, adalah Elia tokoh yang terkenal itu, salah satu anggota dari kelompok tadi, yang bertugas sebagai imam atas seluruh Israel yang berkedudukan di pusat tempat suci bangsa itu, yakni persisnya di Silo (1Sam 1:3).

Tetapi justru pada saat itulah terjadi sebuah drama tragedi besar dalam sejarah hidup dan eksistensi mereka. Pada masa-masa itu terjadi serangkaian peperangan antara orang Israel dan orang Filistin. Dalam untaian peperangan itulah tempat suci yang sangat penting ini dihancurkan. Tidak hanya itu. Bahkan ada satu benda warisan sangat suci yang ada di tempat itu, yaitu tabut perjanjian, juga jatuh ke tangan orang Filistin (lihat 1Sam 4-6). Ketika hal itu terjadi, untuk suatu kurun waktu tertentu, Israel tidak memiliki satu pusat tempat suci sama sekali. Bahkan symbol kehadiran dan penyertaan Yahweh kepada mereka juga dirampas oleh orang lain. Tetapi untung tokoh Daud merebut kembali tabut perjanjian itu dan membawanya ke Yerusalem. Kemudian ia menempatkan tabut perjanjian itu di sana dalam sebuah kemah khusus yang didirikan untuk tabut tersebut (2Sam 7). Salah satu anggota kelompok para imam, yakni Abiathar, lagi-lagi diangkat sebagai satu dari dua imam yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pelbagai aktifitas peribadatan di sana (lih.2Sam 8:17; informasi mengenai garis keturunan Levitikus dari Abiathar, bisa dilihat misalnya dalam 1Sam 14:3; 22:20-23).

Kemudian, tragedi maut itu terjadi lagi untuk kedua kalinya. Hal itu terjadi tatkala Daud mati. Saat itu Abiathar dan keluarganya diusir dari Yerusalem oleh Salomo (yang adalah anak Daud sendiri, dari Batsyeba, isteri Uria). Abiathar diusir karena mereka menentang Salomo yang berjuang naik tahta menggantikan kedudukan Raja yang baru mangkat (1Raj 2:26-27). Tragisnya lagi, tatkala tempat-tempat suci di kerajaan utara dibangun di bawah pemerintahan raja Yeroboam (setelah sepuluh suku Utara memisahkan diri dari dua suku Selatan dan dengan itu mereka mendirikan kerajaan utara), ternyata kaum Levita ini tidak dipandang lagi. Mereka disepelekan, disingkirkan. Ternyata orang di kerajaan utara lebih memilih orang yang berasal dari “keluarga biasa” (1Raj 12:31).

Jadi, dari untaian fakta historis itu tampak bahwa keluarga-keluarga Levita dari kerajaan Utara, walaupun mereka mempunyai garis keturunan yang sangat terhormat sebagaimana sudah ditunjukkan secara singkat di atas tadi, ternyata tidak memiliki peranan resmi apa pun sebagai para imam di salah satu tempat suci yang dibangun negara, baik itu di selatan maupun di utara. Kiranya memang demikianlah keadaannya selama kurang lebih dua abad. Itulah yang terjadi pada jaman nabi Hosea. Yaitu, mereka berasal dari garis keturunan imam, tetapi mereka tidak bertugas sebagai imam di tempat suci negara.

Kalau Hosea memang merupakan salah satu keturunan kelompok para imam, maka sangat mungkin bahwa Hosea menopang hidupnya dengan kegiatan bertani. Kiranya hanya itulah pilihan yang tersedia, sebab pada jaman itu mereka tidak lagi bertugas di tempat-tempat suci yang dibangun negara. Namun demikian, karena imamat itu bersifat herediter, maka mereka tetap merupakan kelompok imam. Nah status ini, bisa membantu kita untuk memahami Hosea. Kemudian, pada masa pembaharuan (reformasi) Yosiah tahun 621, fungsi dan peranan imamat mereka dipulihkan lagi paling tidak untuk sebagian. Kiranya pada waktu inilah mereka ditetapkan lagi dan diangkat untuk menempati jabatan dan status sebagai bawahan para imam yang berasal dari keturunan Harun di Yerusalem yang saat itu sedang menjadi pemimpin para imam di sana (2Raj 23:8-9; Bil 3:6).

Tetapi apakah kiranya yang menjadi alasan bagi kita untuk menduga bahwa Hosea mempunyai satu keterkaitan tertentu dengan tradisi Levitikus (imamat)? Kunci untuk memahami keterkaitan ini ialah adanya hubungan yang sangat erat antara Hosea dan kitab Ulangan. Banyak pakar biblika berkeyakinan bahwa kitab Ulangan ini mempunyai asal-usul dalam tradisi Imamat ini (perhatikanlah bagaimana kitab Keluaran itu menerima begitu saja sebuah kenyataan bahwa kaum Levita merupakan satu-satunya kelompok imam yang ditunjuk Yahweh) (Lihat misalnya Ul 18:1-8). (Bersambung….).

 


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...