Thursday, June 18, 2020

MENGENAL NABI HOSEA, BAGIAN 3

Oleh: Fransiskus Borgias M 
Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR, Bandung. 
Ketua Sekolah Kitab Suci K3S Keuskupan Bandung. 

 



Dalam bagian terdahulu diberitahukan bahwa nabi Hosea, dengan mengikuti usul dari exegete kondang dari Jerman, Hans Dieter Wolff, kiranya berasal dari keluarga para imam. Informasi ini penting dan menarik. Untuk bisa memahami arti penting informasi ini mungkin ada baiknya kita melihat sejenak tentang kelompok para imam ini, apa yang menjadi nasib mereka. Sebab bagaimana pun dalam kaca mata antropologi budaya modern, kelompok para imam ini adalah kelompok sub-kultur yang penting dan menarik untuk dikaji (diamati).

Hal pertama yang bisa dikatakan tentang mereka ialah bahwa pernah terjadi dalam perjalanan sejarah Israel, kelompok para imam Levita ini merupakan kelompok yang menjalankan fungsi dan peranan sebagai pemimpin (paling tidak dalam bidang ritual) dalam masyarakat Israel (lih. Ul 18:1-8). Bahkan menurut Keluaran 32:25-29, adalah Musa sendiri, yang adalah tokoh besar yang dipandang sebagai pendiri dan pemberi landasan kokoh eksistensi historis dan teologis Israel, yang telah menunjuk dan mengangkat mereka untuk menjalankan fungsi dan peran sebagai imam (bdk., juga Ul 33:8-11). Hal itu dilakukan Musa untuk memberi mereka pahala atau imbal jasa karena kelompok ini sudah sangat berjasa selama Israel sedang melewati masa-masa krisis di dalam perjalanan historis mereka. Terlebih lagi, haruslah disadari terus menerus bahwa pada masa-masa awal pendudukan Israel di Kanaan, adalah Elia tokoh yang terkenal itu, salah satu anggota dari kelompok tadi, yang bertugas sebagai imam atas seluruh Israel yang berkedudukan di pusat tempat suci bangsa itu, yakni persisnya di Silo (1Sam 1:3).

Tetapi justru pada saat itulah terjadi sebuah drama tragedi besar dalam sejarah hidup dan eksistensi mereka. Pada masa-masa itu terjadi serangkaian peperangan antara orang Israel dan orang Filistin. Dalam untaian peperangan itulah tempat suci yang sangat penting ini dihancurkan. Tidak hanya itu. Bahkan ada satu benda warisan sangat suci yang ada di tempat itu, yaitu tabut perjanjian, juga jatuh ke tangan orang Filistin (lihat 1Sam 4-6). Ketika hal itu terjadi, untuk suatu kurun waktu tertentu, Israel tidak memiliki satu pusat tempat suci sama sekali. Bahkan symbol kehadiran dan penyertaan Yahweh kepada mereka juga dirampas oleh orang lain. Tetapi untung tokoh Daud merebut kembali tabut perjanjian itu dan membawanya ke Yerusalem. Kemudian ia menempatkan tabut perjanjian itu di sana dalam sebuah kemah khusus yang didirikan untuk tabut tersebut (2Sam 7). Salah satu anggota kelompok para imam, yakni Abiathar, lagi-lagi diangkat sebagai satu dari dua imam yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pelbagai aktifitas peribadatan di sana (lih.2Sam 8:17; informasi mengenai garis keturunan Levitikus dari Abiathar, bisa dilihat misalnya dalam 1Sam 14:3; 22:20-23).

Kemudian, tragedi maut itu terjadi lagi untuk kedua kalinya. Hal itu terjadi tatkala Daud mati. Saat itu Abiathar dan keluarganya diusir dari Yerusalem oleh Salomo (yang adalah anak Daud sendiri, dari Batsyeba, isteri Uria). Abiathar diusir karena mereka menentang Salomo yang berjuang naik tahta menggantikan kedudukan Raja yang baru mangkat (1Raj 2:26-27). Tragisnya lagi, tatkala tempat-tempat suci di kerajaan utara dibangun di bawah pemerintahan raja Yeroboam (setelah sepuluh suku Utara memisahkan diri dari dua suku Selatan dan dengan itu mereka mendirikan kerajaan utara), ternyata kaum Levita ini tidak dipandang lagi. Mereka disepelekan, disingkirkan. Ternyata orang di kerajaan utara lebih memilih orang yang berasal dari “keluarga biasa” (1Raj 12:31).

Jadi, dari untaian fakta historis itu tampak bahwa keluarga-keluarga Levita dari kerajaan Utara, walaupun mereka mempunyai garis keturunan yang sangat terhormat sebagaimana sudah ditunjukkan secara singkat di atas tadi, ternyata tidak memiliki peranan resmi apa pun sebagai para imam di salah satu tempat suci yang dibangun negara, baik itu di selatan maupun di utara. Kiranya memang demikianlah keadaannya selama kurang lebih dua abad. Itulah yang terjadi pada jaman nabi Hosea. Yaitu, mereka berasal dari garis keturunan imam, tetapi mereka tidak bertugas sebagai imam di tempat suci negara.

Kalau Hosea memang merupakan salah satu keturunan kelompok para imam, maka sangat mungkin bahwa Hosea menopang hidupnya dengan kegiatan bertani. Kiranya hanya itulah pilihan yang tersedia, sebab pada jaman itu mereka tidak lagi bertugas di tempat-tempat suci yang dibangun negara. Namun demikian, karena imamat itu bersifat herediter, maka mereka tetap merupakan kelompok imam. Nah status ini, bisa membantu kita untuk memahami Hosea. Kemudian, pada masa pembaharuan (reformasi) Yosiah tahun 621, fungsi dan peranan imamat mereka dipulihkan lagi paling tidak untuk sebagian. Kiranya pada waktu inilah mereka ditetapkan lagi dan diangkat untuk menempati jabatan dan status sebagai bawahan para imam yang berasal dari keturunan Harun di Yerusalem yang saat itu sedang menjadi pemimpin para imam di sana (2Raj 23:8-9; Bil 3:6).

Tetapi apakah kiranya yang menjadi alasan bagi kita untuk menduga bahwa Hosea mempunyai satu keterkaitan tertentu dengan tradisi Levitikus (imamat)? Kunci untuk memahami keterkaitan ini ialah adanya hubungan yang sangat erat antara Hosea dan kitab Ulangan. Banyak pakar biblika berkeyakinan bahwa kitab Ulangan ini mempunyai asal-usul dalam tradisi Imamat ini (perhatikanlah bagaimana kitab Keluaran itu menerima begitu saja sebuah kenyataan bahwa kaum Levita merupakan satu-satunya kelompok imam yang ditunjuk Yahweh) (Lihat misalnya Ul 18:1-8). (Bersambung….).

 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...