Oleh: Fransiskus Borgias M
Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR, Bandung.
Ketua Sekolah
Kitab Suci K3S Keuskupan Bandung.
Dalam bagian terdahulu diberitahukan bahwa nabi Hosea, dengan mengikuti usul
dari exegete kondang dari Jerman, Hans Dieter Wolff, kiranya berasal dari
keluarga para imam. Informasi ini penting dan menarik. Untuk bisa memahami arti
penting informasi ini mungkin ada baiknya kita melihat sejenak tentang kelompok
para imam ini, apa yang menjadi nasib mereka. Sebab bagaimana pun dalam kaca
mata antropologi budaya modern, kelompok para imam ini adalah kelompok sub-kultur
yang penting dan menarik untuk dikaji (diamati).
Hal pertama yang bisa dikatakan tentang mereka ialah bahwa
pernah terjadi dalam perjalanan sejarah Israel, kelompok para imam Levita ini
merupakan kelompok yang menjalankan fungsi dan peranan sebagai pemimpin (paling
tidak dalam bidang ritual) dalam masyarakat Israel (lih. Ul 18:1-8). Bahkan
menurut Keluaran 32:25-29, adalah Musa sendiri, yang adalah tokoh besar yang
dipandang sebagai pendiri dan pemberi landasan kokoh eksistensi historis dan
teologis Israel, yang telah menunjuk dan mengangkat mereka untuk menjalankan
fungsi dan peran sebagai imam (bdk., juga Ul 33:8-11). Hal itu dilakukan Musa untuk
memberi mereka pahala atau imbal jasa karena kelompok ini sudah sangat berjasa
selama Israel sedang melewati masa-masa krisis di dalam perjalanan historis
mereka. Terlebih lagi, haruslah disadari terus menerus bahwa pada masa-masa
awal pendudukan Israel di Kanaan, adalah Elia tokoh yang terkenal itu, salah
satu anggota dari kelompok tadi, yang bertugas sebagai imam atas seluruh Israel
yang berkedudukan di pusat tempat suci bangsa itu, yakni persisnya di Silo
(1Sam 1:3).
Tetapi justru pada saat itulah terjadi sebuah drama tragedi
besar dalam sejarah hidup dan eksistensi mereka. Pada masa-masa itu terjadi serangkaian
peperangan antara orang Israel dan orang Filistin. Dalam untaian peperangan
itulah tempat suci yang sangat penting ini dihancurkan. Tidak hanya itu. Bahkan
ada satu benda warisan sangat suci yang ada di tempat itu, yaitu tabut
perjanjian, juga jatuh ke tangan orang Filistin (lihat 1Sam 4-6). Ketika hal
itu terjadi, untuk suatu kurun waktu tertentu, Israel tidak memiliki satu pusat
tempat suci sama sekali. Bahkan symbol kehadiran dan penyertaan Yahweh kepada
mereka juga dirampas oleh orang lain. Tetapi untung tokoh Daud merebut kembali
tabut perjanjian itu dan membawanya ke Yerusalem. Kemudian ia menempatkan tabut
perjanjian itu di sana dalam sebuah kemah khusus yang didirikan untuk tabut
tersebut (2Sam 7). Salah satu anggota kelompok para imam, yakni Abiathar,
lagi-lagi diangkat sebagai satu dari dua imam yang bertanggung-jawab
menyelenggarakan pelbagai aktifitas peribadatan di sana (lih.2Sam 8:17;
informasi mengenai garis keturunan Levitikus dari Abiathar, bisa dilihat
misalnya dalam 1Sam 14:3; 22:20-23).
Kemudian, tragedi maut itu terjadi lagi untuk kedua
kalinya. Hal itu terjadi tatkala Daud mati. Saat itu Abiathar dan keluarganya
diusir dari Yerusalem oleh Salomo (yang adalah anak Daud sendiri, dari
Batsyeba, isteri Uria). Abiathar diusir karena mereka menentang Salomo yang
berjuang naik tahta menggantikan kedudukan Raja yang baru mangkat (1Raj
2:26-27). Tragisnya lagi, tatkala tempat-tempat suci di kerajaan utara dibangun
di bawah pemerintahan raja Yeroboam (setelah sepuluh suku Utara memisahkan diri
dari dua suku Selatan dan dengan itu mereka mendirikan kerajaan utara),
ternyata kaum Levita ini tidak dipandang lagi. Mereka disepelekan, disingkirkan.
Ternyata orang di kerajaan utara lebih memilih orang yang berasal dari
“keluarga biasa” (1Raj 12:31).
Jadi, dari untaian fakta historis itu tampak bahwa
keluarga-keluarga Levita dari kerajaan Utara, walaupun mereka mempunyai garis
keturunan yang sangat terhormat sebagaimana sudah ditunjukkan secara singkat di
atas tadi, ternyata tidak memiliki peranan resmi apa pun sebagai para imam di
salah satu tempat suci yang dibangun negara, baik itu di selatan maupun di
utara. Kiranya memang demikianlah keadaannya selama kurang lebih dua abad. Itulah
yang terjadi pada jaman nabi Hosea. Yaitu, mereka berasal dari garis keturunan
imam, tetapi mereka tidak bertugas sebagai imam di tempat suci negara.
Kalau Hosea memang merupakan salah satu keturunan
kelompok para imam, maka sangat mungkin bahwa Hosea menopang hidupnya dengan
kegiatan bertani. Kiranya hanya itulah pilihan yang tersedia, sebab pada jaman
itu mereka tidak lagi bertugas di tempat-tempat suci yang dibangun negara.
Namun demikian, karena imamat itu bersifat herediter, maka mereka tetap
merupakan kelompok imam. Nah status ini, bisa membantu kita untuk memahami
Hosea. Kemudian, pada masa pembaharuan (reformasi) Yosiah tahun 621, fungsi dan
peranan imamat mereka dipulihkan lagi paling tidak untuk sebagian. Kiranya pada
waktu inilah mereka ditetapkan lagi dan diangkat untuk menempati jabatan dan
status sebagai bawahan para imam yang berasal dari keturunan Harun di Yerusalem
yang saat itu sedang menjadi pemimpin para imam di sana (2Raj 23:8-9; Bil 3:6).
Tetapi apakah kiranya yang menjadi alasan bagi kita untuk
menduga bahwa Hosea mempunyai satu keterkaitan tertentu dengan tradisi
Levitikus (imamat)? Kunci untuk memahami keterkaitan ini ialah adanya hubungan
yang sangat erat antara Hosea dan kitab Ulangan. Banyak pakar biblika
berkeyakinan bahwa kitab Ulangan ini mempunyai asal-usul dalam tradisi Imamat
ini (perhatikanlah bagaimana kitab Keluaran itu menerima begitu saja sebuah
kenyataan bahwa kaum Levita merupakan satu-satunya kelompok imam yang ditunjuk
Yahweh) (Lihat misalnya Ul 18:1-8). (Bersambung….).
No comments:
Post a Comment