Wednesday, June 17, 2020

MENGENAL NABI HOSEA (BGN 2)

Oleh: Fransiskus Borgias M 

Dosen teologi Biblika FF-UNPAR, Bandung. Anggota LBI dan ISBI. 

Ketua Sekolah Kitab Suci K3S Bandung. 



Mari kita lanjutkan upaya kita untuk mengenal dan mendalami sosok pribadi nabi Hosea. Di sini kita terutama mau mengetahui dan membahas dua hal. Pertama, dari mana ia berasal. Kedua, apa pekerjaannya? Kita mulai dengan yang pertama. Sebenarnya kita tidak tahu pasti di mana nabi Hosea ini tinggal dan berkarya. Tetapi ada satu-dua hal yang bisa kita simpulkan dari apa yang dilukiskan di dalam kitabnya. Semua nama tempat yang disebut dalam kitabnya adalah nama tempat yang terletak di kerajaan Utara. Hal ini terasa sangat mencolok. Karena itu, para ahli condong untuk berkata bahwa kiranya nabi ini berasal dari dan berkarya di kerajaan Utara. Hal itu terasa mencolok lagi jika kita bandingkan dengan fakta lain dalam kitabnya yaitu bahwa tidak pernah sekalipun dalam kitab itu nama Yerusalem disebutkan. Padahal kota itu sangat penting sejak jaman kerajaan bersatu di bawah Daud dan Salomo. Tetapi Ibu kota Yudea itu tidak pernah disebutkan. Terkesan bahwa Yerusalem itu bukan apa-apa.

Sebaliknya nama-nama kota yang paling sering muncul ialah kota-kota seperti Samaria. Hal itu tidak mengherankan, sebab Samaria adalah ibukota Kerajaan Utara, Israel. Pada jaman Amos, misalnya kerajaan utara itu berada pada puncak kejayaan dan kemakmurannya secara ekonomis. Hal itu tampak dari marak dan mewahnya kegiatan peribadatan di Betel (Amos 5:21-23). Di dalam kitab Hosea kita juga temukan beberapa kali nama Efraim disebut; itu adalah suku Israel yang terbesar di kerajaan utara. Selain itu kita juga bisa menemukan penyebutan nama tempat-tempat suci yang terletak di kerajaan utara seperti Betel dan Gilgal (Hos 5:15; 6:10; 8:5). Bahkan sebuah pusat suku bangsa kuno yaitu Sikem juga disebut (6:9). Sekali lagi, Yerusalem sama sekali tidak disebutkan. Bahkan ada seorang pakar biblika yang bernama Hans Walter Wolff yang mengusulkan bahwa boleh jadi nabi Hosea ini adalah orang yang berasal dari Sikem. Penjelasan tentang teori asal-usul “dari Sikem” ini akan dijelaskan lebih lanjut di tempat lain di kemudian hari.

Walau tidak dapat dikatakan dengan pasti, dari mana nabi Hosea berasal (nama kota asal), tetapi ada satu hal yang jelas yaitu sang nabi memang hidup dan bernubuat (menyampaikan nubuatnya) di kerajaan utara. Jika anggapan ini benar, maka Hosea menjadi satu-satunya nabi yang kita pelajari di sini yang berasal dari utara dan berkarya di utara. Amos memang berkarya di utara, sebab ia bernubuat di Betel, tetapi nabi Amos sendiri berasal dari kerajaan Selatan, yaitu dari Tekoa.

Hal kedua yang akan kita ulas di sini ialah mengenai pekerjaan si nabi Hosea ini. Apa pekerjaan Hosea saat ia dipanggil oleh Yahweh untuk menjadi nabiNya? Pemahaman tentang hal ini akan sangat penting dan menentukan dalam upaya kita memahami warta kenabian Hosea. Sebab memang ada hubungan yang begitu erat antara cara hidup dan pekerjaan dan karier kenabian kelak dari seorang nabi. Kira-kira sama seperti nabi Amos yang seluruh karya kenabiannya juga turut diwarnai oleh profesinya sebelum ia menjadi nabi.

Lagi-lagi terkait dengan hal ini, sebenarnya tidak ada banyak informasi yang bisa digali dari kitabnya sendiri. Dengan kata lain, informasi yang bisa digali dari kitab Hosea itu sangat terbatas. Namun di sana-sini kita bisa menemukan beberapa jejak atau petunjuk. Kedua hal ini membuat kita mampu menarik beberapa simpulan yang kiranya masuk akal juga. Misalnya, kita coba gali informasi dalam Bab 3. Di sini nabi Hosea mengisahkan bahwa ia mengeluarkan sejumlah biaya untuk menebus kembali isterinya (Hos 3:2). Biaya itu ada yang berupa duit tunai (pecunia), ada yang berupa barang atau benda (materia). Bahkan di sana ada data yang cukup rinci mengenai biaya yang ia keluarkan. Separuh dari jumlah uang tebusan (bayaran) itu dibayar dalam bentuk perak (limabelas potong). Separuhnya dibayar dengan sejumlah ukuran jelai (kira-kira duabelas setengah gantang). Ada lagi sebagian dari biaya itu yang dibayar dengan sekantong anggur. Dari informasi yang rinci seperti ini ada satu hal yang bisa kita simpulkan tentang Hosea, yaitu bahwa Hosea saat itu tidak memiliki dana tunai yang memadai untuk membayar seluruh harga itu dengan sejumlah uang (perak). Itu sebabnya ada sebagian dari dana tersebut yang harus ia bayar dengan barang (materia) yang kiranya tersedia cukup banyak padanya, yaitu jelai dan anggur. Dari fakta itu mungkin kita bisa mengatakan bahwa Hosea adalah petani kecil walaupun belum tentu miskin.

Selain berprofesi sebagai petani kecil, ada juga pakar biblika yang menduga bahwa boleh jadi Hosea adalah anggota kelompok para Imam dari suku Levi. Inilah usulan yang diberikan Hans Dieter Wolff (Lihat Hosea, Hermeneia, Philadelphia: Fortress, 1974. Aslinya buku ini diterbitkan dalam Bahasa Jerman, tahun 1965; ini sebuah buku tua, tetapi tetap mengandung beberapa informasi penting dan berharga tentang Hosea). Bagi saya ini juga adalah informasi yang penting dan menarik untuk dicermati lebih lanjut. Umum diketahui bahwa kelompok imam ini hidup terpencar-pencar dalam beberapa kota kecil di bagian utara masa itu. Informasi tentang latar belakang Hosea yang berasal dari Keluarga imam, akan didalami lebih lanjut dalam tulisan yang akan datang. (Bersambung). 



PENYAIR DAN TENTARA: ADIK DAN KAKAK

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hari ini saya teringat akan sebuah cerita yang sangat klasik. Cerita itu saya pernah baca dalam salah satu buku Paulo Coelho, penulis terkenal dari Brazil itu. Hanya saya lupa judul buku Coelho tersebut. Yang terpenting saya ingat alur ceritanya. Dalam buku itu, Coelho hanya mengisahkannya secara singkat. Mungkin dia meringkas dari sumber lain yang belum saya ketahui. Tulisan saya kali ini adalah upaya mengisahkan kembali cerita itu dengan lebih detail dan lebih panjang, menurut rumusan verbal saya sendiri.
Dikisahkan bahwa dulu di Roma pada jaman Yesus, ada sebuah keluarga bangsawan Roma. Keluarga ini mempunyai dua anak laki-laki. Mereka memberi pendidikan yang sepatutnya bagi kedua anak itu menurut tuntutan tingkatan dan golongan sosial mereka. Setelah kedua anak itu bertumbuh dewasa, mulai tampaklah apa yang menjadi bakat, kemampuan dan kecenderungan kepribadian mereka.
Si adik, mempunyai minat dan bakat yang sangat tinggi di bidang kesenian khususnya sastra. Ia pandai berbicara di muka umum dan juga menulis. Setiap hari ia membaca banyak karya klasik sebagaimana yang menjadi trend para anak bangsawan masa itu. Bahkan sejak sangat dini ia sudah bisa menulis puisi yang dibacakan di beberapa forum kesenian yang tersedia di Roma.
Lambat laun, dia menjadi sangat populer di Roma karena karya-karyanya di bidang sastra, terutama puisi. Banyak dari karya puisinya itu dibacakan di arena-arena pertunjukan, baik dibacakan oleh dia sendiri, maupun oleh orang lain. Pokoknya, karena kata-katanya, karena produsir kata-katanya, si bungsi ini menjadi sangat terkenal. Ia mempunyai banyak penggemar. Ia menjadi penulis yang produktif, populer, dan sangat terkenal di dunia Roma.
Semua orang Roma memuji dia. Begitu juga di tengah keluarga. Ia menjadi anak yang dipuja-puja, yang dianggap telah membesarkan dan mengharumkan nama keluarga. Itu terjadi karena si bungsu berhasil mengeluarkan banyak karya sastra bermutu yang diakui banyak orang dalam masyarakat.
Si bungsu tidak hanya dipuja-puja, melainkan juga ia dipuja dalam perbandingan dengan si kakak yang dianggap tidak menghasilkan apa-apa untuk mengharumkan nama keluarga.
Sebaliknya si kakak itu orangnya pendiam. Ia tidak pandai berbicara. Sesungguhnya ia pandai berbicara, tetapi tidak banyak mengumbar kata-kata. Ia lebih banyak berdiam diri. Berbeda dengan si adik yang menaruh minat besar pada sastra dan poetika, si abang mempunyai kecenderungan yang lain sama sekali. Ia berminat di bidang militer, dinas ketentaraan. Suatu yang sangat luhur juga pada waktu di wilayah Kekaisaran Roma. Sebab untuk menjaga dan memelihara wilayah kekaisaran yang mahaluas itu, dibutuhkan tentara yang kuat yang didukung logistik dan sistem inteligen pertahanan yang kuat.
Untuk mewujudkan cita-citanya ia masuk ke akademi militer yang terkenal di kota Roma, dari mana sudah dihasilkan banyak jenderal dan ahli strategi perang kekaisaran Roma. Sebagai orang yang terlibat dalam dunia militer, ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk mengasah kemampuannya di bidang disiplin ketentaraan, termasuk dalam hal pengendalian diri, pengendalian kata-kata, pengendalian moral, sebab di situlah letak dasar terutama dari idealisme keksatriaan Roma. Termasuk latihan fisik di dalamnya.
Apa yang disebut courage dalam empat kardinal virtue dari Aristoteles itu, sungguh dipelajari di dalam disiplin kemiliteran Yunani dan Roma (Greeco-Roman Military academy). Sebagai militer, ia mencapai sukses yang tidak kalah spektakuler dibandingkan dengan adiknya. Hanya dia tidak menjadi buah bibir masyarakat umum, sebab dunia militer memang bukan dunia artis yang heboh, melainkan dunia yang hening, beroperasi di dalam diam dan hening. Senyap.
Karena karakternya yang banyak diam dan hening, lagipula didukung disiplin militer yang tidak banyak berbicara, sesungguhnya dalam hatinya si abang ini mempunyai suatu pengembaraan intelektual dan rohani yang tidak kalah dahsyatnya. Ada semacam kehausan rohani yang melanda jiwanya yang tidak pernah bisa dipuaskan dengan sistem keyakinan religious Romawi yang ada. Diam-diam ia mencari dan mencari. Berharap bisa menemukan suatu jawaban di suatu saat, dan di suatu tempat kelak. Entah kapan? Entah di mana? Entah bagaimana?
Sementara itu, lambat laun karier militernya menanjak dengan pesat dan maju. Jabatan militer di Roma sudah tidak bisa lagi menampung dia. Memang dia harus naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi untuk itu ia harus lulus sebuah ujian. Ujian terberat pada masa itu ialah mengepalai dinas kemiliteran di daerah yang paling rawan secara politik dan militer. Dan daerah yang paling rawan pada waktu itu ialah negeri Kanaan yang antara lain meliputi Galilea dan Yudea. Di sanalah seorang prokurator Roma juga menjalani dinas kepemerintahannya. Dia adalah Pontius Pilatus.
Si abang ini pun akhirnya diputuskan untuk terlebih dahulu menjalani dinas kemiliteran di Kanaan itu, sebelum nantinya mendapat promosi ke jenjang jabatan yang lebih tinggi di kota Roma, ibukota kekaisaran pada masa itu.
Dan terjadilah demikian. Dengan pesta perpisahan yang ramai, ia dan keluarganya dilepaspergikan dari Roma menuju ke Kanaan itu di Timur Tengah, negeri yang tidak pernah sepi dari pergolakan militer maupun keagamaan.
Jujur saja, sebenarnya secara manusiawi, si abang ini merasa ciut juga, apakah nanti di sana ia bisa mengembangkan karir militernya dengan baik agar bisa mencapai puncak tertinggi. Walaupun ada sejumput keraguan seperti itu, namun si abang tetap pergi dengan penuh percaya diri ke Kanaan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh disiplin kemiliteran yang dipelajarinya selama ini. Ia maju tak gentar. Biarpun medan hingar-bingar. Ia tetap berjalan tegar, kalau bisa orang hingar-bingar bubar.
Ia tidak ditempatkan di Yerusalem, melainkan di Kapernaum, di Galilea. Saat ia bertugas di sana, ia sudah sering mendengar kabar tentang seorang guru Agung yang namanya menjadi terkenal di seluruh Galilea dan Yudea dan bahkan juga di luar wilayah itu namanya terkenal. Guru Agung itu suka berjalan dan berkotbah keliling dari kota ke kota. Ia sudah mendengar tentang apa yang dikerjakannya, mukjizat-mukjizat yang dikerjakannya.
Tidak lupa ia juga sudah mendengar kabar tentang ajaran-ajaranNya. Entah bagaimana ia merasa tertarik sekali untuk bertemu dengan Guru Agung itu. Untuk melihat mukjizat-mukjizatNya yang terkenal itu. Terlebih lagi ia ingin sekali mendengarkan secara langsung kotbah-kotbahNya. Tetapi dari apa yang ia dengar dari kata-kata orang-orang ia sudah merasa sangat tertarik. Ia merasakan sebuah magnet menarik hatinya dari dalam. Dan daya tarik itu sangat kuat.
Tetapi entahlah bagaimana, ada-ada saja hal yang menghalangi dia untuk bisa datang dan bertemu secara langsung dengan sang Guru Agung itu. Ada-ada saja alasan baginya untuk tidak bisa datang. Ada alasan yang bersifat pribadi. Tetapi lebih banyak alasan yang berasal dari tugasnya sebagai seorang perwira tinggi militer.
Sampai pada suatu saat ia tidak bisa menghindar lagi. Ia mempunyai seorang pegawai yang sangat baik. Karena itu, ia juga sangat menghargai pegawai itu. Entah kenapa, tiba-tiba si pegawai yang baik dan sangat dihargainya itu, jatuh sakit keras. Dan tampaknya ia akan segera mati karena sakit tersebut.
Dalam keadaan panik, ia pun mengirim utusan untuk menghadapi sang Guru Agung. Ia meminta agar si Guru Agung itu datang untuk menyembuhkan pegawainya tersebut. Ternyata si Guru Agung berkenan untuk datang. Maka datanglah si Guru Agung ke arah rumah si perwira Roma tadi setelah diyakinkan oleh utusan orang-orang Yahudi bahwa si Perwira itu adalah orang yang sangat baik. Walaupun dia seorang Roma, tetapi ia menaruh perhatian pada bangsa Yahudi. Bahkan ia juga sudah membuktikan perhatiannya itu, dengan cara membangun rumah ibadat bagi orang Yahudi di Kapernaum.
Tetapi begitu si Guru Agung itu, sudah mendekati rumahnya, si Perwira itu menyuruh utusannya untuk datang kepada Yesus. Ia menyuruh utusannya untuk menyampaikan kata-katanya kepada sang Guru Agung. Begini katanya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh." (Mat 8:8; Luk 7:1-10). Dan terjadilah mukjizat itu. Mukjizat itu terjadi karena bertemu dengan iman yang besar yang dipuji selangit oleh sang Guru Agung itu sendiri: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel." (Mat 8:10).
Itulah satu-satunya kesempatan si abang itu omong dalam seluruh hidupnya. Dan omongan itu terekam di dalam injil. Tetapi si Perwira yang pendiam itu, mengucapkan sebuah kalimat efektif yang tepat waktu, tepat tempat, dan juga tepat pada seorang pendengar yang Agung dan mulia.
Sejak kalimat itu terucapkan, kalimat itu tidak pernah hilang lagi, bahkan menjadi abadi. Hingga saat ini setiap kali hari orang-orang Katolik di seluruh dunia, saat mereka merayakan ekaristi pasti akan mengucapkan kalimat itu menjelang komuni: "Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh." Sudah mengalami modifikasi sedikit.
Dalam bahasa Latin bunyinya demikian: Domine, non sum dignus, ut intres sub tectum meum, sed tantum dic verbo et sanabitur anima mea.
Berbeda dengan ketenaran sang adik yang memprodusir mungkin ribuan mungkin juga jutaan kata-kata dalam pelbagai karya puisinya, dan juga sudah menikmati ketenaran karena kata-kata itu selama masa hidupnya, sang kakak hanya mengucapkan satu kali kalimat, tetapi kalimat itu sangat efektif, dan menjadi sangat abadi, melampaui usia si penuturnya sendiri. Luar biasa.


Tuesday, June 16, 2020

MENGENAL NABI HOSEA (Bgn.I)

Oleh: Fransiskus Borgias M 

Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI. Ketua Sekolah Kitab Suci K3S Keuskupan Bandung.

 

Dalam kitab suci kita ada duabelas nabi-nabi kecil (minor prophets). Mereka disebut kecil bukan karena peran, jasa, kontribusi mereka yang kecil (tidak berarti), melainkan karena kitab yang mereka hasilkan berukuran kecil saja bahkan ada yang hanya satu bab saja. Biasanya juga tidak lebih dari 15 Bab. Yang paling panjang dari keduabelas nabi kecil itu ialah Hosea dan Zakaria (yang masing-masingnya terdiri atas 14 Bab). Yang lain jumlah babnya kurang dari jumlah tersebut. Jika dibandingkan dengan tiga atau empat nabi (Yesaya, Yeremia, Yeheskiel, Daniel) yang berukuran besar dan panjang, maka memang ukuran fisikal kitab nabi-nabi ini sangat kecil. Walaupun kitab mereka berukuran kecil, namun sesungguhnya mereka juga adalah tokoh besar yang tidak kalah daya pengaruhnya seperti para nabi yang besar-besar itu. Hosea dan Amos, misalnya, diakui sebagai nabi besar, walaupun kitab mereka kecil atau pendek.

Ini adalah urutan kanonik dari keduabelas kitab tersebut. Yang dimaksud dengan urutan kanonik ialah urutan sebagaimana yang ada dalam kitab suci kita. Di sana kita lihat urutan sbb: Hosea, Yoes, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefania, Hagai, Zakharia, Maleakhi. Tetapi urutan kanonik itu bukanlah urutan historis (kronologis). Urutan historisnya ialah sbb: ada tiga nabi yang berasal abad kedelapan sebelum Masehi. Mereka ialah, Amos, Hosea, Mikha. Ada empat nabi yang berasal dari abad ketujuh sebelum Masehi. Mereka adalah Zefania, Nahum, Habakuk, Obaja. Dan ada lima nabi yang berasal dari abad keenam sebelum Masehi. Mereka adalah Hagai, Zakaria, Maleakhi, Yoel, Yunus.

Saya akan mulai mengulas keduabelas tokoh ini berdasarkan urutan kanonis dalam Kitab Suci. Alasannya adalah karena itu merupakan urutan kanonik, urutan yang diakui resmi oleh otoritas gereja. Ini juga ada unsur pilihan personal, artinya saya memilih urutan kanonik karena saya mendukung penetapan urutan kanonik tersebut. Ini penting, mengingat dalam sejarah ada saja orang iseng yang menetapkan kanon sendiri. Karena dalam urutan kanonik kita nama pertama ialah Hosea, maka saya akan mulai dengan mengulas Hosea.

Siapakah tokoh yang bernama Hosea ini? Kita bisa mengenal nabi bernama Hosea ini dari beberapa informasi di dalam kitab itu sendiri. Informasi pertama dapat kita jumpai dalam judul Bab 1:1. Kedua, kita juga bisa belajar tentang beliau berdasarkan informasi yang ada dalam Bab 1:2-9, berupa sebuah laporan tentang dia tetapi dalam gaya diri orang ketiga. Dari sini kita bisa mengetahui tentang apa yang kiranya mendorong atau menggerakkan Hosea ini untuk menjadi nabi. Akhirnya, kita juga bisa mengetahui sesuatu tentang Hosea dari informasi yang ada dalam Bab 3, dalam mana ia memberikan sebuah laporan pribadi tentang apa yang ia alami dan ia rasakan selama ini.

Hal pertama, kita mulai dengan nama diri sang nabi itu. Dalam Hos 1:1 kita bisa temukan informasi tentang nama itu. Namanya ialah Hosea. Di sana disebutkan juga nama ayahnya, Beeri. Itu sebabnya ia disebut Hosea bin Beeri. Nama personalnya baru tampak dalam Hos 1:2. Di sana kita hanya menemukan nama diri Hosea, tanpa keterangan nama ayahnya. Hal kedua yang perlu kita ketahui ialah bahwa setelah kita mengetahui nama diri tokoh ini, kita bertanya lebih lanjut, apa arti nama ini? Sebab setiap nama orang Israel pasti mempunyai makna. Para ahli hampir sepakat dalam mengatakan bahwa nama Hosea itu mempunyai arti sbb: “Dia telah membantu”. Atau “Dia telah menyelamatkan”. Dia yang dimaksudkan di sini ialah Yahweh sendiri. Yahweh itulah yang telah membantu, Yahweh itulah yang telah menyelamatkan. Keselamatan berasal dari Yahweh itu sendiri. Perlu juga diberitahukan di sini bahwa nama Hosea ini adalah sebuah nama yang cukup popular di wilayah utara Kerajaan Israel dulu.

Pada waktu itu diduga ada cukup banyak orang bernama Hosea. Kira-kira seperti nama Pit atau Pim atau Ton di Belanda sana. Sampai ada joke di Belanda, bahwa di antara lima orang Belanda pasti salah satu di antaranya ada yang bernama entah Pim atau Pit ataupun Ton juga Frans. Kita kembali lagi ke nama Hosea tadi. Di atas tadi dikatakan bahwa di bagian utara kerajaan Israel dulu nama Hosea itu sangat popular. Sebagai bukti pendukung kita bisa menunjuk beberapa teks yang bisa memperkuat anggapan dan dugaan tersebut. Pertama, menurut Bilangan 13:8, nama Hosea itu pernah juga dipakai atau dikenakan pada tokoh pemimpin besar mereka sesudah Musa, yaitu Joshua, seorang tokoh pemimpin yang berasal dari suku Efraim yang mendiami bagian utara dari Tanah Terjanji tersebut. Dalam teks tersebut, nama tokoh besar Yoshua disebut dengan nama Hosea bin Nun. Padahal biasanya tokoh Yosua disebut Yosua bin Nun. Petunjuk bukti pendukung yang kedua ialah teks 2Raj 17:6. Menurut informasi yang dapat kita baca di dalam teks ini, kita menemukan sebuah fakta historis bahwa nama Hosea adalah juga nama dari sang raja terakhir dari kerajaan utara, Israel, sebelum kerajaan itu dihancurkan Asyur. Raja ini masih kurang lebih sejaman dengan nabi yang bernama Hosea ini. (Memang ada teks yang menulis nama ini dengan ejaan lain, yaitu Hoshea. Tetapi dalam Alkitab kita, ditulis Hosea. Bagaimana pun, keduanya adalah sama saja). (bersambung).

 


Monday, June 15, 2020

PARA PAHLAWAN YANG MENGAJAR KAMI

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.


 

Saya sekolah di SDK Lamba-Ketang mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam SD. Saya masuk sekolah pada bulan Januari 1969. Saya tamat SD bulan Desember tahun 1974. Pas enam tahun. Sampai dengan tahun 1971, saya masih ingat para guru yang mengajar kami ialah nama-nama berikut ini. Bapak Alo Handuk yang bertugas sebagai kepala Sekolah. Ibu Sabina Imut yang mengajar di kelas dua SD. Ibu Sebina adalah isteri dari bapa Alo Handuk. Pada pertengahan tahun 1971, Bapa Alo dan Ibu Sebina meninggalkan sekolah Lamba-Ketang, dan berpindah ke Kempo, Kampung halaman Bapa Alo. Kalau tidak salah bapa Alo pindah ke SD Compang. Selain kedua guru tadi, ada juga guru-guru lain, yaitu Bapak Petrus Hanu, Bapak Frans Ebat dan Bapak Felix Mar (ayah saya sendiri). Jadi, total ada lima orang guru. Itu sudah bagus.

Setelah bapa Alo dan ibu Sebina pindah ke Kempo, keduanya diganti oleh bapa Gerardus Rengka dan juga bapak Guru Pit Darut. Tetapi tidak lama sesudah itu, bapak Pit Hanu pindah ke Denge, ke kampung asalnya beliau. Tetapi sepeninggal bapa Pit Hanu, ada juga seorang penggantinya yaitu Bapak Lambertus Jerawan BA yang pada saat itu baru saja menyelesaikan studinya di APK Ruteng. Pokoknya sejak tahun 1971 sampai tahun 1974 (saat saya tamat Sekolah Dasar) guru-guru yang ada di sana ialah Bapa Gerardus Rengka (sebagai Kepala Sekolah), Bapa Frans Ebat, Bapa Petrus Darut, Bapak Felix Mar, Bapak Lambertus Jerawan. Bapak guru Gerardus Rengka mengajar kelas 1 dan 2. Bapak Frans Ebat mengajar kelas 3. Bapak Lambertus Jerawan mengajar kelas empat. Bapak Feliks Mar mengajar kelas lima. Bapak Pit Darut mengajar kelas enam.

Kelima guru ini masing-masing mempunyai sumbangan yang sangat unik bagi perkembangan kepribadian para siswa. Saya sebut saja satu per satu di bawah ini. Bapa guru Pit Darut adalah seorang seniman music suling yang sangat handal. Dia melatih para siswa SD untuk bermian suling dan bahkan membentuk paduan suara seruling. Kami bisa memainkan beberapa lagu yang ia latihkan kepada kami. Dan saya masih ingat dengan sangat baik lagu-lagu tersebut hingga sekarang ini. Pada waktu itu, karena belum ada music rekaman seperti sekarang ini, kami paduan suara seruling itu sering diundang para pengantin yang akan menikah untuk mengiringi mereka dari kampung mereka ke gereja dan pulang lagi dari gereja ke kampung mereka. Ya, kami iringi perjalanan pengantin itu dengan bunyi seruling kami dan gendang (tambur).

Bapak Feliks Mar dan Bapak Frans Ebat sama-sama mempunyai minat dan perhatian yang besar akan misa-misa adat. Mereka juga mempunyai minat yang besar akan lagu-lagu sanda. Mereka membaktikan diri mereka berdua untuk mempelajari beberapa sanda yang sudah diadaptasi oleh beberapa komponis pada waktu itu dan melatihkannya kepada para siswa Sekolah Dasar. Beberapa sanda yang ada dalam buku Dere Serani pun mereka pelajari dengan baik dan juga mereka ajarkan kepada para siswa dengan baik. Jadi, kedua orang ini sangat sibuk memberi perhatian pada misa-misa inkulturatif gereja. Beberapa lagu mbata dan sanda dari dere serani akhirnya bisa saya kuasai karena jasa dari kedua orang ini yang bagi saya sangat luar biasa. Bahkan bapak Guru Frans juga pandai menyanyi sambil memukulkan gendang dengan irama mbata. Luar biasa.

Lain lagi ceritanya dengan bapak Guru Lambertus Jerawan BA. Bagi saya beliau adalah seorang guru katekis professional karena ia memang secara khusus belajar untuk tujuan itu di APK (Akademi Pendidikan Kateketik) Ruteng. Dia adalah seorang guru agama yang jago sekali bercerita. Saya masih ingat dengan sangat baik pada saat di kelas IV kami disuguhi cerita yang sangat hidup dan menarik tentang drama penyeberangan Laut Merat yang terkenal dahsyat itu di mana orang Israel luput dari kejaran orang-orang Mesir karena mereka lari di tengah laut yang membelah. Luar biasa. Selain itu, bapak Lambertus juga adalah seorang dirigen dan pelatih koor modern gereja. Boleh dikatakan itulah yang menjadi spesialisasi Bapa Lambert di SDK Lamba-Ketang.

Terakhir ada bapa guru Gerardus Rengka. Guru paling senior pada waktu itu. Beliau juga mempunyai sumbangan yang sangat unik. Suaranya bass dan dalam dan berat sekali. Beliaulah jagonya lagu-lagu Gregorian berbahasa Latin. Dan kami anak-anak sekolah pada waktu itu dilatih dengan keras dan penuh disiplin oleh beliau. Saya ingat itu dengan sangat baik. Kami harus belajar lagu-lagu Gregorian dalam Bahasa Latin. Saya masih ingat dulu, kalau pada tanggal 2 November setiap tahun ada misa Hitam. Disebut Hitam karena imamnya mengenakan busana liturgis berwarna Hitam. Sekarang warna hitam itu tidak pernah dipakai lagi. Nah, dalam misa Hitam itulah kami anak-anak SDK harus menyanyikan lagu-lagu misa requiem Latin itu. Dan Lagu persembahan yang panjang itu juga dinyanyikan. Dan tentu saja Bapa Gerardus dibantu oleh semua guru-guru menyanyikan lagu itu dengan baik. Benar-benar luar biasa.

Dari kelima nama bapa guru itu, yang masih hidup tinggal satu orang saja, yaitu Bapa guru Frans Ebat. Dia juga sudah pension sekarang ini. Dan sekarang dia sudah menetap lagi di Ketang setelah sempat pindah-pindah mengajar di beberapa tempat yang lain. Robert, anak sulung bapak guru Frans Ebat, memberitahukan saya tentang bapa Frans Ebat yang masih sehat walafiat. Puji Tuhan. Yang lain sudah meninggal. Bapa Pit Darut meninggal tahun 1978. Bapa Feliks meninggal tahun 2013. Bapa Lambert saya lupa persisnya, tetapi rasanya di atas tahun 87an. Bapa Gerardus juga sudah meninggal tetapi saya lupa tahunnya.

Saat saya ingat para guruku, saya ingat diri saya sendiri pada usia sekolah dasar. Tatkala ingat akan guru-guru itu, ingatan saya langsung meluncur ke masa silam itu. Masa saya masih anak-anak di sana, di SDK Lamba-Ketang. Pada saat itu saya dan teman-teman bisa bermain di kebun, bahkan bisa juga bermain di sawah, menelusuri pumpuk-pumpuk yang ada di sekitar Ketang untuk mencari pupuk kering (berupa cirit kuda ataupun cirit kerbau dan ciri sapi yang sudah mengering). Kami juga biasa pergi mencari rumput untuk pakan kuda, dan terutama juga mencari ikan kecil di sawah, wader kalau orang Jawa menyebutnya. Oh ya juga suka mencari katak.

Ada satu hal lagi yang harus saya ungkapkan bahwa kelima orang guru ini adalah guru-guru yang punya dedikasi tinggi untuk ilmu, di sekolah, juga untuk kehidupan agama di gereja dan di tengah masyarakat. Bersama-sama mereka mengembangkan sekolah ketang itu, dan juga memberikan pengabdian kepada masyarakat di sekitar. Benar-benar luar biasa mengagumkan.

 


CHOLID SALIM: ADIK HAJI AGUS SALIM MENJADI KRISTEN KATOLIK

Oleh: Fransiskus Borgias M.

 

 

Beberapa minggu yang lalu, kita di negeri ini dihebohkan oleh tuntutan gubernur Sumatera Barat kepada Menkominfo, agar sang Menteri menurunkan atau menghapus aplikasi Injil dalam Bahasa Minang yang disediakan di dalam Playstore. Adapun alasan yang dipakai ialah bahwa Budaya Minang itu sudah identic dengan Islam, sedangkan Injil adalah sesuatu yang berbau Kristen, dan karena itu bertentangan dengan atau tidak cocok dengan budaya Minang yang Islam.

Banyak pihak bereaksi dengan mengatakan bahwa permohonan itu tidak sepatutnya karena aplikasi itu sama sekali tidak melanggar undang-undang. Terdengar suara lantang dari Setara Institut. Juga ada suara dari sebuah lembaga khusus dari Presiden yang juga bersuara kurang lebih sama dengan suara Setara tersebut. Terkait dengan permintaan itu, ada beberapa peristiwa rentetan yang terjadi. Pertama, ada video kritik dari Ade Armando, dosen ilmu komunikasi dari UI. Inti dari kritik Ade Armando ialah bahwa permohonan seperti itu menunjukkan kemunduran Minang, yang dulu menghasilkan banyak intelektual besar untuk negeri ini, sekarang malah tidak ada lagi. Juga menurut Ade Armando, bahwa permohonan itu menunjukkan betapa rentannya iman Islam orang Minang itu. Apakah dengan masuknya aplikasi Injil ke dalam Playstore langsung akan menyebabkan murtadnya banyak orang Minang yang Islam? Kiranya hal itu sudah keterlaluan.

Akibat dari hal itu ialah Ade Armando pun dipecat dari status sebagai orang Minang, oleh orang yang mengkalim diri sebagai ketua adat ranah Minang. Ade Armando menanggapi hal itu dengan tenang saja. Pertama, ia nyatakan menerima hal itu. Kedua, ia juga mempertanyakan keminangan si orang yang menganggap diri sebagai ketua adat ranah Minang tersebut. Dari rekam jejaknya, jelas bahwa si ketua itu kemarin pernah maju sebagai calon DPD untuk dapil Sumatera Barat. Dan ternyata tidak berhasil lolos. Itu artinya apa? Menurut Ade Armando, itu artinya, bahwa dia sendiri juga sama sekali tidak mendapat dukungan di hati orang ranah Minang untuk dijadikan dan dipercaya sebagai wakil mereka. Masih ada lagi beberapa peristiwa rentetan sebagai akibat dari hal itu. Salah satunya ialah muncul aksi serupa di daerah Riau. Mereka lupa bahwa Klinkert itu sudah menerjemahkan Injil itu ke dalam Bahasa Melayu dari Riau itu (kalau tidak salah ingat).

Ketika saya membaca dan mendengar semuanya itu, saya teringat akan sebuah video. Video itu dikirim oleh seorang teman di sebuah WAG. Video itu berisi tentang kisah adik dari tokoh pahlawan Nasional, Haji Agus Salim (HAS). Bapak HAS, itu berasal dari daerah Minang, Sumetera Barat. Mungkin hal ini amat mengejutkan karena tidak banyak orang yang mengetahuinya. Adik kandung dari bapa HAS ini ada yang murtad menjadi Kristen Katolik. Nama tokoh itu Cholid Salim. Entah sejak kapan, sang adik ini menganut paham komunis. Dan ia terlibat sangat aktif di dalam aliran komunis itu di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui komunisme internasional itu sudah masuk dan berkembang di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan mereka juga sudah membentuk semacam partai atau lebih tepat pergerakan politik.

Pada tahun 1926 pergerakan politik komunisme internasional ini yang dibentuk di Belanda kemudian masuk juga ke Indonesia, melakukan semacam pemberontakan. Dan adik dari bapak HAS pun ikut ditangkap karena ia juga adalah salah satu tokoh di dalam pemberontakan tersebut. Sebagai hukumannya, banyak dari para tokoh tersebut yang dibuang ke Boven Digul, Irian Barat, Papua. Tidak main-main. Ia mendekam di sana selama limabelas tahun. Pengalaman pembuangan Digul itu kemudian dibukukan dalam buku yang berjudul LIMABELAS TAHUN DI DIGUL. Digul itu dijulukinya sebagai semacam Kamp Konsentrasi, sebuah nama yang mengingatkan kita akan aksi keji dari Nazi Jerman dalam perang Dunia Kedua, tidak sampai dua decade sesudah pemberontakan komunis 1926 itu. sang adik dari bapak HAS ini bekerja sebagai wartawan.

Nah di Digul itulah si adik memutuskan untuk menjadi penganut agama Kristen Katolik. Tentu saja sebelum menganut ateisme ia dibesarkan dalam tradisi agama Islam. Dan dapat dipastikan juga bahwa ia adalah seorang muslim. Tetapi kemudian ia “meninggalkan” Islam dan menjadi seorang penganut ateisme dan terlibat di dalam pergerakan komunisme. Di Digul ia berkenalan dengan bapak Sukaryo Prawirojudo. Orang ini tidak lain adalah pelaku pemberontakan yang dalam sejarah disebut Zeven Provincien (Pemberontakan Pelaut Indonesia). Konon dari tokoh inilah ia mulai berkenalan dengan ajaran agama Kristen Katolik. Tentu saja pengenalan awal itu dilanjutkan dan diperdalam dengan pemelajaran sendiri yaitu dengan menekuni Katekismus Gereja Katolik.

Ia tidak main-main dengan pilihan itu sebab pada sehari sesudah Natal tahun 1942, ia dibaptis ke dalam gereja Katolik. Dan yang membaptisnya ialah seorang pastor yang bernama Mauwese (kiranya seorang pastor dari kongregasi MSC yang memang banyak melayani beberapa wilayah di Papua Selatan itu, di mana Digul itu terletak. Bapak Cholid, di dalam peristiwa pembaptisan itu memilih nama baptis Ignatius Fransiskus Michael Cholid Salim. Luar biasa sekali pilihan nama baptisnya.

Kemudian Cholid Salim lebih lanjut dibuang ke Australia. Tetapi entah bagaimana, sang kakak kemudian berjumpa dengan sang Adik di negeri Belanda. Dan di situlah sang kakak mengetahui bahwa sang adik sudah murtad dan menjadi seorang penganut agama Kristen Katolik. Konon Bapak HAS tenang-tenang saja. Bahkan ia merasa senang juga karena ia beranggapan bahwa setidak-tidaknya dengan itu sang adik sudah terlepas bebas dari komunisme-ateis.

Bapak HAS merasa yakin bahwa menjadi Katolik itu jauh lebih baik daripada menjadi ateis. Bahkan bapak HAS merasa bersyukur bahwa sang adik kembali percaya kepada Tuhan walaupun sudah di dalam bahtera yang lain. Bapak HAS beranggapan bahwa pilihan sang adik untuk menjadi penganut Kristen Katolik adalah sebuah takdir Illahi yang tidak usah dipersoalkan, melainkan harus diterima dan disyukuri. Ia tidak berteriak-teriak mengucapkan sumpah serapah mengutuk MURTAD, sesuatu yang sangat sering kita dengar dari mulut beberapa orang tertentu.

Tentu saja sikap bapak HAS adalah sebuah sikap yang luar biasa agung dari sang tokoh islam itu. Benar-benar mengagumkan. Memang bapak HAS adalah seorang tokoh Islam modern. Bapak HAS saat mengetahui bahwa sang adik sudah menjadi penganut agama Katolik, ia merasa bersyukur dan berseru alhamdulilah, sebuah seruan ucapan syukur di dalam tradisi Arab (Yahudi, Kristen, dan juga Islam).

Pertanyaannya ialah, mengapa ia berseru alhamdullilah seperti itu? itu tidak lain karena dalam pandangan bapak HAS, sebagai seorang penganut agama Katolik sang adik berada lebih dekat dengan sang abang dibandingkan ketika sang adik itu menjadi penganut ateisme. Sang kakak merasa sangat jauh sekali. Ia merasa terasing dari sang adik. Tetapi tatkala sang adik itu sudah menjadi penganut agama Katolik, maka sang kakak merasa sudah dekat kembali, walaupun berbeda kapal. Bapak HAS sama sekali tidak mempersoalkan kapal tumpangan itu, yang terpenting ialah bahwa sang adik sudah menjadi orang yang percaya kepada Tuhan. Dan untuk itulah bapak HAS telah melambungkan seruan alhamdullilahnya itu. Puji Tuhan.

Kiranya, orang yang menjadi Kristen dari ranah Minang tidak hanya bapak Cholid Salim. Pasti ada banyak juga yang lain. Mungkin ada baiknya juga perlu dibuat semacam data statistic. Data seperti itu penting untuk mengetahui seberapa orang yang memang mungkin memerlukan Injil di dalam Bahasa Minang itu. atau mungkin juga tidak diperlukan sebab orang-orang itu mungkin sudah berpendidikan tinggi sehingga bisa membaca Injil di dalam Bahasa-bahasa dunia modern yang lainnya. Tetapi paling tidak dengan cara itu, seruan yang berkonotasi sempit dan intoleran sang gubernur tadi yang menyerukan penghapusan aplikasi Injil dari Playstore tidak perlu ada.

 

Penulis: Dosen dan Peneliti pada FAKULTAS FILSAFAT UNPAR Bandung.

 


Sunday, June 14, 2020

JEAN PAUL SARTRE, F.X. KIM CHI HA, PRAMUDYA ANANTA TOER: SOLIDARITAS INTERNASIONAL

Oleh: Fransiskus Borgias M. 



Beberapa hari yang lalu, seorang teman dosen (Samson Ganda Silitonga) di Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, mengunggah sebuah tulisan yang menurut saya bagus di whatsapp group kami di MKU unpar. Tulisan itu mencoba mengenang 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dengan Russia. Itu berarti hubungan itu sudah mulai diintensifkan pada tahun 1950. Jadi, hubungan itu terjadi sesudah Indonesia menjadi negara merdeka selama lima tahun. 

Penulis itu bertanya, apakah tahun-tahun sebelumnya tidak ada artinya sama sekali dalam rangka membangun hubungan diplomatik itu? Jawaban beliau rasanya bagi saya tidak begitu jelas. Tetapi yang saya tangkap ialah bahwa sebenarnya tahun-tahun itu juga mempunyai peranan penting di dalam proses membangun dan membentuk hubungan diplomatik itu sehingga terbentuklah apa yang disebut poros Moskwa-Jakarta. Tetapi kemudian, di dalam perkembangannya, poros hubungan itu sedikit banyak terganggu karena adanya sebuah poros diplomatik baru, Jakarta-Peking. Dengan adanya poros-baru ini, orang seakan-akan seperti ingin meninjau ulang tentang hubungan poros lama Jakarta-Moskwa. Kemudian beliau menyinggung beberapa detail lagi yang kiranya tidak perlu saya singgung di sini. 

Hal yang mau saya singgung lebih lanjut di sini ialah bahwa dalam tulisan itu dia juga menyinggung nama besar filsuf eksistensialisme Perancis, Jean Paul Sartre. Menurut Prof.Kees Bertens, dalam bukunya Filsafat Barat Abad XX, Prancis, Jilid 2, Sartre di dalam percaturan dan pergerakan politik di Prancis selalu sangat kekiri-kirian dan dia menaruh simpati yang tinggi kepada Marxisme dan komunisme, sebagai antitesis dari rasa alergi dia terhadap kapitalisme (hlm.86-87). "Pendiriannya selalu berhaluan kiri dan penuh simpati dengan partai-partai kiri." (hlm.87). Tetapi Sartre tidak pernah mau menjadi anggota partai Komunis (hlm.87). Berkat haluan pergerakannya yang kekiri-kirian itu, maka Sartre bisa mengunjungi beberapa negara Blok Timur yang hingga saat itu sangat tertutup bagi orang dari Eropa Barat (hlm.88). Misalnya, Sartre bisa mengunjungi Moskwa, Cina, dan Cuba. 

Di atas tadi sudah dikatakan bahwa sejak tahun 50an, sudah terbentuk hubungan diplomatik poros Jakarta-Moskwa. Namun demikian, begitu dikatakan oleh teman dosen saya itu, Sartre tidak pernah mau datang mengunjungi Jakarta sebagai semacam dukungan untuk Jakarta. Nah, terkait dengan hal itu saya pun bertanya, apakah Sartre pernah menaruh peduli pada nasib para tahanan politik komunis di pulau Buru. Pertanyaan historis-kritis ini muncul dalam diri saya karena sejauh yang saya ketahui Sartre juga menaruh kepedulian pada orang-orang yang dituduh komunis di beberapa tempat yang lain. Tidak hanya orang-orang Komunis yang ia perhatikan. Gerakan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Aljazair juga ia dukung dengan sepenuh hati bahkan sampai hampir merenggut nyawanya karena ancaman bom yang dipasang oleh para lawan politiknya. 

Terkait dengan rasa solidaritasnya terhadap pelbagai tokoh dan perjuangan di mana pun di seluruh dunia, saya mau membagi sharing apa yang saya ketahui sekilas dari Korea Selatan. Pada tahun 1990an saya pernah menerjemahkan sebuah buku yang berisi tentang seorang penyair-sastrawan-pejuang Korea Selatan yang ditangkap dan ditawan oleh rezim otoriter Korea Selatan pada tahun 1970an itu. Kalau dipikir-pikir, nasib sang sastrawan Korea Selatan itu, kurang lebih sama dengan nasib sastrawan di Indonesia yang juga menderita di bawah rezim Otoriter, misalnya Rendra dan Mochtar Lubis. Rasa-rasanya nasib mereka kurang lebih sama, juga pada kurun waktu yang sama. 

Nama sang sastrawan itu ialah Fransiskus Xaverius Kim Chi Ha. Dia adalah seorang penganut iman Katolik yang saleh dan taat. Hal itu tidak sangat mengherankan, mengingat fakta historis bahwa iman Kristiani memang sudah sangat berurat-berakar juga di Korea Selatan sejak sangat lama. Sejarah Gereja khususnya Gereja Katolik sudah sangat berurat-berakar lama di Korea Selatan. Bahkan dari Korea Selatan sudah ada martir yang menjadi santo dan santa, seperti Andreas Kim Tae Gon dan Paulus Chong Hangsang itu. 

Walaupun dia adalah seorang penganut iman Katolik yang saleh dan taat, tetapi oleh rezim penguasa otoriter Korsel saat itu ia ditangkap karena ia dituduh sebagai agen komunis. Bahkan ia dicap sebagai seorang penganut komunis juga. Tidak hanya sampai di situ saja. Rezim penguasa juga mengatakan bahwa Kim Chi Ha adalah seorang Komunis yang berbaju Katolik. Ia hanya bersembunyi di balik otoritas hirarki gereja Katolik Korea Selatan maupun Gereja Universal. Menurut agen-agen pemerintah, Kim Chi Ha itu tidak lain adalah orang komunitas karena ia sangat radikal di dalam gerakan perlawanannya. Itulah yang dituduhkan oleh pemerintah. 

Tetapi Kim Chi Ha membela diri dengan mengatakan bahwa dia itu menjadi radikal bukan karena diilhami oleh paham komunis (sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah) melainkan karena konsekwensi dan tuntutan dari iman Katoliknya sendiri. Menurut Kim Chi Ha, orang yang beriman Katolik itu harus radikal, dalam artian dasar dari kata itu, yaitu akar (radix). Lebih lanjut Kim mengatakan, radikalitas iman Katolik akan semakin menjadi-jadi apalagi kalau orang itu sudah mendalami dan menghayati dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan Kedua itu. Secara khusus ia sangat terpengaruh oleh dokumen-dokumen seperti Gaudium et Spes dan Dokumen tentang peranan kaum awam di dalam Gereja dan di tengah dunia. 

Terkait dengan hal itu Kim Chi Ha kurang lebih pernah mengatakan demikian: "Anda tidak bisa dan juga tidak boleh bersikap tenang-tenang saja dalam keheningan perayaan liturgis di gereja, kalau anda mau menjadi seorang Katolik pada masa pasca Konsili Vatikan Kedua, dan menghayati serta mengamalkan ajaran-ajaran Konsili itu." Itulah yang menjadi keyakinan dasar Kim Chi Ha. Dan ia tidak pernah goyah dengan keyakinan dasar itu. 

Tetapi rezim otoriter rupanya tidak mau tahu dengan semuanya itu. Ia tetap ditangkap dan dipenjarakan. Ada banyak suara protes disuarakan dari mana-mana untuk membela Kim Chi Ha. Suara otoritas Hirarkis gereja Katolik Korea Selatan tidak digubris atau didengarkan. Begitu juga suara gereja Katolik Amerika Serikat yang mencoba membantu, juga tidak didengarkan. 

Akhirnya memang dia mendekam di dalam penjara yang sangat memprihatinkan, yang menyebabkan sakit TBC-nya semakin parah. Nah saat dia di penjara itulah konon J. P. Sartre, untuk kembali ke topik awal tulisan ini, pernah menggalang bantuan dan membangun semacam jejaring internasional untuk mengirim kertas dan alat tulis untuk Kim Chi Ha di penjara. Karena salah satu hukuman bagi Kim ialah ia tidak boleh menulis dan membaca. Ia dikurung di dalam ruang bawah tanah yang sangat gelap, di mana ia tidak tahu jam, waktu, dan perputaran hari. Apakah hari sudah siang atau malam ia tidak bisa membedakannya karena semuanya sama saja di bawah sana. Ia sepertinya secara sangat harafiah sudah menjadi seorang penghuni neraka saja karena ia dikurung dalam ruang di bawah tanah, di mana ada kegelapan, tangis dan kertak gigi. 

Tetapi lewat lobi-lobi dan jejaring relasi dan solidaritas pertemanan, akhirnya Kim diijinkan untuk membawa Kitab Suci. Ia juga diperkenankan untuk membawa pena dan kertas. Itulah sebabnya ia bisa menulis sesuatu di dalam penjara. Bahkan ia menulis cukup banyak juga selama berada di dalam penjara. Mungkin karena berada di bawah tekanan dan himpitan rezim politik, maka pemikiran kreatif dia muncul dan mengalir dengan sangat derasnya. 

Tetapi setelah ia berhasil menuliskan sesuatu, masalah berikutnya ialah bagaimana tulisan-tulisan dia itu bisa dibawa keluar dari penjara dan bisa diterbitkan? Itu menjadi suatu masalah yang sangat besar. Tetapi akhirnya masalah itu bisa diatasi dengan bantuan seorang Yesuit (kalau tidak salah) yang datang mengunjungi dia dan berhasil melewati pemeriksaan super ketat penjara itu dan membawa lolos tulisan-tulisan dia keluar penjara. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Mungkin karena sang imam Yesuit itu mempunyai semacam kekebalan yuridis untuk bisa menghindari pelbagai macam pemeriksaan standar terhadap para pengunjung napi di penjara. Tulisan-tulisan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada yang berbentuk puisi. Ada yang berbentuk semacam dialog batin (soliloquia), ada yang berbentuk sandiwara, ada yang sekadar berbentuk catatan harian saja. 

Akhirnya, semua tulisan itu berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Amerika Serikat, di sebuah penerbit Orbis Books, Maryknoll, New York, sebuah penerbit Katolik yang sangat terkenal dan liberal dan progresif juga. Judul kumpulan tulisan itu mengambil judul salah satu tulisan di dalam buku itu. Dan itu adalah judul dramanya, THE GOLD-CROWNED JESUS. Dalam terjemahan saya, judul itu saya terjemahkan menjadi JESUS YANG BERMAHKOTA EMAS. 

Sedikit isi singkat drama itu, sejauh yang saya ingat lagi saat ini (sebab saya tidak bisa merujuk lagi bukunya dalam bahasa Inggris karena buku itu ada di kampus dan aturan ke kampus masih cukup ketat). Jadi ringkasan ini berdasarkan ingatan saya sendiri saja tanpa rujukan lagi ke sumbernya yang asli. 

Di sebuah taman kota di Seoul ada sebuah Patung besar berukuran manusia normal. Itulah Patung Tuhan Yesus yang memakai sebuah mahkota yang terbuat dari emas. Indah sekali emas itu tampak dari kejauhan. Berkilauan ditimpa sinar mentari pagi. Semua orang memandangnya dengan penuh kagum dan pesona. Tetapi justru mahkota dari emas itulah yang telah membelenggu Yesus di dalam kekakuan abadi. Ia sangat berharap bahwa ada seseorang yang datang untuk mengangkat mahkota emas itu dari kepala-Nya sehingga Dia bisa bergerak lagi untuk menunjukkan solidaritas-Nya dengan orang-orang yang tertindas di Korea Selatan, sebagaimana dulu telah Ia lakukan di Yerusalem. 

Dan terjadilah, bahwa ada seorang gelandangan miskin yang karena terdesak oleh kelaparan dan kemiskinan, memanjat patung itu dan mencuri mahkota emasnya. Dan tepat pada saat itu Tuhan Yesus pun bebas dan mulai bergerak. Tetapi sial bahwa pada saat itu juga polisi dan petugas taman kota cepat datang dan menangkap dan memenjarakan si gelandangan pencuri itu dan memasang lagi mahkota itu "pada tempatnya" yaitu di atas kepala Tuhan Yesus. Dan akibatnya Tuhan Yesus pun menjadi kaku lagi di dalam sangkar emasnya, tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela dan menolong orang miskin dan tertindas. Sebuah drama yang sangat menarik. 

Akhirnya, terkait dengan rasa solidaritas yang diperlihatkan Sartre terhadap Kim Chi Ha, saya pun bertanya secara kritis-historis apakah Sartre pernah bersolider juga dengan Pramudya Ananta Toer yang mendekam di pengasingan Pulau Buru di bawah Rezim Soeharto itu? Di sini saya tiba-tiba teringat, kalau tidak salah dalam untaian kuliah Filsafat Barat Modern di STF Driyarkara dulu, Prof.Kees Bertens, ketika menjelaskan tentang filsafat eksistensialisme Sartre, pernah menyampaikan bahwa Sartre memang mengirim mesin tik untuk Pramudiya di pulau Buru. Jadi, memang ada sebuah rasa simpati dan solidaritas internasional di kalangan orang-orang besar dunia, terhadap orang-orang yang menjadi korban di mana pun termasuk para tahanan di pulau Buru, di Indonesia. 

Bandung 15 Juni 2020. 

Saturday, June 13, 2020

DOMINE NON SUM DIGNUS 2

Oleh: Fransiskus Borgias M. 


Terkait hari Raya Tubuh dan Darah Kristus itu saya ingat akan sebuah cerita yang sudah sangat klasik. Cerita itu saya pernah baca dalam salah satu buku dari Paulo Coelho, penulis yang terkenal dari Brazil itu. Hanya saja saya sudah lupa judul buku dari Coelho tersebut. Tetapi yang paling penting ialah saya tetap ingat alur ceritanya. Di dalam buku itu, Coelho hanya mengisahkannya secara singkat saja. Mungkin juga dia meringkas dari sebuah sumber lain yang belum saya ketahui sampai sekarang ini. Nah tulisan saya kali ini tidak lain adalah upaya untuk mengisahkan kembali cerita itu dengan lebih detail dan lebih panjang, tentu saja menurut rumusan verbal saya sendiri. 

Dikisahkan bahwa dulu di Roma pada jaman Yesus Kristus, ada sebuah keluarga bangsawan Roma. Keluarga ini mempunyai dua orang anak laki-laki. Mereka memberi pendidikan yang sepatutnya bagi kedua anak itu menurut tuntutan tingkatan dan golongan sosial mereka. Setelah kedua anak itu bertumbuh menjadi dewasa, mulai tampaklah apa yang menjadi bakat, kemampuan dan kecenderungan kepribadian mereka. 

Si adik, mempunyai minat dan bakat yang sangat tinggi di bidang kesenian khususnya sastra. Ia pandai berbicara di muka umum dan juga pandai menulis. Setiap hari ia membaca banyak karya klasik sebagaimana yang memang menjadi trend para anak bangsawan pada masa itu. Bahkan sudah sejak sangat dini ia juga sudah bisa menulis beberapa puisi. Puisi itu juga dibacakan di beberapa forum kesenian yang memang disediakan juga di beberapa forum di Roma. Lambat laun, dia menjadi sangat populer di Roma karena karya-karyanya di bidang sastra, terutama puisi. Banyak dari karya puisinya itu dibacakan di arena-arena pertunjukan, baik dibacakan oleh dia sendiri, maupun dibacakan oleh orang lain. Pokoknya, sekali lagi, karena kata-katanya, karena produsir kata-katanya, si bungsi ini menjadi sangat terkenal. 

Semua orang Roma memuji-muji dia. Begitu juga halnya di tengah keluarga. Ia menjadi anak yang dipuja-puja, yang dianggap telah membesarka nama keluarga. Dan sekali lagi itu semua terjadi karena si bungsu tadi berhasil mengeluarkan banyak karya-karya sastra yang bermutu yang diakui banyak orang di dalam masyarakat. Si bungsu ini tidak hanya dipuja-puja, melainkan juga ia dipuja dalam perbandingan dengan si kakak yang dianggap tidak menghasilkan apa-apa untuk mengharumkan nama keluarga. 

Sebaliknya si kakak, itu orangnya pendiam. Ia tidak pandai berbicara. Sesungguhnya ia pandai berbicara, tetapi tidak banyak mengumbar kata-kata. Ia lebih banyak berdiam diri saja. Berbeda dengan si adik yang menaruh minat besar pada bidang sastra dan poetika, si abang ini mempunyai suatu kecenderungan lain sama sekali. Ia berminat di bidang militer, dinas ketentaraan. Suatu yang sangat luhur juga sebenarnya pada waktu di Kekaisaran Roma. Maka untuk mewujudkan cita-citanya ia pun masuk ke akademi militer yang terkenal di kota Roma, dari mana sudah dihasilkan banyak jenderal dan ahli strategi perang kekaisaran Roma. 

Sebagai orang yang terlibat dalam dunia militer, ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk mengasah kemampuannya di bidang disiplin ketentaraan, termasuk dalam hal pengendalian diri, pengendalian kata-kata, pengendalian moral, sebab di situlah letak dasar terutama dari idealisme keksatriaan Roma. Apa yang disebut courage di dalam empat kardinal virtue dari Aristoteles itu, sungguh-sungguh dipelajari di dalam disiplin kemiliteran Yunani dan Roma (Greeco-Roman Military academy). Sebagai seorang militer, ia mencapai sukses yang tidak kalah spektakuler dibandingkan dengan adiknya. Hanya memang dia tidak menjadi buah bibir masyarakat umum, sebab dunia militer memang bukan dunia artis yang heboh, melainkan dunia yang hening, beroperasi di dalam diam dan hening. 

Karena karakternya yang banyak diam dan hening, lagipula didukung dengan disiplin militer yang juga tidak banyak berbicara, sesungguhnya di dalam hatinya si abang ini juga mempunyai suatu pengembaraan intelektual dan rohani yang tidak kalah dahsyatnya. Ada semacam kehausan rohani yang melanda jiwanya yang tidak pernah bisa dihauskan dengan sistem keyakinan religious Romawi yang ada di sekitarnya, bahkan ia menjadi bagian utuh dari religious culture tersebut. Diam-diam ia mencari dan mencari. Berharap bisa menemukan suatu jawaban di suatu saat, dan di suatu tempat kelak. 

Sementara itu, lambat laun karier militernya menanjak dengan sangat pesat dan maju. Jabatan militer di Roma sudah tidak bisa lagi menampung dia. Memang dia harus naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi untuk itu ia harus lulus sebuah ujian. Dan ujian yang terberat pada masa itu ialah mengepalai dinas kemiliteran di daerah yang paling rawan secara politik dan militer. Dan daerah yang dianggap paling rawan pada waktu itu ialah negeri Kanaan yang meliputi Galilea dan Yudea. Di sanalah seorang prokurator Roma juga menjalani dinas kepemerintahannya. Dia adalah Pontius Pilatus. 

Nah si abang ini pun akhirnya diputuskan untuk terlebih dahulu menjalani dinas kemiliteran di negeri Kanaan itu, sebelum nantinya mendapat promosi ke jenjang jabatan yang lebih tinggi di kota Roma, ibukota kekaisaran pada masa itu. Dan terjadilah demikian. Dengan suatu pesta perpisahan yang ramai, ia dan keluarganya pun dilepaspergikan dari Roma menuju ke negeri Kanaan itu di Timur Tengah, negeri  yang tidak pernah sepi dari pergolakan militer maupun keagamaan. 

Jujur saja, sebenarnya secara manusiawi, si abang ini merasa ciut juga, apakah nanti di sana ia bisa mengembangkan karir militernya dengan baik agar bisa mencapai puncak tertinggi. Walaupun ada sejumput keraguan seperti itu, namun si abang tetap pergi dengan penuh percaya diri ke Kanaan, sebagaimana yang memang telah diajarkan oleh disiplin kemiliteran yang dipelajarinya selama ini. Ia maju tak gentar. Biarpun medan penuh hingar-bingar. Ia tetap berjalan tegar, kalau bisa orang-orang hingar-bingar pada bubar. 

Ia tidak ditempatkan di Yerusalem, melainkan di Kapernaum, di Galilea. Saat ia bertugas di sana, ia sudah sering mendengar kabar tentang seorang guru Agung yang namanya menjadi terkenal di seluruh Galilea dan Yudea dan bahkan juga di luar wilayah itu namanya terkenal. Ia sudah mendengar tentang apa yang dikerjakannya, mukjizat-mukjizat yang dikerjakannya. Tidak lupa ia juga sudah mendengar kabar tentang ajaran-ajaranNya. Entah bagaimana ia merasa tertarik sekali untuk bertemu dengan Guru Agung itu. Untuk melihat mukjizat-mukjizatNya yang terkenal itu. Terlebih lagi ia ingin sekali mendengarkan secara langsung kotbah-kotbahNya. Tetapi dari apa yang ia dengar dari kata-kata orang-orang ia sudah merasa sangat tertarik. Ia merasakan sebuah magnet menarik hatinya dari dalam. Dan daya tarik itu sangat kuat. 

Tetapi entahlah bagaimana, ada-ada saja hal yang menghalangi dia untuk bisa datang dan bertemu secara langsung dengan sang Guru Agung itu. Ada-ada saja alasan baginya untuk tidak bisa datang. Ada alasan  yang bersifat pribadi. Tetapi lebih banyak alasan yang berasal dari tugasnya sebagai seorang perwira tinggi militer. Sampai pada suatu saat ia tidak bisa menghindar lagi. Ia mempunyai seorang pegawai yang sangat baik. Karena itu, ia juga sangat menghargai pegawai itu. Entah kenapa, tiba-tiba si pegawai yang baik dan sangat dihargainya itu, jatuh sakit keras. Dan tampaknya ia akan segera mati karena sakit tersebut. 

Dalam keadaan panik, ia pun mengirim utusan untuk menghadapi sang Guru Agung. Ia meminta agar si Guru Agung itu datang untuk menyembuhkan pegawainya tersebut. Ternyata si Guru Agung berkenan untuk datang. Maka datanglah si Guru Agung ke arah rumah si perwira Roma tadi setelah diyakinkan oleh utusan orang-orang Yahudi bahwa si Perwira itu adalah orang yang sangat baik. Walaupun dia seorang Roma, tetapi ia menaruh perhatian pada bangsa Yahudi. Bahkan ia juga sudah membuktikan perhatiannya itu, dengan cara membangun rumah ibadat bagi orang Yahudi di Kapernaum. 

Tetapi begitu si Guru Agung itu, sudah mendekati rumahnya, si Perwira itu menyuruh utusannya untuk datang kepada Yesus. Ia menyuruh utusannya untuk menyampaikan kata-katanya kepada sang Guru Agung. Begini katanya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh." (Mat 8:8; Luk 7:1-10). Dan terjadilah mukjizat itu. Mukjizat itu terjadi karena bertemu dengan iman yang besar yang dipuji selangit oleh sang Guru Agung itu sendiri: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel." (Mat 8:10). 

Itulah satu-satunya kesempatan si abang itu omong dalam seluruh hidupnya. Dan omongan itu terekam di dalam injil. Tetapi si Perwira yang pendiam itu, mengucapkan sebuah kalimat efektif yang tepat waktu, tepat tempat, dan juga tepat pada seorang pendengar yang Agung dan mulia. Sejak kalimat itu terucapkan kalimat itu tidak pernah hilang lagi, bahkan menjadi abadi. Hingga saat ini setiap kali hari orang-orang Katolik di seluruh dunia, saat mereka merayakan ekaristi pasti akan mengucapkan kalimat itu menjelang komuni: "Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh." Sudah mengalami modifikasi sedikit. Dalam bahasa Latin bunyinya demikian: Domine, non sum dignus, ut intres sub tectum meum, sed tantum dic verbo et sanabitur anima mea. Judul tulisan saya diambil dari teks bahasa Latin ini. 

Berbeda dengan ketenaran sang adik yang memprodusir mungkin ribuan mungkin juga jutaan kata-kata dalam pelbagai karya puisinya, dan juga sudah menikmati ketenaran karena kata-kata itu selama masa hidupnya, sang kakak hanya mengucapkan satu kali kalimat, tetapi kalimat itu sangat efektif, dan menjadi sangat abadi, melampaui usia si penuturnya sendiri. Luar biasa. 

Bersambung.... 

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...