Saturday, June 13, 2020

DOMINE NON SUM DIGNUS 1

Oleh: Fransiskus Borgias M. 


Hari ini adalah Hari Raya Tubuh Kristus. Ada juga versi sebutan yang "lengkap" yaitu Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Tetapi yang jelas aslinya ialah masih tersimpan dalam sebutannya menurut versi Latin, yaitu solemnitas Corpus Christi. Lalu dari mana "darah" Kristus itu? Ceritanya panjang. Tetapi bisa dipersingkat demikian. Ketika devosi kepada Kristus semakin berkembang mekar dan bertumbuh subur maka muncullah bermacam-macam devosi kepada pelbagai aspek dalam diri Kristus. Salah satunya ialah devosi kepada Darah Kristus yang teramat mulia, yang tentu saja mengalir dan memancar keluar dari dalam Hatinya yang tertembus tombak dan terluka, dari mana, menurut kesaksian Yohanes, mengalir darah dan air. Jadi, sesungguhnya devosi akan darah termulia Tuhan Yesus pasti erat terkait dengan devosi kepada Hati Kudus Yesus Kristus. Dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah Sanctissima Cordis Iesu Christi. 

Terkait dengan devosi terhadap hati kudus Yesus Kristus ini, muncullah dalam sejarah gereja beberapa kongkregasi yang secara khusus membaktikan diri kepada penyembahan terhadap Hati Kudus Yesus. Kiranya bisa disebut dua yang ada dan hadir di Indonesia, yaitu MSC dan SSCC. Salah satu tokoh  yang terkenal dari kongregasi SSCC ialah Pater Damian dari Molokai itu. Bahkan sekarang dia sudah dikanonisasi menjadi orang kudus (santo) gereja. Luar biasa. 

Dan dari Hati Kudus Yesus ini mengalirlah DarahNya yang termulia. Sejauh saya ketahui, dari praksis devosi ini pun muncul juga beberapa kongregasi hidup bakti. Misalnya di Indonesia adalah kongregasi para suster Darah Mulia. Di Amerika Serikat dan di Australia ada sebuah kongregasi para imam yang membaktikan diri kepada Precious Blood of Christ. Tetapi kongregasi para imam ini tidak ada di Indonesia. Waktu belajar teologi di Belanda, salah satu profesor saya di bidang teologi modern dan teologi misi ialah seorang imam yang berasal dari kongregasi ini, yaitu Pater Robert J.Schreiter, yang merupakan salah satu murid yang paling terkenal dari teolog besar dari Nijmegen, Pater Edward Schillebeeckx OP. 

Nah, karena besar dan kuatnya devosi akan darah Mulia Yesus Kristus itu, maka dulu pernah ada tanggal yang khusus yang diberikan untuk Darah Mulia ini. Tetapi saya lupa persisnya tanggal berapa. Tetapi kiranya sejak pembaharuan Liturgi dalam Konsili Vatikan II, ataupun sedikit sebelumnya, sudah ada pembaharuan liturgi dalam bentuk penyederhanaan di dalam penanggalan liturgi itu. Dalam rangka penyederhanaan itu, maka ada banyak tanggal yang kemudian dihapus, lalu pestanya entah dihilangkan, entah disatukan dengan perayaan yang lain yang dianggap terkait ataupun bahkan dianggap sebagai induk asalnya. 

Begitulah, sejak hari dan tanggal khusus untuk darah Mulia itu dihapus, maka pestanya pun digabungkan dengan Hari Raya Tubuh Kristus, yang memang secara tradisional dan historis dianggap sebagai sumber dan asal-muasal dari devosi Darah Mulia tersebut. Maka sejak saat itu, Hari raya yang aslinya ialah CORPUS CHRISTI, lalu menjadi Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus et Sanguis Christi). 

Bersambung.... 



IN MEMORIAM: BAPA ALBERTUS HARTONO

Oleh: FRANSISKUS BORGIAS M.


Hari ini saya, pagi-pagi, saya mendapat kabar dukacita. Bapak Albertus Hartono, meninggal dunia di Rumas Sakit UKM di Pintu Keluar Tol Margaasih, dekat kawasan Kopo V. Semua terasa dan berlangsung begitu cepat. Selama ini, bapak Hartono tampak sehat-sehat saja. Tidak pernah terdengar kabar bahwa dia sakit ataupun kondisinya memburuk. Masih sering tampak mengantar jemput putrinya pergi dan pulang kerja. Yang terdengar kabar kondisinya kurang prima ialah si Oma (isterinya). Sudah lama sekali ia tidak pernah kelihatan lagi ke gereja.

Tiba-tiba, beberapa hari lalu, kalau saya tidak salah, terdengar kabar yang santer sekali bahwa bapak (begitu biasanya saya memanggil beliau), didapati tidak sadarkan diri di kamar di rumahnya, dan ada muntahan yang keluar dari mulutnya. Mendengar kabar itu, isteri saya menduga kemungkinan itu adalah pendarahan di otak, sebab ada tanda-tanda muntah seperti itu. Tetapi semuanya serba tidak pasti.

Yang jelas ialah bahwa beliau segera dilarikan ke rumah sakit terdekat yaitu rumah sakit UKM yang terletak di pintu tol tadi. Karena masih dalam keadaan psbb dalam rangka wabah corona ini, maka saya dan isteri tidak berani untuk mengunjunginya ke rumah sakit, apalagi dari pihak rumah sakit ada pembatasan yang sangat ketat mengenai para pengunjung orang sakit di rumah sakit. Maka kami urungkan niat kami untuk mengunjunginya.

Tiba-tiba tadi pagi, sekitar pukul 10an, terdengar kabar bahwa bapa Hartono (demikian panggilan akrabnya) sudah meninggal dunia. Kabar itu bagi saya amat mengagetkan. Karena terjadi begitu cepat dan rasanya seperti serba tiba-tiba saja. Saya dan isteri menjadi sangat sedih mendengarnya. Saya juga masih belum berani untuk datang melayat ke rumah duka di Bumi Baru, tempat ia disemayamkan, sebelum dikremasi pada hari Senin, karena masih menunggu anak-anaknya yang datang dari Yogya, Jakarta, dan dari Belanda. Sedih sekali membayangkan itu semuanya.

Saya dan isteri tidak punya hubungan darah apa-apa dengan beliau. Tetapi kami sudah menganggap dia dan isterinya sebagai orang tua kami. Anak-anak kami pun memanggil mereka dengan sebutan opa dan oma. Ceritanya panjang.

Yang jelas, tatkala saya mendengar kabar ini tadi, pikiran saya langsung teringat akan tahun 1999, pada awal tahun. Kalau tidak salah ingat, sekitar bulan Februari. Kami baru saja pindah dari rumah dinas Unpar di kawasan jalan Buah Batu. Dan kami tempati rumah yang baru saja kami beli pada bulan Desember 1998. Pokoknya sejak Desember 1998 kami sudah menempati rumah kami yang baru itu.

Kami tidak punya apa-apa. Rumah kami standar dari developer saja. Perabotnya tidak ada yang istimewa. Kami juga masih belum punya kendaraan. Kalau ke gereja kami harus naik becak dulu ke depan ke jalan Kopo Sayati, lalu naik angkot ke arah Lanud Sulaiman, dan dari jalan raya masih harus jalan kaki kira-kira lebih dari 500an meter.

Karena itu, kami berencana untuk diam-diam saja tinggal di sana. Tidak usah aktif di lingkungan dan paroki. Pokoknya, hidup saja sebagaimana orang Katolik pada umumnya. Cukup ke gereja pada hari Minggu. Selebihnya mengurus urusan hidup kami sendiri. Kami mau bersikap begitu, karena kami kesulitan untuk mobilitas kami.

Tetapi tiba-tiba pada awal bulan Februari 1999, ada sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah kami. Lalu keluarlah seorang ibu dan seorang bapa. Kami sudah mengenal mereka. Bapak adalah ketua lingkungan kami. Ibu (isterinya) juga adalah seorang yang sangat aktif dalam kehidupan menggereja. Ternyata mereka datang bertandang ke rumah kami.

Akhirnya, kami berteman, saling mengenal satu sama lain. Saya dan isteri diajak untuk terlibat aktif dalam kegiatan di lingkungan, seperti berdoa, dan ikut anggota koor. Begitulah. Rencana untuk tinggal diam-diam saja ternyata tidak bisa. Sudah langsung didatangi oleh Ketua Lingkungan kami. Ditembak di tempat. Tidak bisa berkutik. Maka sejak saat itu kami pun aktif. Semua kegiatan lingkungan kami ikuti dengan susah payah karena anak-anak kami masih kecil. Oh ya, awalnya, hanya saya yang lebih aktif, karena isteri lebih banyak menjaga anak-anak di rumah.

Tetapi lambat laun, kami ikut aktif semuanya. Bahkan sejak tahun 2000, saat saya ada di Belanda, lingkungan kami membentuk sebuah koor lingkungan. Maka isteri saya pun terlibat aktif di dalam koor tersebut. Dan kami mengadakan latihan bersama di rumah Bapa dan Ibu Hartono itu. Berbeda dengan orang-orang lain, isteri saya pasti selalu membawa kedua anak kami untuk ikut berlatih, sebab tidak ada yang menjaga mereka di rumah. Pulangnya nanti jalan kaki atau numpang pada motor teman-teman.

Sejak itulah kami menjadi sangat akrab satu sama lain. Kemudian kami sempat sama-sama menjadi anggota DPP. Saya juga akhirnya aktif sebagai kontributor tetap untuk majalah bulanan paroki untuk bidang Kitab Suci. Juga akhirnya saya terlibat membina koor lingkungan itu. Masih bersama pak Hartono kami juga terlibat di paduan suara GABTAKI yang dipimpin oleh Bapak Priyo Budisantoso.

Hal itu berlangsung hingga tahun 2007. Sejak saat itu bapak Hartono tidak pernah ikut gabung lagi dengan koor Gabtaki dan rasanya Gabtaki itu lama-lama bubar dan diganti dengan koor baru yang dibentuk yaitu Lucretia. Tetapi Bapak Hartono tidak pernah bergabung lagi di koor itu.

Sampai meninggalnya hari ini, saya tidak pernah melihat bapak Hartono terlibat lagi dalam sebuah paduan suara. Padahal dia adalah penyanyi bass yang sangat handal. Pandai menyanyi dan suaranya mantap dan dalam sekali. Luar biasa. Pokoknya kalau ada dia di Bass, rasanya benteng bass itu tebal dan kokoh, karena tebalnya suara dia.

Selamat jalan Bapak Hartono, kami semua berdoa bagi keselamatan jiwamu. Kami semua yakin dan percaya, bapak sudah diterima di dalam cahaya kekal di dalam kalangan para kudus Allah. Jadilah pendoa kami semua di hadapan Allah yang mahakasih, dan mahapemurah.

Bandung, 13 Juni 2020.

LEARNING SOMETHING FROM CHRISTIAN PRINCE

By: Fransiskus Borgias. 

Last night I watched the video of Christian Prince (afterwards will only be written as CP). It is a video on the so-called new inspired answer to the everlasting question of the Muslims who always asking the textual proof of the deity or divine status of Jesus Christ. In that video CP said that he has gotten a new answer to the old question of the Muslim. Usually they will ask the Christians in this way: Please show us the biblical proof in which Jesus said about himself as God? `

And now via this video CP said that he wanted to use al Quran and also the Bible to prove the divinity of Jesus the Christs. First CP quotes the verses of the Quran, especially the texts that mention the ninety-ninth divine names (the names of God). In Islamic theological tradition there are ninety nine Names of God. And usually Muslim people will recite those names in their prayer. 

CP, in his video for the time being only mention six names of God. These names are al Haq, Al Nur, al Baeth, al Awal and al Akher, al Malek, and finally al Hadi. Names are not merely function nominally, but it also denote the existence and the essence of God. God is in his Names. The Names of God is also God. There is a very close relationship between God and his Names. The Names of God is identical with God. The Names points exactly to God who bear the name. So in the expressio of CP, God is al Haq, God is al Nur, God is al Baeth, God is al Awal and al Akher, God is al Malek, and God is Hadi. 

The CP move forward by taking the brave conclusion and even theological and Christological consequences of such doctrine and religious belief. CP said, that if God is al Haq then Muslims should accept Jesus Christ, because Jesus Christ said in the Gospel of John that He is the al Haq. Even CP said that Jesus said this truth using the first person: I am the truth (the way and the life; John 14:6), because al Haq in Arabic language means the Truth in English, or Veritas in Latin and Kebenaran in Indonesian language. 

This same way of taking conclusion is also apply to the other five names mentioned explicitly by CP. For example: God's name is al Nur, meaning the Light. Jesus Christ also revealed Himself as the light of the world. In John 8:12 we find the self revelation of Jesus Christ as the Light of the World by saying, "I am the light of the world." If Muslims believe that God is the al Nur, then CP said that they must accept and believe in Jesus Christ, because Jesus Christ is the Light Himself. 

The next name or attributes of God in Islamic theological tradition is al Baeth, meaning, the resurrection. God is resurrection. Resurrection is in God. In and together with God there is no dead, there is only life, there is resurrection. And again CP said that if Muslim people believe in God as the al Baeth, then they must come to accept Jesus Christ, because Jesus also said of Himself as the al Baeth. In John 11:25, Jesus said very clearly that "I am the resurrection and the Life." So Jesus is the Resurrection and also the life. 

The next name or attributes mentioned by CP is al Malek, which means, the King. God is the King. In Nathanael's leap of faith there is also a very clear confession of Jesus Christ as the King (see John 1:49). Not only Nathanael (one of the Disciples of Jesus), the croud in Jerusalem also exclaim Jesus as the King of Israel (see John 12:13). In a rethorical style of question Pilate ask Jesus: "Are you a King of the Jewish people?" (cfr.John 13:33). Upon the cross of Jesus there is also a proclamation of the kingly status of Jesus: Iesus Nazarenus Rex Iudaerom. Even in the Book of Revelation of John there is also a statement of the name of the figure appeared in the vision of John: King of kings, Master of masters (cfr.Rev 19:16). So it is very clear that there are a lot of Christological confession in the New Testament on the Kingly status and dignity of Jesus Christ. 




Friday, June 12, 2020

PESTA SANTO ANTONIUS DARI PADUA

Oleh: Fransiskus Borgias 

Hari ini, tanggal 13 Juni, adalah pesta Santo Antonius dari Padua. Mungkin dalam penanggalan liturgi yang umum, hari ini hanya dikategorikan sebagai hari peringatan saja, tetapi bagi keluarga besar Fransiskan dan Fransiskanes sedunia, hari ini adalah Hari Raya. Dan memang juga dirayakan sebagai sebuah hari raya (solemnitas). Karena memang santo ini adalah seorang santo yang besar dan luar biasa mengagumkan. 

Setiap kali saya ingat akan nama sang santo ini, maka serta-merta saya ingat akan beberapa hal berikut ini. Pertama, saya ingat akan Perayaan tahunan di beberapa Paroki Fransiskan di Jakarta, terutama sekali di Gereja Hati Kudus Kramat Raya dan Gereja Santo Paskalis, di Cempaka Putih. Setiap tahun, sudah pasti diagendakan sebagai sebuah perayaan agung, novena santo Antonius Padua ini yang berlangsung selama sembilan Selasa berturut-turut. Saya pernah mengalami aura novena agung ini sejak saya Frater dulu baik waktu tinggal di biara Padua (dan itu berarti merasakan aura di Paskalis), maupun waktu tinggal di biara Fransiskus Kramat (dan itu berarti merasakana aura yang ada di Paroki Kramat). Dan memang animo umat terasa sangat luar biasa. Seluruh area parkiran yang luas tersedia, penuh diisi mobil, kendaraan pribadi maupun juga bis, sebab ada yang datang dari luar kota, seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan bahkan Bandung juga ada. Benar-benar luar biasa daya tarik Santo Antonius Padua yang diberi tugas khusus oleh Fransiskus dari Asisi untuk mengajarkan teologi tetapi tanpa harus mematikan semangat doa. 

Kedua, saya teringat akan kenyataan bahwa pada tahun 2005, terbit buku saya tentang sang santo, Antonius Padua, renungan. Buku itu terbit pada Yayasan Pustaka Nusatama Yogyakarta. Saya berjuang cukup lama untuk mengerjakan buku tersebut sampai terbit. Dan yang lebih penting lagi ialah fakta bahwa saya belajar sangat banyak dalam seluruh proses penulisan dan pengeditan tulisan tersebut hingga menjadi sebuah buku. Puji Tuhan untuk semuanya itu. 

Ketiga, saya teringat akan buku dari Paus Yohanes Paulus II, yang judulnya ialah DOA DAN DEVOSI, MEDITASI 365 HARI. Buku itu adalah kumpulan catatan dan kutipan kotbah dari bapa suci untuk setiap tanggal dalam sebulan dan sepanjang tahun. Buku itu disunting oleh Uskup Peterus Canisius Yohanes van Lieerde. Dan Puji Tuhan, buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Julis Valentinus Barus pada bulan Mei 1995 dan bahkan sudah juga dicetak ulang. Diterbitkan pada penerbit Erlangga. Luar biasa sekali. 

Nah terkait dengan tanggal 13 Juni ini, ada sebuah renungan yang sangat menarik dari Bapa Suci tentang Santo Antonius dari Padua. Bagian selanjutnya dari tulisan saya ini, tidak lain adalah kutipan dari buku tersebut (hlm.228-229). Di bawah ini kutipan dimulai: 

13 Juni. 
St.Antonius dari Padua, Pewarta Injil. 
Selama hidupnya, Antonius adalah seorang pewarta Injil. Dan jika kita menghormatinya sebagai pewarta Injil, hal itu karena kita percaya bahwa Roh Kudus tinggal dalam dirinya secara berapi-api, memperkaya dirinya dengan karunia-karunia yang menakjubkan dan menggerakkannya "dari dalam" untuk melaksanakan kegiatan yang luar biasa selama 40 tahun masa hidupnya. Tetapi Roh Kudus itu masih tetap tidak kehabisan daya dalam waktu - Ia tetap bekerja, secara dahsyat dan sesuai dengan penyelenggaraan ilahi, juga pada masa sekarang ini. 

Pertama-tama saya meminta kamu untuk merenungkan "cap pewarta Injil dalam dirinya." Itu juga sebabnya mengapa Antonius dinyatakan sebagai "Santo." 

Tanpa membuatnya menjadi eksklusif, tanda kekudusan ini telah mencapai puncak yang luar biasa dalam diri Antonius. Semuanya didesaknya melalui kekuatan teladannya dan pengembangan dunia sepenuhnya diserahkan pada devosi kepada Antoius. Kita sulit menemukan kota atau desa di daerah Katolik yang tidak memiliki paling tidak satu altar atau patung santo ini. Cirinya yang tenang tenteram, dengan senyuman yang lembut, menerangi jutaan orang Kristen di rumah-rumah, di mana, melalui Antonius, imam memelihara pengharapan akan penyelenggaraan Bapa surgawi. Orang-orang beriman, terutama yang paling rendah dan tak berdaya, memandang dan merasakan dia sebagai orang kudus mereka, seorang perantara yang punya kuasa dan selalu siap sedia bagi mereka. 

Exulta, Lusitania felix; o felix Padua, gaude. Bersukarialah, hai Portugal yang bahagia; ya, Padua yang bahagia, bergembiralah. Saya ulangi kata-kata ini bersama pendahulu saya, Paus Pius XII. Bergembiralah, Padua, dalam kemuliaan asal-usul zaman Romawimu, sebenarnya zaman pra-Romawi-mu; ke dalam peristiwa-peristiwa besar sejarahmu, engkau menambahkan gelar yang paling mulia, yaitu pemelihara kenangan yang hidup tentang St.Antonius, dalam makamnya yang mulia. Karena engkau, sesungguhnya, nama Antonius telah menyebar dan bergema di seluruh keheningan dunia, karena ciri istimewa ini: kebenaran pokok-pokok pewartaan Injil yang disampaikannya. 


WERI, MENANAM...

Oleh: Fransiskus Borgias 

Seorang sahabat di Facebook, Yuvens Janggat, seorang pegiat pemberdayaan pelbagai aspek kehidupan Masyarakat di Manggarai, pagi ini mampir di laman Facebook saya, dengan mentautkan sebuah tautan yang sangat menarik, yaitu peliputan dalam bentuk beberapa foto kegiatan bapa Uskup Ruteng dalam kunjungannya ke Manggarai Timur bagian utara, ke Lingko Lolok dan sekitarnya, yang sekarang menjadi daerah yang mungkin paling ramai dibahas di Manggarai, karena ada rumor bahwa akan masuk pabrik semen, tetapi yang sebenarnya itu hanya kamuflase untuk sebuah perusahaan tambang. 

Nah dalam acara kunjungan ini, konon dalam kotbahnya bapa Uskup Ruteng, menyerukan agar orang tetap mempertahankan tanah dan lahan pertanian mereka, mengembangkan hidup dari pertanian. Bahkan bapa Uskup secara simbolis sekali menyuarakan semuanya itu dengan aksi menanam sebuah pohon di halaman Kapel yang kiranya terletak di tengah daerah yang menjadi fokus perdebatan itu. Bagi saya, aksi bapa Uskup menanam pohon itu bisa diartikan sebagai sebuah seruan moral-etis-ekologis: Lihatlah, inilah yang saya tanam. Mana yang kau tanam? atau bisa juga diartikan sebagai: Marilah kita menanam lagi dan lagi, dan jangan meninggalkan kebiasaan yang sudah kita kenal dari turun temurun, yaitu menanam dan menanam. Sebab orang Manggarai hidup dari menanam. 

Terhadap tautan itu saya memberikan sebuah komentar. Adapun komentar saya sepenuhnya saya kutip sepenuhnya secara harafiah di bawah ini. Perubahan satu-satunya hanya di sini sudah ada pembagian dalam paragraf, sesuatu yang tidak bisa saya lakukan di sana, sebab kalau saya enter dalam komentar di sana, maka langsung akan terkirim. Makanya seluruh komentar itu sangat panjang dan hanya satu paragraf saja. Nah, paragraf yang panjang itu, saya penggal-penggal menjadi beberapa paragraf di bawah ini. 

Di sini kutipan dimulai:  
Hikmat lokal Manggarai ialah WERI, menanam. Saat akan WERI, ada ritual WUAT WINI, artinya menyuruh (wuat) agar benih (wini) itu pergi ke dalam tanah, berkecambah dan lalu mengeluarkan akar ke dalam tanah (wake celer ngger wa) dan kemudian tumbuh ke atas, ke permukaan tanah dalam rupa batang, cabang, ranting dan daun (saung bembang nggereta). Jelas sekali diungkapkan di sana, bahwa benih-lah yang disuruh oleh para leluhur orang Manggarai untuk masuk ke dalam misteri kegelapan rahim ibu bumi dan dari dalam rahim ibu bumi itu ia menghirup daya-daya hidup dan yang kemudian juga bisa menghidupkan. Itulah panen yang kita petik dari hasil usaha kita menanam dan menanam benih. 

Orang Manggarai tidak mengenal teknologi kaer tanah, apalagi kaer sampai wangker walek tanah seperti yang dilakukan tambang-tambang yang mengerikan itu. Oleh karena itu dalam hemat saya, seharusnya tugas pemerintah ialah mengembangkan local wisdom itu, mengembangkan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan yang kesemuanya adalah hidup dari permukaan bumi yang menurut pengamatan Fransiskus Asisi adalah bagaikan sang ibu yang dengan rajin dan tekun menumbuhkan tetumbuhan hijau dan berbiji, dan semuanya itu menjadi makanan dan asupan gizi bagi semua makhluk hidup. 

Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa "mencoba bertahan dengan pertanian adalah langkah mundur". Kalau memang ada yang berkata seperti itu, saya hanya mau mengatakan bahwa hingga saat ini pemerintah menurut saya belum berbuat apa-apa untuk memajukan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan. Mungkin di sana-sini ada, tetapi itu kebanyakan adalah inisiatif pribadi dan atau aktifitas dari LSM tertentu. Saya sangat yakin bahwa kalau semua aspek itu dikembangkan dengan sangat baik, dan modern, maka tidak akan ada pengangguran di Mangggarai, dan Manggarai akan menjadi maju semaju-majunya. 

Belum lagi kita berbicara mengenai pengembangan pariwisata. Kita mulai saja dengan pengembangan pariwisata alam yang jelas sudah merupakan modal dasar yang kita miliki. Ada banyak gunung dan bukit yang indah dan eksotik, ada banyak pantai yang indah, ada danau yang indah, ada air terjun (cunca) yang indah-indah, ada sawah spiderweb yang sangat terkenal itu. Di atas itu kita punya aset wisata budaya. Baik itu budaya yang asli Manggarai, maupun yang sudah tercampur dengan praksis-praksis Kristianitas. 

Akhirnya ada wisata religi, seperti gua maria, biara-biara yang unik dan eksklusif, maupun mungkin jalan-jalan salib yang bisa dibangun dan dikembangkan dengan sangat baik dan yang pasti didukung dengan sangat kuat oleh praksis hidup devosi umat yang sangat kuat. Kalau semuanya itu bisa digerakkan dan dihidupkan, maka Manggarai akan hidup, akan berjaya. 

Kalau saya berbicara Manggarai, maka yang saya maksudkan ialah Manggarai Raya yang dicakup di bawah satu Keuskupan, dengan pemimpin yang baru, EPISCOPUS RUTENGENSIS.... 


GOLO NOSOT 3

Oleh: Fransiskus Borgias 

Untuk pertama kalinya, saya bangun dari tidurku di pagi hari, karena matahari. Karena kami baru di tempat itu, maka kami tidak mempunyai ayam-ayam yang kami pelihara. Karena itu, di pagi hari saya tidak mendengar kokok ayam yang biasanya menandai pagi hari kami. Saya hanya terbangun karena pengaruh berkas cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kami lewat cela-cela pecahan bambu dinding rumah kami. Akhirnya kami semua pada bangun. Juga ayah saya yang sudah bangun pagi-pagi. Juga ibu saya. Ibu membuka pintu depan dan pintu belakang rumah kami agar ada udara pagi yang mengalir masuk ke dalam rumah kami. 

Dalam udara pagi yang dingin saya keluar dari rumah dan bermain di dekat halaman sekolah yang masih tandus.  Udara sangat dingin, tetapi cahaya matahari sudah mulai tampak memancar dari balik perbukitan golo Walok yang terletak di sebelah timur. Begitu saya tiba di halaman sekolah, hal pertama yang saya lakukan ialah memandang ke arah Golo Nosot. Wah bukit itu terasa sangat indah di pagi hari, justru karena letaknya yang seperti sedang menantang matahari yang terbit di timur. Sudut datangnya sinar mentari pagi itu, benar-benar menimpa lereng sebelah timur bukit itu hampir tanpa halangan apa pun juga. Dan sinar mentari pagi itu membuat lereng bukit itu menjadi tampak sangat indah dan mempesona. 

Dalam hati, saya mengucapkan janji, kalau saya sudah lebih besar nanti saya akan mencoba mendaki lereng bukit itu, mencoba melihat lembah Ketang dari suatu ketinggian. Saya bayangkan betapa hal itu nanti sangat indah. Ya, kalau saya sudah sekolah nanti, saya akan ke sana. Begitu janjiku dalam hati. 

Karena terpaan sinar mentari pagi, dan juga karena pengaruh angin tenggara yang bertiup pagi itu, maka kabut dan awan yang kemarin sore menyelimuti lereng bukit itu dengan padat seperti lilitan tumpukan kapas yang pekat, sekarang mulai menghilang karena terpaan sinar mentari pagi dan terpaan angin tenggara yang kencang. 

Pagi hari itu, saya juga bertanya, mengapa lereng bukit itu di sebelah timur tidak ada pohon sama sekali? Di sana tidak ada pohon-pohon besar. Paling-paling yang ada hanya pohon-pohon perdu yang kecil-kecil saja. Hal itu berbeda misalnya pada lereng di sebelah selatan. Dari lereng sebelah selatan, bukit itu masih diselimuti pohon-pohon yang tinggi, seperti hutan pada umumnya. Rasanya di lereng sebelah barat juga masih ada hutannya. Hanya lereng di sebelah timur dan yang sebelah utara, kedua lereng yang bisa kelihatan dari arah lembah Ketang, itulah yang kosong. Hanya rerumputan mberong dan mungkin juga rerumputan gelagah yang tinggi-tinggi, tetapi tidak ada pepohonan yang besar sama sekali. 

Di sebelah arah timur laut dari golo Nosot itu ada bukit kecil yang bernama Rombang. Bukit itu juga tidak ada pohonnya. Semuanya menimbulkan pertanyaan di dalam hati saya, mengapa kedua lereng itu tidak ada pohon-pohonnya? Kalau golo Rombang dan Watu Weri, saya bisa bayangkan. Mungkin dulu di masa silam, entah kapan, daerah itu adalah bekas kebun dari orang-orang Lentang ataupun Pelus. Tetapi yang kemudian ditinggalkan untuk sementara waktu. Mungkin lebih tepat istilahnya dibiarkan dulu beristirahat, sebelum nanti tiba lagi waktunya untuk digarap kembali. Sedangkan mengenai lereng golo Nosot itu saya tidak tahu, apa yang terjadi. 

Yang jelas ialah bahwa lereng yang berumput hijau dan segar itu menjadi area di mana beberapa kuda dan sapi dan juga kerbau berkeliaran dalam gerombolan masing-masing, merumput di sana. Pada waktu itu pemandangan tadi terasa sangat indah dan mengagumkan. Hanya sayang, saya rasa mungkin tidak ada foto yang telah mengabadikan hal tersebut. Tetapi kenangan itu tidak hilang dari ingatan saya, lereng timur golo Nosot dan lereng Utaranya tidak ada hutan dan di sana hidupkan beberapa kelompok kerbau, sapi dan kuda. Kiranya itu bukan kuda liar, melainkan kuda-kuda yang bertuan tetapi oleh tuannya dibiarkan terlepas dan berkeliaran di alam bebas. 

Bersambung.... 
 

INJIL BAHASA MELAYU? MASALAH BUAT LOE?

Oleh: Fransiskus Borgias 

Beberapa waktu yang lalu muncul berita heboh dari ranah Minang. Gubernur Sumbar tiba-tiba mengumbar suara via pelbagai media yang menyerukan, meminta, mendesak, dan mungkin juga memaksa Kemenkominfo agar menghapus (menurunkan) Aplikasi Alkitab bahasa Minang yang ada di dalam Playstore. Alasan yang dipakai ialah bahwa aplikasi itu dianggap mengganggu rasa keminangan, budaya minang yang sudah lengket dengan Islam. Hemmmm.... Saat itu, saya sama sekali tidak membuat catatan apa pun tentang hal itu. 

Tiba-tiba hari ini saya membaca berita lagi bahwa dari kawasan timur pulau Sumatera yaitu persisnya dari kawasan Riau, muncul juga seruan serupa yaitu ingin agar aplikasi alkitab berbahasa Melayu di dalam playstore juga dihapus. Lagi-lagi alasannya sama, karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan budaya Melayu yang kental bernuansa Islami. Ketika muncul berita ini, saya merasa perlu untuk mengeluarkan semacam catatan kritis. 

Pertama, kalau kekristenan itu dianggap budaya asing karena datang dari Barat, bukankah agama Islam juga asing? Agama itu datang dari Timur Tengah. Agama Kristen juga aslinya dari Timur Tengah, yaitu dari Tanah Suci Kanaan, di mana negara Israel modern sekarang ini berada yang diproklamirkan menjadi negara pada tahun 1948 itu. Agama Kristen itu lahir dari tanah suci itu, yang terdiri atas dua wilayah besar, yaitu Galilea dan Yudea, sekadar untuk menyebut dua wilayah yang besar saja. Kemudian dari wilayah tersebut, agama Kristen mengalami proses internasionalisasi yang kencang sehingga kemudian ia menyebar ke barat (Eropa) dan dari Eropa akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Akhirnya juga sampai juga ke Nusantara ini. Dan ada anak-anak negeri ini yang menerimanya dengan tulus hati dan menjadi pengikut Kristus. Hal itu persis sama dengan dengan datangnya Islam yang datang dari timur tengah dan diterima juga oleh orang-orang di negeri ini dan menjadi pengikutnya. 

Catatan kedua. Begini. Kalau pelarangan ini dimaksudkan untuk melindungi kelompok jemaat agama tertentu agar tidak membaca kitab suci agama lain, wah itu mah kampungan sekali. Sebab bukankah Alkitab itu sudah ada dalam terjemahan bahasa Indonesia? Atau jangan-jangan besok-besok ada juga gerakan untuk melarang terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia? Saya rasa para penutur bahasa -bahasa daerah di Indonesia, rata-rata sudah sangat mahir berbahasa Indonesia. Kalau toh aplikasi Alkitab dalam bahasa daerah itu dilarang, mereka masih bisa membacanya melalui bahasa Indonesia. Katakanlah besok-besok mau dilarang juga yang berbahasa Indonesia. Tetapi masih ada dalam bahasa Inggris dan pelbagai bahasa Internasional lainnya yang sudah menyediakan terjemahannya. Orang-orang masih bisa membaca teks itu dari bahasa-bahasa internasional seperti Inggris, Belanda (yang pernah menjajah Indonesia), Jerman, China, dll. 

Jadi, menurut saya pelarangan itu sia-sia belaka. Aksi pelarangan itu bahkan menurut saya menunjukkan fakta bahwa orang kurang memiliki kesadaran sejarah yang tinggi dan mendalam. Sebab kalau orang memiliki kesadaran historis yang mendalam, maka akan dengan mudah dipahami secara historis bahwa mana agama yang muncul lebih dulu, mana agama yang muncul kemudian. Tidak bisa disangkal lagi bahwa dalam konteks agama-agama yang muncul di kawasan Timur Tengah, agama Yahudi-lah yang paling tua. Sesudah itu, dari rahim Keyahudian, lahir juga agama Kristen. Dan semuanya itu terjadi di kawasan Timur Tengah, Kanaan, yang sekarang ini menjadi negara Israel. Jauh di kemudian hari muncullah agama Islam. 

Segitu saja dulu.... semoga berguna... untuk pencerahan secara historis. 

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...