canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Saturday, May 10, 2008
Allah Sumber Damai Sejahtera Raja
oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Judul Mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Nyanyian syukur karena kemenangan raja.” Jadi tampak suatu kaitan tematis dan isi dengan mazmur terdahulu. Memang mazmur ini adalah nyanyian ucapan syukur, sebuah “eucharistia.” Maka tidak mengherankan bahwa nada-nada syukur itu terasa dari awal hingga akhir, dari ayat ke ayat.
Secara tertentu mazmur ini boleh juga disebut sebagai “mazmur politik,” karena ia membicarakan tentang legitimasi kekuasaan raja. Di sini digambarkan bahwa raja adalah penguasa atas tatanan dan realitas politik, dengan cakupan batas-batas wilayah geografis tertentu. Kekuasaan raja itu mempunyai beberapa legitimasi, justifikasi, dan pendasaran. Seluruh mazmur ini sebenarnya mencoba melukiskan legitimasi teologis kekuasaan seorang raja atau penguasa politis tertentu. Inti legitimasi itu dapat dilukiskan secara singkat sbb: Raja dapat berkuasa karena Allah berkenan kepadanya. Dengan kata lain, raja dapat berkuasa karena kuasa itu diberikan dari atas kepadanya. Kalau tidak, maka ia tidak dapat berkuasa. Raja bersukacita karena kuasa yang berasal dari atas atau dari Allah. Raja bersorak kegirangan karena Tuhan memberinya kemenangan (ayat 2). Ayat 3 melukiskan pengalaman doa yang terkabulkan.
Jalan pikiran ini dilanjutkan dalam ayat 4-6. Diyakini bahwa raja mendapat berkat, mendapat mahkota, mendapat rahmat hidup dan umur panjang (dalam bahasa perjanjian lama itulah beberapa unsur “shalom” Allah bagi manusia), dari Allah semata-mata, bukan dari sumber-sumber lain. Raja mendapat kemuliaan besar dari Allah karena kemenangan. Pada gilirannya, raja mampu menjadi berkat atau shalom bagi yang lain. Kemampuan menjadi berkat atau shalom bagi yang lain itulah yang bisa melestarikan kekuasaan sang raja: ia mampu menjadi “summum bonum” bagi rakyat. Bukan malah menjadi pembawa bencana bagi rakyat (ayat 7) seperti yang sedang terjadi pada kita saat ini, di mana pemerintah sepertinya tidak berdaya lagi mendatangkan kesejahteraan sosial bagi rakyat. Dalam konteks seperti ini legitimasi kekuasaan biasanya semakin merosot dan itulah pertanda awal bencana bagi mereka.
Dalam ayat 8 dilukiskan pendasaran teologis kekuasaan raja. Dikatakan secara singkat bahwa Raja kokoh dan makmur karena imannya dan karena kasih karunia (charis) dari Allah semata-mata. Ayat 9-13, melukiskan pengalaman itu secara negatif. Artinya kalau kini sang raja kokoh dalam kekuasaanya, hal itu tidak lain karena Allah mengalahkan musuh-musuhnya. Dengan kata lain, dalam gugusan ayat-ayat ini dilukiskan apa yang dibuat atau dikerjakan Allah kepada atau atas musuh-musuh raja. Perhatikan baik-baik bahwa semua kata kerja dalam gugusan ayat-ayat ini hanya melukiskan satu hal, yaitu sang raja berjaya karena dan intervensi (campur tangan) Allah dalam percaturan politik kekuasaan sang raja. Kosa kata kerja yang dipakai di sini diambil dari medan perang. Ya, raja bisa menertibkan tata sosial dan tata kosmos (walau dalam artian terbatas) karena iman akan Allah, karena kasih karunia dan penyertaan Allah. Atas dasar pengalaman dan keyakinan itu maka si pemazmur dalam ayat 14 bisa berseru dengan lantang kepada Allah: “Bangkitlah, ya TUHAN, di dalam kekuasaanMu! Kami mau menyanyikan dan memazmurkan keperkasaanMu.” Semoga anda tidak asing dengan kutipan ayat ini sebab inilah salah ayat mazmur yang diangkat sebagai lagu mazmur antar bacaan: Bangkitkanlah ya Tuhan kegagahanMu, dan datanglah menyelamatkan kami. (EFBE@fransisbm)
Allah itu Alpha dan Omega
oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Judul Mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Doa mohon kemenangan bagi raja.” Dalam Mazmur ini memang tersimpan satu keyakinan yang mendasar dari kaum beriman bahwa Tuhan adalah tempat berlabuh semua doa, harapan, dan pemohonan manusia. Itulah sebabnya si pemazmur sangat berharap pada Allah. Harapan itu tampak dari pemakaian kata atau ungkapan “kiranya,” yang dalam terjemahan kita ini dipakai sebanyak tujuh kali; kata itu bisa juga diartikan sebagai “semoga,” yang juga mengandung atau mengungkapkan harapan.
Tampak bahwa pemazmur ini, dalam pelbagai pengalaman negatif hidupnya di dunia ini, sangat tergantung pada Allah semata-mata; ia tidak mengandalkan siapa-siapa atau apa-apa yang lain selain Allah. Pengalaman negatif itu misalnya, pengalaman kesesakan. Kesesakan itu artinya ialah keadaan sulit dalam hidup ini, keadaan terhimpit, entah secara politik, atau secara ekonomis (kesulitan uang, kesulitan makanan, kesulitan pangan, dan kesulitan papan), atau juga secara sosial-psikologis (kesulitan dalam hal relasi sosial dan personal). Kalau kita baca dengan teliti, maka mazmur ini berstruktur seperti ini: memohon-keyakinan-memohon, dengan cakupan dan batas-batas ayat sbb untuk masing-masing penggalan: 2-6, 7-9, 10.
Si pemazmur ini mulai dengan rangkaian permohonan (2-6). Doa permohonan ini dilambungkan si pemazmur dalam konteks pengalaman iman positif akan Allah, dari konteks praksis imannya di masa silam. Dalam ayat 7 kita bisa merasakan adanya suatu loncatan. Sebab di sini si pemazmur mulai beralih dari permohonan ke suatu perasaan yakin. Perasaan yakin dan optimisme ini dilandaskan pada rangkaian pengalaman selama ini bahwa apa saja yang ia mohon dari Allah pasti dikabulkan. Ini semua terjadi karena ia mengandalkan Allah; hal itu sangat berbeda dari orang-orang lain di sekitarnya, terutama para lawan atau musuhnya, yang mengandalkan kekuatan-kekuatan duniawi.
Ayat 8 memperlihatkan sebuah kontras sikap yang sangat tajam antara kita dan mereka. Dikatakan bahwa mereka itu mengandalkan kuta dan kereta. Hal ini membuat kita teringat akan drama exodus dari Mesir, di mana orang-orang Israel dikejar dengan kereta kuda oleh pasukan Mesir, sementara orang Israel hanya berkaki dan terhimpit karena berada di tepi laut Merah. Tetapi apa yang terjadi, kuda dan kereta itu tenggelam. Sedangkan kita hanya mengandalkan Allah. Ini juga membuat kita teringat akan peristiwa yang sama. Ketika sudah terjepit, mereka hanya pasrah. Dikatakan bahwa mereka tenang, dan membiarkan Tuhan bertindak dengan tangan kananNya. Dan terjadilah bahwa tangan kanan Tuhan memperlihatkan kekuatan, dan menuntun mereka. Hasil dari sikap percaya ini ada atau dilukiskan dalam ayat 9, yang juga kontras: mereka jatuh, kita tetap berdiri.
Atas dasar pengalaman dan keyakinan historis-teologis ini, maka dalam ayat 10 Mazmur ini lagi-lagi ditutup dengan sebuah permohonan. Kalau diungkapkan secara teknis dalam bahasa teologis maka dapat dirumuskan demikian: Dari dan berdasarkan Allah sejarah, orang mengimani Allah masa depan. Dengan itu maka iman bisa menjadi hidup, dinamis, bergerak terus menerus dalam sebuah ziarah ke masa depan, ke eskatologi, ke akhir jaman (seperti dilukiskan dalam credo kita). Saya kira itulah beberapa pesan yang mendasar dari Mazmur ini bagi kita, tentu sejauh yang dapat saya timba. Semoga dapat membantu anda membaca dan mendalami mazmur ini secara pribadi. (EFBE@fransisbm)
Tuesday, April 15, 2008
Menikmati dan Mengapresiasi Mazmur 19
Judul Mazmur ini dalam Alkitab kita dengan sangat tepat mengungkapkan isi pokok mazmur ini: “Kemuliaan TUHAN dalam pekerjaan tangan-Nya dan dalam Taurat-Nya.” Ya, memang menurut mazmur ini, kemuliaan Allah itu tampak dalam dua tata fundamental berikut ini, yakni tata penciptaan dan tata perwahyuan, atau tata alam dan tata kalam (Arab: sabda, firman, logos, hikmat). Kedua tata itu sama-sama merupakan sarana wahyu Allah kepada manusia. Itulah sebabnya, dalam ayat 2 dikatakan: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Ayat ini segera mengingatkan kita akan mazmur 8 (walau dengan kosa kata yang berbeda, tetapi ide pokoknya sama). Ada satu hal yang mencolok dalam wahyu alam ini (ay.2-7), yaitu mereka semua diam, tidak berkoar-koar, tetapi paradoksal sekali, justeru “kediaman” (ay.4) atau kebisuan mereka itu adalah kebisuan yang bersifat proklamatoris, kebisuan yang mewartakan atau mengandung pewartaan (ay.5). Hal itu dimungkinkan karena, ada satu makhluk ciptaan Allah yang maha perkasa, yaitu sang surya. Surya inilah yang paling mempunyai daya proklamatoris akan Allah. Mungkin itu sebabnya jauh di kemudian hari Fransiskus dari Assisi menyusun sebuah puisi kosmis yang sangat terkenal, Canticum Solis, atau Kidung Saudara Matahari, alias Gita Sang Surya. Secara khusus dalam ay.3 kita bisa membaca tetnang personifikasi hari itu. Mungkin hal itu disebabkan karena hari adalah hari Tuhan, Dies Domini, sehingga di tempat lain mazmur dapat berseru dengan lantang: Haec Dies quam fecit Dominus (Mzm.118:24).
Menikmati dan Mengapresiasi Mazmur 18
Mazmur ini cukup panjang, terdiri atas 50 ayat. Judulnya ialah Nyanyian Syukur Daud. Lalu muncul sebuah pertanyaan spontan: Syukur atas apa? Atau syukur karena apa? Tentu saja karena pengalaman shalom. Memang konteks munculnya mazmur ini kiranya ialah pengalaman menang perang, pengalaman selamat atau luput dari musuh yang mengepung dan menggempur. Seluruh mazmur ini boleh dianggap sebagai sebuah pelukisan akan pengalaman akan Allah. Pengalaman itu terendapkan dan terpadatkan dalam gelar-gelar Allah (ay.2-3) yang semuanya menandakan bahwa Allah adalah sang penyelamat. Allah itulah yang dipuji si pemazmur (ay.4), karena Ia telah meluputkan dia dari ancaman eksistensial (ay.5-6). Semua pengalaman itu membawa kepastian dalam diri si pemazmur bahwa doanya pasti akan dijawab (ay.7).
Thursday, March 27, 2008
Arti Penting Apresiasi Mazmur
Krisis Apresiasi Mazmur: Pengalaman dan Pengamatan di Lapangan
Dalam rapat DPP St.Martinus, Margahayu, Bandung kira-kira pada awal tahun 2007 silam, Pastor Paroki mengeluhkan tentang rendah atau kurangnya apresiasi di kalangan umat akan mazmur-mazmur. Disinyalir bahwa Mazmur-mazmur itu terasing dari penghayatan hidup rohani umat. Umat juga sebaliknya, terasing dari khasanah spiritualitas doa-doa mazmur itu. Keluhan itu sebenarnya sangat sejalan dengan keprihatinan dan pengamatan saya sendiri. Padahal kita semua sudah tahu bahwa mazmur dalam perayaan Ekaristi dipakai sebagai pengantar bacaan (Mazmur antar bacaan) dan ayat pada bait pengantar Injil. Tetapi mungkin karena fungsinya yang "antar" bacaan itu "saja", yaitu mengantar bacaan yang diandaikan atau diduga jauh lebih penting (dan memang demikian), atau ia sekadar berada "di antara" bacaan-bacaan, yaitu bacaan pertama dan bacaan kedua dan injil. Ya siapa tahu memang ada efek seperti itu). Jadi, walau pun dipakai sebagai mazmur antar bacaan dan ayat dalam bait pengantar injil, tetapi rasanya apresiasi umat akan Mazmur itu sangat kurang (walau untuk menarik dan menegaskan kesimpulan seperti ini perlu suatu penelitian lapangan yang cukup mendalam dan teliti).
Mungkin ada orang yang secara spontan akan bertanya, mengapa dan untuk apa kita mengapresiasi mazmur? Di bawah ini saya memberikan beberapa argumen penting dan singkat untuk menjelaskan alasan apresiasi mazmur itu.
Kalau kini disinyalir ada "krisis" mazmur maka mungkin bisa diupayakan beberapa jalan keluar untuk mengatasi kritis tersebut. Di bawah ini kami mencoba memberikan beberapa usul jalan keluar itu.
Sunday, March 9, 2008
Dalam ayat 8 kita menemukan dua metafor antropomorfistik yang sangat indah: pertama, si pemazmur berharap agar Allah sudi memelihara dan melindungi kita seperti memelihara biji mata. Bukankah kita sangat memperhatikan kesehatan mata kita? Kalau mata kelilipan, maka dengan hati-hati kita mengeluarkannya agar tidak menggores biji mata. Kita menempatkan diri sebagai makhluk yang rapuh di hadapan Allah pemelihara. Itulah visi antropologi-teologis yang terkandung di balik metafor ini. Kedua, ada metafor induk ayam yang melindungi anaknya di bawah naungan sayapnya dari pemangsa dan hawa dingin di waktu malam. Sebuah pelukisan yang amat naturalistik akan Allah.
Sesudah melukiskan metafor yang indah dalam ayat 8, lalu pemazmur melukiskan hidup orang fasik dalam ayat 9-12. Dikatakan bahwa orang fasik itu memperlakukan si pemazmur dengan kasar (menggagahi, semacam rape, violence), dikepung (ay 9). Ayat 10 sangat menarik, sebab dalam bahasa Latin ungkapan belas kasihan ialah misericordia, yang kalau ditelusuri secara etimologis artinya miseri (sakit) dan cordia (hati), artinya bukan sakit hati, melainkan hati yang mampu ikut merasa sakitnya orang lain. Orang fasik itu tidak menunjukkan hati yang kasih, hati yang mampu ikut merasakan sakit orang lain, mampu berempati. Mulut, lidah, bibir mereka juga berbual. Jadi kejahatan orang fasik itu menyeluruh: menyangkut hati dan kata-kata bibir. Dalam ayat 11-12, kita melihat metafora pengeroyokan: Diintai terus menerus, dikerumini, dipelototi; dan kalau sudah tepat waktunya, lalu diterkam. Metafor ini semakin dipertajam lagi secara tragis dan sadis dalam ayat 12, di mana muncul singa sebagai binatang carnivora yang secara alami sangat terlatih untuk mengintai (mengendap) dan menerkam. Jadi, tampak bahwa riskan sekali hidup orang ini. Hidup di ujung tanduk. Dikepung marabahaya.
Oleh karena itu, ia hanya bisa berharap pada Allah. Ia meminta agar Allah sudi bangkit membela dan menolong dia (ay 13), agar ia luput dari orang jahat (ay 14a). Ia berharap agar Allah bertindak atas mereka. Menarik bahwa ia menyerahkan pengadilan atas orang fasik pada penyelenggaraan dan pengadilan Allah; ia tidak mau main hakim sendiri (seperti yang kita lihat dalam masyarakat di sekitar) (ay 14bc). Setelah semuanya itu, seakan-akan sebagai puncak atau mahkota refleksi teologisnya, ia pun masuk dalam visio beatifica, tatapan yang membahagiakan, sebuah pengalaman mistik. Ia temukan kebahagiaan dalam memandang rupa Allah (ay 15), yang menurut Kej.1:26-28, sudah menjadi rupanya sendiri, karena ia diciptakan menurut rupa Allah. Manunggaling kawula Gusti. Hanyut dalam keheningan mistik nan bening. Luar biasa. (EFBE@fransisbm).
Setelah secara singkat melukiskan hidup orang saleh, si pemazmur dalam ayat 4 mencoba mengajukan semacam kritik praxis berhala: ada kontras yang sangat menarik di sana. Yakni kalau hidup orang saleh ditandai sukacita, maka hidup orang salah ditandai dukacita, kesedihan. (Perhatikan permainan kata saleh dan salah itu, yang hanya beda satu huruf saja, sebab memang kalau hidup saleh tidak dijaga, ia mudah menjadi salah; tetapi sebaliknya dalam bantuan rahmat Allah hidup salah pun dapat juga diubah menjadi saleh). Itu sebabnya si orang saleh selalu berusaha mengambil jarak kritis dari praxis berhala orang salah (ay 4b). Ia berjarak dari dua tindakan fundamental praxis berhala itu, yaitu mempersembahkan korban darah dan menyebut nama, sebab menyebut nama di sini berarti mengagungkan nama dan menjadikan nama itu sumber dan landasan hidup (kira-kira seperti orang saleh yang menyerukan dan mewartakan Nama Tuhan).
Oleh karena dia mencoba mengambil jarak kritis dari praxis berhala orang salah maka ia pun mendapat nasib dan hidup yang baik; yaitu diperlakukan secara istimewa oleh Allah: Allah menjadi sumber daya dan sukacita hidupnya (dilambangkan dengan piala, anggur); Allah juga memilih bagian undian yang terbaik baginya, dan akhirnya juga dipilihkan tempat yang paling permai dalam pembagian tanah pertanian (ay 5-6).
Wednesday, March 5, 2008
mazmur 10 dan 11
Mengenal dan Mendalami Mazmur 10
Oleh: EFBE@fransisbm
Mazmur ini dalam alkitab kita tidak mempunyai judul. Itu karena sebenarnya ia masih melanjutkan tema dan pergulatan iman yang sama dalam Mazmur 9. Jadi, judulnya masih sama dengan Mazmur 9. Mazmur ini dimulai dengan tampilnya si orang benar (tetapi lemah) yang menggugat Allah yang seakan-akan berdiam sangat jauh dan tidak peduli. Pemazmur berbuat demikian karena ia berada dalam kesesakan dan putus-asa. Ia berani menggugat Allah karena perilaku orang fasik sudah keterlaluan. Mereka menindas dengan congkak, menjebak dengan tipudaya (ay 2). Mereka sangat tinggi hati, karena itu mereka tidak takut menista Tuhan (ay 3). Sedemikian angkuhnya orang fasik itu sehingga mereka pun berpikir bahwa Allah tidak ada. Itu adalah ateisme orang sombong (ay 4). Memang bagi orang sombong, Allah tersingkir oleh berhala kesombongan.
Dalam ay 5 pemazmur mencoba melukiskan paradoks nasib orang fasik: orang fasik itu jahat tetapi hidupnya baik dan serba enak. Fakta ini sering sekali terjadi dalam masyarakat, baik dulu maupun sekarang. Koruptor hidupnya enak, karena banyak duitnya. Segala sesuatu bisa dibeli, bahkan bila perlu sesama manusia juga bisa dibeli. Pecunia locuta causa finita, kalau uang sudah bicara maka selesailah perkara. Fakta ini tentu menjadi skandal besar bagi umat beriman. Umat beriman bisa terseret ke dalam kefasikan kalau mereka melihat hidup orang fasik yang serba enak dan baik paling tidak pada tataran permukaan, pada tataran yang tampak. Tetapi dosa orang fasik itu horizontal dan vertikal. Ia menganggap Allah tidak ada (ateisme). Kalau Allah tidak ada maka Ia pasti tidak bisa menghukum juga (ay 6). Itulah keyakinan hati orang fasik. Kalau Allah tidak ada, maka mereka tidak takut akan Allah. Karena itu mereka sewenang-wenang terhadap manusia. Maka ateisme adalah bencana bagi kemanusiaan; ateisme adalah misantropi. Hal ini muncul lagi dalam ayat 11: Allah tidak melihat, karena itu Allah tidak peduli. Di antara ayat 6 dan 11 ada daftar dosa dan kejahatan orang fasik yang dilakukan dengan seluruh tubuhnya dan di semua tempat: mulut, lidah, pantat (duduk), rumah, tempat persembunyian, mata. Perhatikanlah kata kerja yang dipakai: mengendap, mengintip, menangkap. Bukankah itu adalah gerak-gerak singa (ayat 9), atau harimau ketika menangkap mangsanya. Ya, memang orang fasik berperilaku seperti binatang. Ia menjadi seperti binatang. Ia membungkuk, meniarap, mencakar. Jadi, kalau orang tidak lagi takut akan Allah orang cenderung menjadi binatang, orang menjadi serigala bagi sesamanya, homo homini lupus. Tanpa Tuhan manusia menjadi hantu (burung serem).
Masih adakah harapan untuk orang benar? Ya. Masih ada harapan. Kekejaman orang fasik bukan kata akhir bagi orang benar. Sebab orang benar masih bisa berseru dan berharap kepada Allah. Allah diyakini sebagai hakim yang adil. Mazmur ini mengajak kita untuk menyerahkan seluruh perkara hidup kita termasuk yang dimunculkan oleh orang fasik, kepada Allah. Jangan sampai kita mau main hakim sendiri. Itu yang kadang-kadang terjadi, kita main hakim sendiri. Kita memang bisa saja terganggu oleh paradoks hidup orang fasik karena kita mau berlagak seperti Allah. Padahal Allah yang akan menyelidiki dan mengadili: Ia yang “mengambilnya ke dalam tanganMu sendiri” (ay 14). Yang perlu dari orang benar dan lemah ialah berserah diri kepada Allah (ay 14). Nanti Allah yang akan bertindak. Lagipula, Allah adalah Raja. Orang fasik tidak mungkin meraja-lela selama-lamanya. Dengan keyakinan ini orang benar dan lemah bisa merasa tenang dan tenteram dalam hidup ini.
Mengenal dan Memahami Mazmur 11
Oleh: EFBE@fransisbm
Mazmur ini masih membentangkan kepercayaan orang benar akan Tuhan. Karena itu, dalam alkitab mazmur ini diberi judul: TUHAN, tempat perlindungan. Maka dalam artian itu, mazmur ini masih melanjutkan tema yang sudah dibentangkan dalam mazmur 9-10 yang sudah kita bahas sebelumnya. Di sini si pemazmur memberikan pandangannya bahwa kalau orang benar-benar percaya akan Tuhan, maka tidak usah orang itu menjadi gelisah, cemas, atau grasah-grusuh, lari pontang-panting ke sana kemari, atau lari terbirit-birit ke sana ke mari dan ke mana-mana untuk mencari penolong-penolong yang lain, seperti perilaku burung-burung yang terbang berlari terpencar-pencar ke gunung-gunung karena diintai oleh busur dan panah para pemburu. Pemazmur mau menegaskan kepada kita bahwa biarpun ada ancaman, kita harus tetap harus tenang.
Kalau dibaca secara demikian tampak jelas bahwa ini adalah sebuah pementasan iman yang kokoh dan harapan yang kuat. Sebab walaupun ada ancaman (ay 2-3), tetapi ia harus tetap tenang. Sebab iman kepercayaan inilah yang menjadi bingkai mazmur ini. Perhatikan bahwa iman itu ditegaskan sekali lagi dalam ayat 7.
Tetapi dari manakah sumber ketenangan dan keyakinan yang kokoh itu? Itulah yang dibentangkan dalam ay 4-7 (bagian kedua dari mazmur ini). Dan di sana dikatakan dengan sangat jelas bahwa ia tenang karena Tuhan. Jadi, sumber ketenangan dan pengharapan itu tidak lain ialah Tuhan sendiri. Si Pemazmur itu percaya bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam. Tuhan tidak tidur, atau ngantuk, atau buta, melainkan “mataNya mengamat-amati.” Bahkan sorot mata itu menguji anak-anak manusia.
Orang ini sungguh percaya bahwa Tuhan tetap menjalankan tugasNya. Yaitu, menguji orang benar dan orang fasik. Di sini sikap Tuhan sangat jelas. Pengujian dan pengamatan itu ada hasilnya, yakni Tuhan membenci orang yang mencintai kekerasan. Dengan sengaja saya mencetak miring kedua kata kerja itu: membenci dan mencintai. Sebab menurut saya indah sekali pemakaian kata-kata kerja itu. Orang yang mencintai kekerasan, justru dan pasti dibenci oleh Allah. Sebuah paralelisme-verbal-silang yang indah dan menarik antara cinta dan benci. Paralelisme silang ini tentu saja mempunyai fungsi didaktis: dalam hidup ini orang tidak boleh mencintai kekerasan. Sebab orang yang mencintai kekerasan akan dibenci Allah. Saya kira tawaran pilihan sikap hidup etisnya sangat jelas: antara mencintai dan membenci kekerasan. Mencintai kekerasan akan dibenci Allah. Membenci kekerasan akan dicintai Allah.
Ayat 6 mengingatkan kita akan tragedi Sodom dan Gomorah. Kita tahu bahwa di sana telah terjadi hujan belerang dan arang yang membakar dan menghanguskan segala sesuatu. Tetapi di sini ada sesuatu yang khas yaitu belerang dan arang itu menghanguskan dari dalam, sebab api itu mengisi piala mereka (ay 6). Itu semua terjadi karena Tuhan itu adil (ay 7). Boleh dikatakan bahwa orang benar bisa hidup dan bersikap tenang karena ia percaya bahwa Tuhan itu adil. Oleh karena itu, Tuhan mencintai keadilan. Itulah sebabnya, nasib orang benar, orang kudus, akan jelas, yaitu bahagia, yaitu memandang wajahNya, alias visio beatifica. Itulah puncak pengalaman mistik. Seperti kata syair lagu Apoly Bala dalam Madah Bakti: “Bilahkah aku akan jumpa dan memandang wajahMu.” Itulah harapan orang benar.
mazmur 12 dan 13
Mengenal dan Mendalami Mazmur 12
Oleh: EFBE@fransisbm
Mazmur ini melukiskan doa orang saleh yang memohon pertolongan dari Tuhan, melawan orang-orang jahat. Rupanya pengaruh orang-orang jahat sangat kuat sehingga orang saleh terancam punah (ay.2). Selanjutnya dalam ay.3-5 si pemazmur mencoba melukiskan keadaan tragis akibat daya pengaruh negatif dari orang-orang jahat. Tragis sekali pelukisan yang ada di sini. Masyarakat manusia didominasi dusta; dusta itu disampaikan dengan bibir yang manis (lip servives) dan keluar dari hati yang bercabang (ay.3). Keadaan tragis ini dilanjurkan dalam ay.5, di mana orang jahat membangga-banggakan lidahnya, dan juga bibirnya.
Semua yang disebut di sini adalah alat ucap (artikulasi) dalam proses tutur (bicara) manusia. Kalau manusia berbicara, maka berbicara dengan memakai lidah, bibir, mulutnya. Sebab bahasa akhirnya tidak hanya bahasa verbal saja, melainkan juga bahasa tubuh (body language). Dan berbicara selalu berarti relasi, komunikasi. Jadi, komunikasi dan relasi antar manusia dalam masyarakat ditandai oleh tipudaya, dan manipulasi. Tampak sekali dalam mazmur ini bahwa orang amat membangga-banggakan lidahnya, dan lidah itu bahkan dijadikan sebagai tuan. Tidak ada lagi tuan di atas itu.
Rangkaian ayat 3-5 diselingi ayat 4 yang berisi doa si pemazmur yang berharap agar Tuhan segera bertindak dan tidak menangguh-nangguhkan lagi tindakan itu. Doa itu didasarkan pada suatu keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah tinggal diam. Itulah yang coba dilukiskan dalam ayat 6-9. Dalam ayat 6, Tuhan dilukiskan berbicara dalam diri orang pertama tunggal. Dan Tuhan bertindak untuk mengatasi keadaan tragis ini. Akhirnya Tuhan juga tergugah olhe doa dan keluh-kesah orang miskin.
Ayat 7-8 melanjutkan keyakinan dasar si pemazmur bahwa janji Tuhan itu tidak main-main. Sebab Ia sendiri yang mengatakannya. Ayat 9 terasa agak sulit untuk dipahami dalam konteksnya yang ada sekarang ini. Tetapi apa yang tertuang dalam ayat 9 itu dapat dilihat sebagai konsekwensi nasib buruk yang bakal dialami oleh orang-orang fasik. Kira-kira maksudnya ialah mau mengatakan bahwa memang angkatan yang jahat dan rusak ini tetap dan masih ada (ay.9), tetapi si pemazmur sangat yakin bahwa “....Engkau akan menjaga kami senantiasa terhadap angkatan ini.” (ay.8b).
Mengenal dan Memahami Mazmur 13
Oleh: EFBE@fransisbm
Mazmur ini melukiskan doa pribadi, yang mengungkapkan satu iman dan kepercayaan yang sangat kuat akan Allah. Mazmur ini mengingatkan kita akan fakta bahwa doa tidak lain adalah perkara berelasi, dan berkomunikasi, atau berdialog, berbicara dengan Allah. Tetapi relasi itu tidak selalu serba mudah. Relasi itu sering sekali juga amat sulit. Terkadang ada perasaan bahwa seakan-akan Tuhan sudah tidak ingat lagi akan kita. Terkadang ada juga perasaan seolah-olah Tuhan sudah tidak sudi lagi memandang kita (ayat 2). Tidak jarang dalam doa, kita merasa seakan-akan Tuhan tidak peduli, tidak menaruh per-hati-an, tidak mau mendengarkan. Akibatnya, saya pun (baca: si pendoa) lalu berkutat dengan diri sendiri, dengan segala perpusingan dan perjuangan hidupnya. Semuanya lalu bermuara pada kesedihan, ditambah lagi dengan cercaan yang dilontarkan oleh para musuh (ayat 3).
Kedua ayat ini melukiskan betapa doa itu tidak selalu mudah. Doa itu adalah perjuangan. Untuk dapat berdoa dengan baik perlu perjuangan, perlu ketahanan rohani. Dan untuk dapat sampai ke sana kita perlu latihan yang banyak, latihan terus menerus. Jadi, mazmur ini mengajari kita satu spiritualitas doa: bahwa doa tidak hanya sebuah pengalaman sukacita dan penghiburan semata-mata. Doa juga bisa berarti tetes air mata, kesedihan, dan bahkan kesepian, seakan-akan berhadapan dengan tembok dingin yang diam dan bisu.
Tetapi dalam ayat 4-6 kita dapat merasakan adanya satu loncakan besar dalam keyakinan si pendoa ini. Mana loncatan itu? Ia tetap berharap dan memohon agar Tuhan sudi memandang dia dan menjawab dia (ayat 4). Ia berharap akan intervensi Allah juga secara fisik dalam matanya. Tetapi itu semua tidak demi keangkuhan dan kepentingan pribadi semata-mata, melainkan agar para musuhnya bisa menjadi jera; kalau perlu agar para musuhnya itu bisa bertobat (ayat 5).
Akhirnya, walaupun doa itu tidak selalu mudah, tetapi si pemazmur ini tetap percaya akan Allah dan karya penyelamatanNya. Fakta bahwa ia masih hidup dan masih terus menerus bisa berdoa, walaupun sulit, hal itu sudah cukup menjadi alasan yang cukup memadai bagi si pemazmur ini untuk memuji-muji Allah. Sebab semua yang terjadi dan dialaminya selama ini adalah bukti kasih dan kebaikan Allah kepadanya, dalam dan atas hidupnya (ayat 6). (EFBE@fransisbm).
mazmur 14 dan 15
Mendalami dan Mengapresiasi Mazmur 14
Paling tidak ada dua implikasi yang bisa ditunjukkan si pemazmur dalam mazmur ini. Pertama, ateisme itu mendatangkan bencana moral-sosial. Mengapa demikian? Itu tidak lain karena orang tidak lagi mengakui Allah. Kalau orang tidak lagi mengakui Allah, maka orang tidak takut lagi akan Allah. Kalau orang tidak takut lagi akan Allah maka mereka pun mulai melakukan perbuatan-perbuatan jijik dan busuk dan tidak baik (tidak dirinci lebih lanjut; ay.1). Mereka cenderung kepada kebejatan dan perilaku selingkuh (ay.3). Jadi, ayat 1-3 adalah pelukisan gamblang tentang ateisme yang menggerogoti dan mengganggu umat yang percaya akan Allah.
Kedua, tidak hanya itu saja, ateisme juga pada gilirannya mendatangkan bencana besar kemanusiaan, bencana humanisme. Mengapa? Itu tidak lain karena para pelaku kejahatan plus perbuatan jahat mereka, mengancam sesama manusia (ay.4). Bencana humanisme ini mulai dilukiskan dalam ayat 4. Ayat 4 ini, dengan gaya retoris, menandai perubahan isi mazmur, yang kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam ayat 5-6. Dalam bagian ini secara sangat singkat dilukiskan bagaimana ateisme itu melanda umat manusia. Umat Allah juga ikut terancam, mungkin bahkan justeru merekalah yang paling merasa terancam oleh gelombang ateisme itu. Mereka termakan habis seperti roti (ay.4).
Tetapi, Tuhan tidak berdiam diri. Tuhan tetap melihat dan mengamati semuanya, Tuhan tetap melihat semua perilaku dan perbuatan manusia. Yang lebih penting lagi, si pemazmur yakin bahwa Tuhan tetap menyertai angkatan yang kudus (ay 5). Memang tidak dapat disangkal bahwa kehadiran ateisme dan orang-orang ateis di sekitar kita dapat menjadi satire atau olok-olokan bagi kaum beriman (ay 6). Lebih dari itu, kehadiran ateisme juga bisa bermuara pada penindasan dan penghambatan terhadap orang-orang beragama (seperti yang pernah dan mungkin juga masih terjadi di Uni Soviet dulu, atau di China, atau Cuba. Tetapi jangan keliru: penindasan terhadap umat beragama bisa juga muncul dari sesama kaum beragama itu sendiri, tidak mutlak muncul dari orang yang tidak beragama; agama arus aliran utama menghantam kelompok sekte sempalan yang dianggap sesat atau bidaah; ini yang paling sulit; tetapi mazmur 14 ini belum sampai ke refleksi seperti itu).
Tetapi, biar sajalah, sebab, Tuhan adalah perlindungan kita. Begitulah sikap dan keyakinan si pemazmur yang seakan-akan memperlihatkan sikap pasrah dan percaya dan menyerahkan semuanya kepada Allah sendiri; tidak mau main hakim sendiri. Dengan bekal keyakinan seperti itu, si pemazmur tetap berani memohon Allah agar sudi bertindak memberi shalom kepada umatNya, tepat pada waktunya. Kalau Tuhan sudah bertindak, kalau tangan kanan Tuhan sudah memperlihatkan kekuatan, pada saat itulah mereka akan bersukacita dan bersorak-sorai. Dan racun ateisme pun mudah-mudahan berlalu.
Mendalami dan Mengapresiasi Mazmur 15
Tetapi gejolak kerinduan itu tidak otomatis membenarkan dan memudahkan segala-galanya. Seorang pemuda yang rindu pada kekasihnya, harus berjuang agar diterima gadis kekasihnya itu. Sebab ada syarat atau tuntutan bagi si pemuda agar bisa bertandang ke kandang kekasihnya. Begitu juga bagi orang yang rindu tinggal di rumah Allah, ada syarat dan tuntutan juga. Dari ayat 2-5 kita baca syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang rindu tinggal di rumah Tuhan, di gunungNya yang suci.
Betapa sangat mengejutkan kita bahwa syarat itu adalah syarat etis-humanis-horizontal. Jadi, relasi vertikal-teologis hanya dimungkinkan oleh dan dalam relasi etis-horizontal yang baik. Atau, mutu relasi etis-humanis-horizontal kita menentukan laik-tidaknya seseorang masuk ke dalam relasi etis-teologis-vertikal dengan Allah.
Mana saja syarat-syarat itu? Syaratnya sebenarnya hanya satu, yaitu orang yang kelakuannya benar, tidak bercela. Ini syarat fundamental. Tetapi syarat ini dijabarkan lebih lanjut sbb: Orang itu harus mampu menegakkan keadilan (promotio iustitiae). Ia juga harus mampu dan berani berkata jujur, tidak berbohong. Sebab berbohong itu kecenderungan semua manusia, sejak Adam dan Hawa, omnis homo mendax, semua manusia penipu. Selain itu, tutur katanya juga harus baik, tidak menebar gosip, atau kasak-kusuk ke sana kemari. Ingat dosa karena lidah itu mematikan. Sebab lidah laksana pedang bermata dua, menghantam kedua arah sekaligus. Ia juga tidak menjadi musuh dalam selimut, atau pengkhianat di meja perjamuan. Tidak mendatangkan aib bagi orang di sekitarnya.
Syarat dalam ayat 4 rada sulit. Pemazmur ini memandang diri sebagai orang yang takut akan Yahweh. Sedangkan kaum buangan (tersingkir), menjadi demikian karena lupa akan Allah. Kalau lupa, maka mereka tidak memuliakan Allah. Kalau ingat, pasti mereka memuliakan Allah. Nah, pemazmur ini memuliakan orang yang takut akan Tuhan. Orang ini juga harus konsisten dengan sumpah walaupun ada konsekwensi rugi. Orang ini juga bukan lintah darat, membungakan uang secara tidak wajar. Salah satu kejahatan terbesar manusia ialah viktimisasi orang yang tidak bersalah dan lemah. Tendensi perilaku seperti ini biasanya disertai suap. Dalam konteks seperti ini, uang menjadi panglima. Tetapi orang seperti ini tidak mau bersikap seperti itu. Nah, kalau dia sudah seratus persen seperti itu maka ia akan kokoh di dalam Allah karena tinggal di rumah Allah dan gunung suci Allah.
Saya masih ingat ketika kecil dulu, ayah memberi saya “mantera” ketika saya pergi jauh dari kampung dan masuk seminari yang jauh dari rumah orang tua. Ayah saya memberi mantra sbb: Musuh di depanku, musuh di belakangku, musuh di kiriku, musuh di kananku, tetapi kalau Allah besertaku siapa dapat melawan aku? Ayah berpesan: Saya harus mengucapkan ini dengan memberi tekanan yang mengandung nada keyakinan yang kuat di bagian akhir. Belakangan di seminari saya baru sadar bahwa mantra itu adalah doa mazmur. Bapaku bermazmur ria, mazmur mantra hidupnya. (EFBE@fransisbm).
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...