Wednesday, March 5, 2008

mazmur 10 dan 11

Mengenal dan Mendalami Mazmur 10

Oleh: EFBE@fransisbm

Mazmur ini dalam alkitab kita tidak mempunyai judul. Itu karena sebenarnya ia masih melanjutkan tema dan pergulatan iman yang sama dalam Mazmur 9. Jadi, judulnya masih sama dengan Mazmur 9. Mazmur ini dimulai dengan tampilnya si orang benar (tetapi lemah) yang menggugat Allah yang seakan-akan berdiam sangat jauh dan tidak peduli. Pemazmur berbuat demikian karena ia berada dalam kesesakan dan putus-asa. Ia berani menggugat Allah karena perilaku orang fasik sudah keterlaluan. Mereka menindas dengan congkak, menjebak dengan tipudaya (ay 2). Mereka sangat tinggi hati, karena itu mereka tidak takut menista Tuhan (ay 3). Sedemikian angkuhnya orang fasik itu sehingga mereka pun berpikir bahwa Allah tidak ada. Itu adalah ateisme orang sombong (ay 4). Memang bagi orang sombong, Allah tersingkir oleh berhala kesombongan.

Dalam ay 5 pemazmur mencoba melukiskan paradoks nasib orang fasik: orang fasik itu jahat tetapi hidupnya baik dan serba enak. Fakta ini sering sekali terjadi dalam masyarakat, baik dulu maupun sekarang. Koruptor hidupnya enak, karena banyak duitnya. Segala sesuatu bisa dibeli, bahkan bila perlu sesama manusia juga bisa dibeli. Pecunia locuta causa finita, kalau uang sudah bicara maka selesailah perkara. Fakta ini tentu menjadi skandal besar bagi umat beriman. Umat beriman bisa terseret ke dalam kefasikan kalau mereka melihat hidup orang fasik yang serba enak dan baik paling tidak pada tataran permukaan, pada tataran yang tampak. Tetapi dosa orang fasik itu horizontal dan vertikal. Ia menganggap Allah tidak ada (ateisme). Kalau Allah tidak ada maka Ia pasti tidak bisa menghukum juga (ay 6). Itulah keyakinan hati orang fasik. Kalau Allah tidak ada, maka mereka tidak takut akan Allah. Karena itu mereka sewenang-wenang terhadap manusia. Maka ateisme adalah bencana bagi kemanusiaan; ateisme adalah misantropi. Hal ini muncul lagi dalam ayat 11: Allah tidak melihat, karena itu Allah tidak peduli. Di antara ayat 6 dan 11 ada daftar dosa dan kejahatan orang fasik yang dilakukan dengan seluruh tubuhnya dan di semua tempat: mulut, lidah, pantat (duduk), rumah, tempat persembunyian, mata. Perhatikanlah kata kerja yang dipakai: mengendap, mengintip, menangkap. Bukankah itu adalah gerak-gerak singa (ayat 9), atau harimau ketika menangkap mangsanya. Ya, memang orang fasik berperilaku seperti binatang. Ia menjadi seperti binatang. Ia membungkuk, meniarap, mencakar. Jadi, kalau orang tidak lagi takut akan Allah orang cenderung menjadi binatang, orang menjadi serigala bagi sesamanya, homo homini lupus. Tanpa Tuhan manusia menjadi hantu (burung serem).

Masih adakah harapan untuk orang benar? Ya. Masih ada harapan. Kekejaman orang fasik bukan kata akhir bagi orang benar. Sebab orang benar masih bisa berseru dan berharap kepada Allah. Allah diyakini sebagai hakim yang adil. Mazmur ini mengajak kita untuk menyerahkan seluruh perkara hidup kita termasuk yang dimunculkan oleh orang fasik, kepada Allah. Jangan sampai kita mau main hakim sendiri. Itu yang kadang-kadang terjadi, kita main hakim sendiri. Kita memang bisa saja terganggu oleh paradoks hidup orang fasik karena kita mau berlagak seperti Allah. Padahal Allah yang akan menyelidiki dan mengadili: Ia yang “mengambilnya ke dalam tanganMu sendiri” (ay 14). Yang perlu dari orang benar dan lemah ialah berserah diri kepada Allah (ay 14). Nanti Allah yang akan bertindak. Lagipula, Allah adalah Raja. Orang fasik tidak mungkin meraja-lela selama-lamanya. Dengan keyakinan ini orang benar dan lemah bisa merasa tenang dan tenteram dalam hidup ini.

Mengenal dan Memahami Mazmur 11

Oleh: EFBE@fransisbm

Mazmur ini masih membentangkan kepercayaan orang benar akan Tuhan. Karena itu, dalam alkitab mazmur ini diberi judul: TUHAN, tempat perlindungan. Maka dalam artian itu, mazmur ini masih melanjutkan tema yang sudah dibentangkan dalam mazmur 9-10 yang sudah kita bahas sebelumnya. Di sini si pemazmur memberikan pandangannya bahwa kalau orang benar-benar percaya akan Tuhan, maka tidak usah orang itu menjadi gelisah, cemas, atau grasah-grusuh, lari pontang-panting ke sana kemari, atau lari terbirit-birit ke sana ke mari dan ke mana-mana untuk mencari penolong-penolong yang lain, seperti perilaku burung-burung yang terbang berlari terpencar-pencar ke gunung-gunung karena diintai oleh busur dan panah para pemburu. Pemazmur mau menegaskan kepada kita bahwa biarpun ada ancaman, kita harus tetap harus tenang.

Kalau dibaca secara demikian tampak jelas bahwa ini adalah sebuah pementasan iman yang kokoh dan harapan yang kuat. Sebab walaupun ada ancaman (ay 2-3), tetapi ia harus tetap tenang. Sebab iman kepercayaan inilah yang menjadi bingkai mazmur ini. Perhatikan bahwa iman itu ditegaskan sekali lagi dalam ayat 7.

Tetapi dari manakah sumber ketenangan dan keyakinan yang kokoh itu? Itulah yang dibentangkan dalam ay 4-7 (bagian kedua dari mazmur ini). Dan di sana dikatakan dengan sangat jelas bahwa ia tenang karena Tuhan. Jadi, sumber ketenangan dan pengharapan itu tidak lain ialah Tuhan sendiri. Si Pemazmur itu percaya bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam. Tuhan tidak tidur, atau ngantuk, atau buta, melainkan “mataNya mengamat-amati.” Bahkan sorot mata itu menguji anak-anak manusia.

Orang ini sungguh percaya bahwa Tuhan tetap menjalankan tugasNya. Yaitu, menguji orang benar dan orang fasik. Di sini sikap Tuhan sangat jelas. Pengujian dan pengamatan itu ada hasilnya, yakni Tuhan membenci orang yang mencintai kekerasan. Dengan sengaja saya mencetak miring kedua kata kerja itu: membenci dan mencintai. Sebab menurut saya indah sekali pemakaian kata-kata kerja itu. Orang yang mencintai kekerasan, justru dan pasti dibenci oleh Allah. Sebuah paralelisme-verbal-silang yang indah dan menarik antara cinta dan benci. Paralelisme silang ini tentu saja mempunyai fungsi didaktis: dalam hidup ini orang tidak boleh mencintai kekerasan. Sebab orang yang mencintai kekerasan akan dibenci Allah. Saya kira tawaran pilihan sikap hidup etisnya sangat jelas: antara mencintai dan membenci kekerasan. Mencintai kekerasan akan dibenci Allah. Membenci kekerasan akan dicintai Allah.

Ayat 6 mengingatkan kita akan tragedi Sodom dan Gomorah. Kita tahu bahwa di sana telah terjadi hujan belerang dan arang yang membakar dan menghanguskan segala sesuatu. Tetapi di sini ada sesuatu yang khas yaitu belerang dan arang itu menghanguskan dari dalam, sebab api itu mengisi piala mereka (ay 6). Itu semua terjadi karena Tuhan itu adil (ay 7). Boleh dikatakan bahwa orang benar bisa hidup dan bersikap tenang karena ia percaya bahwa Tuhan itu adil. Oleh karena itu, Tuhan mencintai keadilan. Itulah sebabnya, nasib orang benar, orang kudus, akan jelas, yaitu bahagia, yaitu memandang wajahNya, alias visio beatifica. Itulah puncak pengalaman mistik. Seperti kata syair lagu Apoly Bala dalam Madah Bakti: “Bilahkah aku akan jumpa dan memandang wajahMu.” Itulah harapan orang benar.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...