Sari Firman Minggu Maret 2008 II
Kamis Putih 20 Maret 2008: Bac: Kel.12:1-8,11-14; 1Kor.11:23-26; Yoh.13:1-15. Hari ini hari Kamis Putih, saat kita mengenangkan perjamuan akhir Tuhan Yesus bersama para murid-Nya. Injil mementaskan sebuah adegan yang sangat unik dalam injil Yohanes: Yesus membasuh kaki para murid. Unik, karena tidak ada paralelnya dalam sinoptik. Itu sebabnya dalam ekaristi hari ini, kita mengenangkan peristiwa itu. Tetapi pengenangan itu adalah suatu pelajaran moral bagi kita. Artinya, dramatisasi itu harus menjadi teladan etis bagi kita, seperti disiratkan Tuhan Yesus sendiri: Kalau Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, maka kamu juga harus saling membasuh kaki. Untuk memahami maknanya, mari kita simak simbolisme gerakan upacara pembasuhan kaki itu. Untuk dapat membasuh kaki, berarti si pembasuh harus tunduk-membungkuk di kaki orang yang dibasuhnya. Lalu dengan tangan membasuh kaki orang itu. Itu simbol gerakan kerendahan hati, humilitas, tunduk ke arah humus, tanah. Tangan harus menyentuh kaki sesama. Ini tidak mudah. Apalagi kalau kaki itu kotor, korengan, atau kaki dari orang yang kita pandang rendah atau hina. Sekali lagi, itu tidak mudah. Apalagi kalau kita ingat mendiang Yohanes Paulus II yang mempunyai kebiasaan mencium kaki orang yang dibasuhnya. Luar biasa. Jadi itu adalah pementasan kerendahan hati, kerelasediaan untuk tunduk dan merendah di hadapan sesama. Kita tidak mempunyai pilihan lain, selain berbuat seperti itu juga, kalau kita mau menjadi murid Yesus.
Jum’at Agung 21 Maret 2008: Bac: Yes.52:13-53:12; Ibr.4:14-16; 5:7-9; Yoh.18:1-19:42. Injil hari ini panjang karena kita ambil kisah sengsara (Passio) Tuhan. Passio Jum’at Agung diambil dari Yohanes. Sedangkan Passio Minggu Palma diambil dari tahun terkait. Misalnya, tahun ini tahun A, maka diambil dari Mateus. Mengapa tradisi liturgi mengambil Passio Jum’at Agung dari Yohanes dan bukan dari sinoptik? Saya mau mengulas visi teologis ini. Itu karena passio versi Yohanes punya nuansa perbedaan teologis dibandingkan dengan passio versi sinoptik. Mana nuansa itu? Seluruh passio versi Yohanes memperlihatkan sebuah drama-kontras yang menarik. Yesus menderita sebagai raja. Tema raja sangat ditonjolkan dalam Yohanes. Di sini kita melihat bahwa kendati sengsara Yesus tetap amat tenang. Ia menguasai keadaan. Seakan Yesus sudah melampaui kemanusiaannya, suatu yang masih tampak dalam sinoptik (Yesus merasa takut, berkeringat darah, berdoa memohon agar piala itu berlalu, dst). Di sini tidak ada. Yesus sengsara tetapi seluruh drama sengsara itu sudah diwarnai terlebih dahulu oleh cahaya kemuliaan kebangkitan. Itu sebabnya tradisi liturgis mengambil passio versi Yohanes untuk Jum’at Agung karena sekarang kita sudah mendekati misteri Malam Paskah, misteri kebangkitan, yang kita rayakan dengan meriah. Maka setelah passio, anda harus datang mengikuti upacara lilin Paskah. Maka passio versi Yohanes pada Jum’at Agung jangan diganti dengan passio versi sinoptik, biarpun lagunya indah dan meriah.
Sabtu Suci 22 Maret 2008: Bac. Kej.1:1-2:2; Kej.22:1-18; Kel.14:15-15:1; Rm.6:3-11; Mat.28:1-10. Sebenarnya bacaan kita untuk malam ini amat panjang: total 9 bacaan. Tetapi saya ambil beberapa agar ringkas. Malam ini ada beberapa hal penting. Pertama, jumlah bacaan yang sangat banyak, tiga kali lebih banyak dari biasa. Itu karena malam ini kita mementaskan seluruh sejarah penyelamatan, mulai dari penciptaan sampai penebusan-penyelamatan dalam misteri kebangkitan. Kedua, upacara lilin paskah yang indah dan agung itu. Ada kegelapan malam. Hening. Hanya ada satu lilin bernyala melewati kegelapan malam. Ada suara imam mewartakan cahaya Kristus, Lumen Christi (semoga dengan lantang, karena ini proklamasi). Kemudian lilin Paskah ditahtakan dan lilin kita dinyalakan. Ada keindahan tersendiri kalau gereja hanya diterangi cahaya lilin. Mengesankan. Lalu ada eksultet yang juga harus dinyanyikan lantang dan kencang, karena ini proklamasi. Lalu ada bacaan-bacaan yang dipuncaki injil. Mungkin setelah mendengar injil ini, kita merasa biasa-biasa saja. Tetapi adegan dalam injil hari ini adalah peristiwa yang amat penting karena ia menjadi dasar seluruh iman Kristiani, yang menjadi darah daging kita, identitas kita, nafas hidup kita. Maka sepatutnya kita membacanya dengan penuh perhatian. Mari kita perhatikan detailnya. Pertama, ternyata saksi kebangkitan paling awal ialah perempuan. Kedua, penegasan malaekat, bahwa Yesus sudah bangkit dari antara orang mati. Buktinya? Ia tidak ada di sini, tidak ada dalam kubur. Makam kosong. Ketiga, permintaan Yesus, agar jangan takut berhadapan dengan peristiwa itu. Melainkan harus diwartakan. Sekali lagi, perempuan yang disuruh Yesus untuk menjadi pewarta kebangkitan kepada murid. Dewasa ini, mungkin kita takut mewartakan kebangkitan. Entah apa pun alasannya. Nah, untuk orang seperti itulah berlaku sabda Yesus: Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu.
Minggu Paskah 22 Maret 2008: Kis.10:34a,37-43; Kol.3:1-4; Yoh.20:1-9. Saya mau memakai kesempatan ini untuk menegaskan tradisi liturgis kita. Kebanyakan kita merasa kalau sudah ikut perayaan malam paskah yang meriah, tidak usah lagi ikut misa Minggu pagi. Itu salah besar. Kita harus tetap ikut perayaan Minggu pagi, sebab itu adalah perayaan hari Minggu. Lagipula bacaannya sudah lain. Bacaan itu tidak sekadar bacaan melainkan firman Tuhan yang dibacakan. Maka mendengarkan Firman dibacakan itu sama dengan bertemu dengan Tuhan. Injil yang kita dengar pagi ini masih mewartakan tentang kebangkitan Yesus. Tetapi kali ini kita dengar kesaksian Yohanes. Selain tokoh wanita yang menjadi saksi kebangkitan. Lalu ada tokoh yang mengkonfirmasi, Petrus dan murid yang lain. Cara Yohanes melukiskan kedua tokoh ini sangat menarik. Keduanya sama-sama berlari ke makam. Tetapi Petrus ketinggalan; mungkin karena Petrus sudah tua, sedangkan murid yang lain masih muda. Jadi, marathon-nya kencang. Ketika sampai di pintu makam kosong, si murid yang lain yang tiba duluan hanya melongok ke dalam makam; ia tidak masuk. Rupanya ia menunggu si senior, Petrus. Ketika Petrus tiba, ia langsung masuk makam dan menyaksikan semuanya; Yesus sudah tidak ada di sana lagi, tidak terbungkus lagi sebab kain kepala dan kain badan sudah terpisah. Petrus hanya sampai "menyaksikan" hal itu. Ketika si murid yang lain masuk, dikatakan bahwa "ia melihat dan percaya." Ya, ia melihat dan percaya. Dan kita? Ya, kita mendengar dan percaya. Sebab kata Paulus, iman tumbuh dari pendengaran, fides ex auditu.
Minggu 30 Maret 2008: Bac: Kis.2:42-47; 1Ptr.1:3-9; Yoh.20:19-31. Injil hari ini mengisahkan dua peristiwa penampakan Yesus kepada murid. Dalam peristiwa pertama, Yesus datang kepada para murid membawa warta Damai Sejahtera. Dua kali Yesus mewartakan hal itu. Setelah mewartakan Damai Sejahtera, Yesus menugaskan mereka, untuk mewartakan hal itu. Ini tidak mudah. Sebab setelah semua yang terjadi, Yesus mampu mengucapkan Damai Sejahtera dan menyuruh para murid mewartakannya. Ini teks yang kaya inspirasi bagi orang yang terlibat dalam gerakan rekonsiliasi. Ternyata pendamaian itu hanya bisa datang dari korban (victim), bukan dari victimizer, yang selalu merasa benar. Tetapi, justru kerelasediaan si korban untuk berdamai, untuk mengampuni, bisa mendatangkan rahmat pertobatan bagi victimizer. Dalam penampakan pertama ini, Thomas tidak hadir. Itu sebabnya ia tidak percaya: sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam lukaNya aku tidak akan percaya. Thomas skeptis; maka dalam sejarah ia dijuluki Thomas si Ragu-ragu. Ia minta bukti bagi apa yang dipercayainya. Ketika Yesus datang, lagi-lagi Ia mewartakan Damai Sejahtera. Sekarang secara khusus ia menantang iman Thomas. Yang menarik ialah, Thomas langsung meloncat kepada iman, tanpa harus mencucukkan jari ke luka-luka Yesus. Maka Thomas, adalah Thomas si Pewarta Iman, karena dari dialah keluar pengakuan iman Kristen: Ya Tuhanku dan Allahku. Kita? Masih beranikah kita menuntut bukti? Dengar baik-baik. Yesus mengatakan "Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya." Itu beda dengan Thomas: ia melihat dulu baru percaya. Tetapi yang dianggap berbahagia ialah orang yang percaya walau tidak melihat. Siapa mereka? Ya, kita-kita ini, yang percaya, walau tidak melihat. Tetapi kita percaya maka kita melihat. Aku percaya agar aku melihat, credo ut videam. Aku percaya agar aku mengerti. Credo ut intelligam. Itulah paradoks iman kita. Kita harus berani menghayati paradoks itu.
Senin 31 Maret 2008: Bac: Yes.7:10-14; Ibr.10:4-10; Luk.1:26-38. Hari ini kita rayakan Hari Raya Kabar Sukacita (Annunciatio). Seharusnya 25 Maret. Tetapi karena tahun ini tanggal itu jatuh dalam Oktaf Paskah, maka liturgi merayakannya seminggu sesudahnya. Apa isi kabar itu? Menurut injil, isi kabar itu ialah Maria mengandung dari Roh Kudus. Kiranya hal ini akrab di telinga kita, karena kita mengucapkannya sebelum Ekaristi (di luar masa Paskah), dalam doa malaekat Tuhan (Angelus Domini). Kabar itulah yang mendatangkan sukacita. Beberapa tahun silam (2004) dalam Bergema dan Hidup saya menulis tentang Dies Conceptionis. Hari ini kita rayakan Dies Conceptionis. Kita tidak hanya merayakan Dies Natalis tetapi juga Dies Conceptionis, yang juga mendatangkan sukacita. Mengapa? Karena di sana mulai hidup baru yang harus dirayakan, dilindungi, dihormati sejak conceptio. Bukan baru dirayakan setelah lahir. Itulah pesan teologis-humanis perayaan ini. Kita harus hormati hidup sejak pembuahan. Itulah moral hidup Katolik. Mungkin kuno, kolot, tetapi itulah moral Katolik, moral pro-life, pro hidup. Bukan pro-choice. Tetapi mungkin ada yang mendengar kabar seperti ini sebagai kabar dukacita, kabar sedih, karena hamil di luar nikah, di luar rencana kehamilan. Tetapi percayalah, Tuhan penyelenggara hidup. Kalau kita menerima hidup itu, menghormati dan melindunginya, maka Tuhan menghormati kita dan memberi jalan keluar bagi kita, biar pun hal itu sekarang pahit. Kalau tidak percaya, bacalah Joseph Giaime SDB, Surat-surat Dari dan Kepada si Kuncup, Biro Nasional KKI, Jkt, 1982. (EFBE@fransisbm).
Kamis Putih 20 Maret 2008: Bac: Kel.12:1-8,11-14; 1Kor.11:23-26; Yoh.13:1-15. Hari ini hari Kamis Putih, saat kita mengenangkan perjamuan akhir Tuhan Yesus bersama para murid-Nya. Injil mementaskan sebuah adegan yang sangat unik dalam injil Yohanes: Yesus membasuh kaki para murid. Unik, karena tidak ada paralelnya dalam sinoptik. Itu sebabnya dalam ekaristi hari ini, kita mengenangkan peristiwa itu. Tetapi pengenangan itu adalah suatu pelajaran moral bagi kita. Artinya, dramatisasi itu harus menjadi teladan etis bagi kita, seperti disiratkan Tuhan Yesus sendiri: Kalau Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, maka kamu juga harus saling membasuh kaki. Untuk memahami maknanya, mari kita simak simbolisme gerakan upacara pembasuhan kaki itu. Untuk dapat membasuh kaki, berarti si pembasuh harus tunduk-membungkuk di kaki orang yang dibasuhnya. Lalu dengan tangan membasuh kaki orang itu. Itu simbol gerakan kerendahan hati, humilitas, tunduk ke arah humus, tanah. Tangan harus menyentuh kaki sesama. Ini tidak mudah. Apalagi kalau kaki itu kotor, korengan, atau kaki dari orang yang kita pandang rendah atau hina. Sekali lagi, itu tidak mudah. Apalagi kalau kita ingat mendiang Yohanes Paulus II yang mempunyai kebiasaan mencium kaki orang yang dibasuhnya. Luar biasa. Jadi itu adalah pementasan kerendahan hati, kerelasediaan untuk tunduk dan merendah di hadapan sesama. Kita tidak mempunyai pilihan lain, selain berbuat seperti itu juga, kalau kita mau menjadi murid Yesus.
Jum’at Agung 21 Maret 2008: Bac: Yes.52:13-53:12; Ibr.4:14-16; 5:7-9; Yoh.18:1-19:42. Injil hari ini panjang karena kita ambil kisah sengsara (Passio) Tuhan. Passio Jum’at Agung diambil dari Yohanes. Sedangkan Passio Minggu Palma diambil dari tahun terkait. Misalnya, tahun ini tahun A, maka diambil dari Mateus. Mengapa tradisi liturgi mengambil Passio Jum’at Agung dari Yohanes dan bukan dari sinoptik? Saya mau mengulas visi teologis ini. Itu karena passio versi Yohanes punya nuansa perbedaan teologis dibandingkan dengan passio versi sinoptik. Mana nuansa itu? Seluruh passio versi Yohanes memperlihatkan sebuah drama-kontras yang menarik. Yesus menderita sebagai raja. Tema raja sangat ditonjolkan dalam Yohanes. Di sini kita melihat bahwa kendati sengsara Yesus tetap amat tenang. Ia menguasai keadaan. Seakan Yesus sudah melampaui kemanusiaannya, suatu yang masih tampak dalam sinoptik (Yesus merasa takut, berkeringat darah, berdoa memohon agar piala itu berlalu, dst). Di sini tidak ada. Yesus sengsara tetapi seluruh drama sengsara itu sudah diwarnai terlebih dahulu oleh cahaya kemuliaan kebangkitan. Itu sebabnya tradisi liturgis mengambil passio versi Yohanes untuk Jum’at Agung karena sekarang kita sudah mendekati misteri Malam Paskah, misteri kebangkitan, yang kita rayakan dengan meriah. Maka setelah passio, anda harus datang mengikuti upacara lilin Paskah. Maka passio versi Yohanes pada Jum’at Agung jangan diganti dengan passio versi sinoptik, biarpun lagunya indah dan meriah.
Sabtu Suci 22 Maret 2008: Bac. Kej.1:1-2:2; Kej.22:1-18; Kel.14:15-15:1; Rm.6:3-11; Mat.28:1-10. Sebenarnya bacaan kita untuk malam ini amat panjang: total 9 bacaan. Tetapi saya ambil beberapa agar ringkas. Malam ini ada beberapa hal penting. Pertama, jumlah bacaan yang sangat banyak, tiga kali lebih banyak dari biasa. Itu karena malam ini kita mementaskan seluruh sejarah penyelamatan, mulai dari penciptaan sampai penebusan-penyelamatan dalam misteri kebangkitan. Kedua, upacara lilin paskah yang indah dan agung itu. Ada kegelapan malam. Hening. Hanya ada satu lilin bernyala melewati kegelapan malam. Ada suara imam mewartakan cahaya Kristus, Lumen Christi (semoga dengan lantang, karena ini proklamasi). Kemudian lilin Paskah ditahtakan dan lilin kita dinyalakan. Ada keindahan tersendiri kalau gereja hanya diterangi cahaya lilin. Mengesankan. Lalu ada eksultet yang juga harus dinyanyikan lantang dan kencang, karena ini proklamasi. Lalu ada bacaan-bacaan yang dipuncaki injil. Mungkin setelah mendengar injil ini, kita merasa biasa-biasa saja. Tetapi adegan dalam injil hari ini adalah peristiwa yang amat penting karena ia menjadi dasar seluruh iman Kristiani, yang menjadi darah daging kita, identitas kita, nafas hidup kita. Maka sepatutnya kita membacanya dengan penuh perhatian. Mari kita perhatikan detailnya. Pertama, ternyata saksi kebangkitan paling awal ialah perempuan. Kedua, penegasan malaekat, bahwa Yesus sudah bangkit dari antara orang mati. Buktinya? Ia tidak ada di sini, tidak ada dalam kubur. Makam kosong. Ketiga, permintaan Yesus, agar jangan takut berhadapan dengan peristiwa itu. Melainkan harus diwartakan. Sekali lagi, perempuan yang disuruh Yesus untuk menjadi pewarta kebangkitan kepada murid. Dewasa ini, mungkin kita takut mewartakan kebangkitan. Entah apa pun alasannya. Nah, untuk orang seperti itulah berlaku sabda Yesus: Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu.
Minggu Paskah 22 Maret 2008: Kis.10:34a,37-43; Kol.3:1-4; Yoh.20:1-9. Saya mau memakai kesempatan ini untuk menegaskan tradisi liturgis kita. Kebanyakan kita merasa kalau sudah ikut perayaan malam paskah yang meriah, tidak usah lagi ikut misa Minggu pagi. Itu salah besar. Kita harus tetap ikut perayaan Minggu pagi, sebab itu adalah perayaan hari Minggu. Lagipula bacaannya sudah lain. Bacaan itu tidak sekadar bacaan melainkan firman Tuhan yang dibacakan. Maka mendengarkan Firman dibacakan itu sama dengan bertemu dengan Tuhan. Injil yang kita dengar pagi ini masih mewartakan tentang kebangkitan Yesus. Tetapi kali ini kita dengar kesaksian Yohanes. Selain tokoh wanita yang menjadi saksi kebangkitan. Lalu ada tokoh yang mengkonfirmasi, Petrus dan murid yang lain. Cara Yohanes melukiskan kedua tokoh ini sangat menarik. Keduanya sama-sama berlari ke makam. Tetapi Petrus ketinggalan; mungkin karena Petrus sudah tua, sedangkan murid yang lain masih muda. Jadi, marathon-nya kencang. Ketika sampai di pintu makam kosong, si murid yang lain yang tiba duluan hanya melongok ke dalam makam; ia tidak masuk. Rupanya ia menunggu si senior, Petrus. Ketika Petrus tiba, ia langsung masuk makam dan menyaksikan semuanya; Yesus sudah tidak ada di sana lagi, tidak terbungkus lagi sebab kain kepala dan kain badan sudah terpisah. Petrus hanya sampai "menyaksikan" hal itu. Ketika si murid yang lain masuk, dikatakan bahwa "ia melihat dan percaya." Ya, ia melihat dan percaya. Dan kita? Ya, kita mendengar dan percaya. Sebab kata Paulus, iman tumbuh dari pendengaran, fides ex auditu.
Minggu 30 Maret 2008: Bac: Kis.2:42-47; 1Ptr.1:3-9; Yoh.20:19-31. Injil hari ini mengisahkan dua peristiwa penampakan Yesus kepada murid. Dalam peristiwa pertama, Yesus datang kepada para murid membawa warta Damai Sejahtera. Dua kali Yesus mewartakan hal itu. Setelah mewartakan Damai Sejahtera, Yesus menugaskan mereka, untuk mewartakan hal itu. Ini tidak mudah. Sebab setelah semua yang terjadi, Yesus mampu mengucapkan Damai Sejahtera dan menyuruh para murid mewartakannya. Ini teks yang kaya inspirasi bagi orang yang terlibat dalam gerakan rekonsiliasi. Ternyata pendamaian itu hanya bisa datang dari korban (victim), bukan dari victimizer, yang selalu merasa benar. Tetapi, justru kerelasediaan si korban untuk berdamai, untuk mengampuni, bisa mendatangkan rahmat pertobatan bagi victimizer. Dalam penampakan pertama ini, Thomas tidak hadir. Itu sebabnya ia tidak percaya: sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam lukaNya aku tidak akan percaya. Thomas skeptis; maka dalam sejarah ia dijuluki Thomas si Ragu-ragu. Ia minta bukti bagi apa yang dipercayainya. Ketika Yesus datang, lagi-lagi Ia mewartakan Damai Sejahtera. Sekarang secara khusus ia menantang iman Thomas. Yang menarik ialah, Thomas langsung meloncat kepada iman, tanpa harus mencucukkan jari ke luka-luka Yesus. Maka Thomas, adalah Thomas si Pewarta Iman, karena dari dialah keluar pengakuan iman Kristen: Ya Tuhanku dan Allahku. Kita? Masih beranikah kita menuntut bukti? Dengar baik-baik. Yesus mengatakan "Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya." Itu beda dengan Thomas: ia melihat dulu baru percaya. Tetapi yang dianggap berbahagia ialah orang yang percaya walau tidak melihat. Siapa mereka? Ya, kita-kita ini, yang percaya, walau tidak melihat. Tetapi kita percaya maka kita melihat. Aku percaya agar aku melihat, credo ut videam. Aku percaya agar aku mengerti. Credo ut intelligam. Itulah paradoks iman kita. Kita harus berani menghayati paradoks itu.
Senin 31 Maret 2008: Bac: Yes.7:10-14; Ibr.10:4-10; Luk.1:26-38. Hari ini kita rayakan Hari Raya Kabar Sukacita (Annunciatio). Seharusnya 25 Maret. Tetapi karena tahun ini tanggal itu jatuh dalam Oktaf Paskah, maka liturgi merayakannya seminggu sesudahnya. Apa isi kabar itu? Menurut injil, isi kabar itu ialah Maria mengandung dari Roh Kudus. Kiranya hal ini akrab di telinga kita, karena kita mengucapkannya sebelum Ekaristi (di luar masa Paskah), dalam doa malaekat Tuhan (Angelus Domini). Kabar itulah yang mendatangkan sukacita. Beberapa tahun silam (2004) dalam Bergema dan Hidup saya menulis tentang Dies Conceptionis. Hari ini kita rayakan Dies Conceptionis. Kita tidak hanya merayakan Dies Natalis tetapi juga Dies Conceptionis, yang juga mendatangkan sukacita. Mengapa? Karena di sana mulai hidup baru yang harus dirayakan, dilindungi, dihormati sejak conceptio. Bukan baru dirayakan setelah lahir. Itulah pesan teologis-humanis perayaan ini. Kita harus hormati hidup sejak pembuahan. Itulah moral hidup Katolik. Mungkin kuno, kolot, tetapi itulah moral Katolik, moral pro-life, pro hidup. Bukan pro-choice. Tetapi mungkin ada yang mendengar kabar seperti ini sebagai kabar dukacita, kabar sedih, karena hamil di luar nikah, di luar rencana kehamilan. Tetapi percayalah, Tuhan penyelenggara hidup. Kalau kita menerima hidup itu, menghormati dan melindunginya, maka Tuhan menghormati kita dan memberi jalan keluar bagi kita, biar pun hal itu sekarang pahit. Kalau tidak percaya, bacalah Joseph Giaime SDB, Surat-surat Dari dan Kepada si Kuncup, Biro Nasional KKI, Jkt, 1982. (EFBE@fransisbm).
No comments:
Post a Comment