Wednesday, March 5, 2008

mazmur 14 dan 15

Mendalami dan Mengapresiasi Mazmur 14

Mazmur ini berbicara tentang salah satu tendensi abadi hati dan budi sementara kalangan anak manusia, yaitu tendensi ke arah ateisme, menyangkal adanya Allah, bahwa Allah itu tidak ada. Tendensi ini oleh si pemazmur dianggap sebagai ketololan manusia. Pemazmur beranggapan bahwa seharusnya akal budi manusia condong kepada upaya mencari dan menuju Allah (sebagaimana pernah dipentaskan Karl Rahner). Tetapi ternyata tidak demikian; orang tidak memakai akalnya untuk mencari Allah; inilah kebebalan manusia. Tetapi sesungguhnya bukan ateisme itu yang dikecam pemazmur, melainkan ia terutama sekali mengecam implikasi praktis-etis paham ateisme itu.

Paling tidak ada dua implikasi yang bisa ditunjukkan si pemazmur dalam mazmur ini. Pertama, ateisme itu mendatangkan bencana moral-sosial. Mengapa demikian? Itu tidak lain karena orang tidak lagi mengakui Allah. Kalau orang tidak lagi mengakui Allah, maka orang tidak takut lagi akan Allah. Kalau orang tidak takut lagi akan Allah maka mereka pun mulai melakukan perbuatan-perbuatan jijik dan busuk dan tidak baik (tidak dirinci lebih lanjut; ay.1). Mereka cenderung kepada kebejatan dan perilaku selingkuh (ay.3). Jadi, ayat 1-3 adalah pelukisan gamblang tentang ateisme yang menggerogoti dan mengganggu umat yang percaya akan Allah.

Kedua, tidak hanya itu saja, ateisme juga pada gilirannya mendatangkan bencana besar kemanusiaan, bencana humanisme. Mengapa? Itu tidak lain karena para pelaku kejahatan plus perbuatan jahat mereka, mengancam sesama manusia (ay.4). Bencana humanisme ini mulai dilukiskan dalam ayat 4. Ayat 4 ini, dengan gaya retoris, menandai perubahan isi mazmur, yang kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam ayat 5-6. Dalam bagian ini secara sangat singkat dilukiskan bagaimana ateisme itu melanda umat manusia. Umat Allah juga ikut terancam, mungkin bahkan justeru merekalah yang paling merasa terancam oleh gelombang ateisme itu. Mereka termakan habis seperti roti (ay.4).

Tetapi, Tuhan tidak berdiam diri. Tuhan tetap melihat dan mengamati semuanya, Tuhan tetap melihat semua perilaku dan perbuatan manusia. Yang lebih penting lagi, si pemazmur yakin bahwa Tuhan tetap menyertai angkatan yang kudus (ay 5). Memang tidak dapat disangkal bahwa kehadiran ateisme dan orang-orang ateis di sekitar kita dapat menjadi satire atau olok-olokan bagi kaum beriman (ay 6). Lebih dari itu, kehadiran ateisme juga bisa bermuara pada penindasan dan penghambatan terhadap orang-orang beragama (seperti yang pernah dan mungkin juga masih terjadi di Uni Soviet dulu, atau di China, atau Cuba. Tetapi jangan keliru: penindasan terhadap umat beragama bisa juga muncul dari sesama kaum beragama itu sendiri, tidak mutlak muncul dari orang yang tidak beragama; agama arus aliran utama menghantam kelompok sekte sempalan yang dianggap sesat atau bidaah; ini yang paling sulit; tetapi mazmur 14 ini belum sampai ke refleksi seperti itu).

Tetapi, biar sajalah, sebab, Tuhan adalah perlindungan kita. Begitulah sikap dan keyakinan si pemazmur yang seakan-akan memperlihatkan sikap pasrah dan percaya dan menyerahkan semuanya kepada Allah sendiri; tidak mau main hakim sendiri. Dengan bekal keyakinan seperti itu, si pemazmur tetap berani memohon Allah agar sudi bertindak memberi shalom kepada umatNya, tepat pada waktunya. Kalau Tuhan sudah bertindak, kalau tangan kanan Tuhan sudah memperlihatkan kekuatan, pada saat itulah mereka akan bersukacita dan bersorak-sorai. Dan racun ateisme pun mudah-mudahan berlalu.

Mendalami dan Mengapresiasi Mazmur 15

Mazmur ini sangat terkenal, karena ayat pertamanya sudah lama sekali menjadi salah satu mazmur antar bacaan kita (favorit saya) dengan melodi yang indah mengalun dari komponis A.Sutanto SJ (kalau tidak salah). Berdasarkan ayat 1 ini kita dapat mengetahui bahwa mazmur ini terpancar keluar dari kerinduan yang kuat dan hangat akan Allah, akan Allah dalam Baitnya yang terletak di atas gunung yang suci, Zion.

Tetapi gejolak kerinduan itu tidak otomatis membenarkan dan memudahkan segala-galanya. Seorang pemuda yang rindu pada kekasihnya, harus berjuang agar diterima gadis kekasihnya itu. Sebab ada syarat atau tuntutan bagi si pemuda agar bisa bertandang ke kandang kekasihnya. Begitu juga bagi orang yang rindu tinggal di rumah Allah, ada syarat dan tuntutan juga. Dari ayat 2-5 kita baca syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang rindu tinggal di rumah Tuhan, di gunungNya yang suci.

Betapa sangat mengejutkan kita bahwa syarat itu adalah syarat etis-humanis-horizontal. Jadi, relasi vertikal-teologis hanya dimungkinkan oleh dan dalam relasi etis-horizontal yang baik. Atau, mutu relasi etis-humanis-horizontal kita menentukan laik-tidaknya seseorang masuk ke dalam relasi etis-teologis-vertikal dengan Allah.

Mana saja syarat-syarat itu? Syaratnya sebenarnya hanya satu, yaitu orang yang kelakuannya benar, tidak bercela. Ini syarat fundamental. Tetapi syarat ini dijabarkan lebih lanjut sbb: Orang itu harus mampu menegakkan keadilan (promotio iustitiae). Ia juga harus mampu dan berani berkata jujur, tidak berbohong. Sebab berbohong itu kecenderungan semua manusia, sejak Adam dan Hawa, omnis homo mendax, semua manusia penipu. Selain itu, tutur katanya juga harus baik, tidak menebar gosip, atau kasak-kusuk ke sana kemari. Ingat dosa karena lidah itu mematikan. Sebab lidah laksana pedang bermata dua, menghantam kedua arah sekaligus. Ia juga tidak menjadi musuh dalam selimut, atau pengkhianat di meja perjamuan. Tidak mendatangkan aib bagi orang di sekitarnya.

Syarat dalam ayat 4 rada sulit. Pemazmur ini memandang diri sebagai orang yang takut akan Yahweh. Sedangkan kaum buangan (tersingkir), menjadi demikian karena lupa akan Allah. Kalau lupa, maka mereka tidak memuliakan Allah. Kalau ingat, pasti mereka memuliakan Allah. Nah, pemazmur ini memuliakan orang yang takut akan Tuhan. Orang ini juga harus konsisten dengan sumpah walaupun ada konsekwensi rugi. Orang ini juga bukan lintah darat, membungakan uang secara tidak wajar. Salah satu kejahatan terbesar manusia ialah viktimisasi orang yang tidak bersalah dan lemah. Tendensi perilaku seperti ini biasanya disertai suap. Dalam konteks seperti ini, uang menjadi panglima. Tetapi orang seperti ini tidak mau bersikap seperti itu. Nah, kalau dia sudah seratus persen seperti itu maka ia akan kokoh di dalam Allah karena tinggal di rumah Allah dan gunung suci Allah.

Saya masih ingat ketika kecil dulu, ayah memberi saya “mantera” ketika saya pergi jauh dari kampung dan masuk seminari yang jauh dari rumah orang tua. Ayah saya memberi mantra sbb: Musuh di depanku, musuh di belakangku, musuh di kiriku, musuh di kananku, tetapi kalau Allah besertaku siapa dapat melawan aku? Ayah berpesan: Saya harus mengucapkan ini dengan memberi tekanan yang mengandung nada keyakinan yang kuat di bagian akhir. Belakangan di seminari saya baru sadar bahwa mantra itu adalah doa mazmur. Bapaku bermazmur ria, mazmur mantra hidupnya. (EFBE@fransisbm).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...