Tuesday, March 4, 2008

pltsa

PLTSa: Perlukah? Sebuah Catatan Etis
Oleh: Fransiskus Borgias M.

Kamis 3 Januari 2008 saya menonton Kick-Andy di Metro-TV yang menampilkan beberapa sosok “pahlawan” lingkungan. Ada yang masih anak-anak, ada yang sudah tua. Dengan satu dan lain cara mereka memperlihatkan keprihatinan dan kepedulian akan lingkungan hidup. Salah satu masalah lingkungan kita ialah sampah, terutama sampah plastik dan sterofoam, limbah-limbah. Selain itu ialah sampah kertas yang kita tahu diambil dari bahan dasar kayu. Semakin banyak kita mengkonsumsi kertas, semakin banyak hutan yang dibabat untuk kepentingan itu. Masalah lain ialah energi (listrik, gas). Juga ada masalah air, baik itu debit maupun kesehatan dan keamanannya. Semua “pahlawan” itu dengan caranya sendiri memberi perhatian dan kepedulian terhadap masalah lingkungan tadi. Ibu Erna Witoelar, duta PBB untuk MDGs di Indonesia ikut menonton acara itu. Ia memberi apresiasi yang tinggi kepada mereka sambil mengatakan bahwa kita semua harus malu di hadapan para pelaku yang benar-benar mulai dari hal yang sangat sederhana dan kongkret. Tidak banyak teori. Tidak banyak bicara. Tetapi langsung berangkat dari hati yang paham, kata Bang Idin tokoh Betawi dari pinggiran kali Pesanggrahan yang melestarikan pinggiran kali itu sepanjang 35 km. Mengagumkan.
Tetapi dalam artikel ini saya hanya membahas soal sampah yang menjadi masalah besar di Bandung ini. Di dua tempat berbeda saya melihat poster besar dari sebuah persatuan kelompok atau organisasi tertentu yang mengkampanyekan dan mendukung dibangunnya PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Saya melihatnya di Tegalega dan di perempatan Jalan Kopo, Soekarno Hatta. Poster itu mengusung sebuah keyakinan optimistik bahwa PLTSa menjadi solusi sangat tepat bagi masalah energi dan sampah kita. Jadi, ada dua tujuan “mulia.” Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Kira-kira begitu bahasa klasiknya. Tetapi saya melihat sebuah masalah besar di balik optimisme itu. Saya mau menyimak dan mengkritisinya di sini.
Pertama, kalau kita sudah mempunyai PLTSa, ada godaan besar untuk terus bersampah-ria, toh sudah ada mesin pengolahnya menjadi sesuatu yang berguna. Bisa muncul persepsi seperti itu. Kalau itu yang terjadi, maka PLTSa, alih-alih bisa mengatasi sampah justru semakin menjadi mesin penyebab sampah. Sebab, yang mau diatasi adalah efek adanya sampah, dan bukan bagaimana sikap hidup yang mau mengurangi sampah. Dalam perspektif semboyan tiga R (reduce, re-use, re-cycle), kata recycle menempati urutan ketiga. Itu penting disadari. Maka yang menjadi prioritas adalah R pertama dan kedua. Tetapi poster itu, seakan mau mengatakan, kita tidak usah mengkampanyekan dan mengupayakan dua R pertama, melainkan kita langsung mengupayakan dan melaksanakan R terakhir. Bukankah itu sebuah mentalitas potong kompas? Jadi, dalam jangka panjang, pembangunan PLTSa sama sekali tidak strategis dan tidak mendidik juga secara sosio-etis.
Kedua, saya melihat keinginan membangun PLTSa itu hanya sebuah solusi jangka pendek. Tetapi dalam hal seperti ini, saya kira kita tidak boleh hanya berpikir secara jangka pendek, melainkan kita harus berpikir jangka-panjang. Maka dalam rangka pemikiran jangka panjang itu, yang paling penting dikampanyekan dan diupayakan ialah dua R pertama (Reduce, Reuse). Kalau kita secara efektif mengupayakan dan melaksanakan dua R pertama, maka kebutuhan akan R ketiga dengan sendirinya akan hilang. Jadi, maksudnya kalau nanti kita berhasil me-reduce dan me-reuse sampah kita, maka tidak perlu ada recycle, bukan? Tetapi kalau sekarang kita sudah membangun PLTSa dan kelak kita bisa me-manage sampah kita dengan reduce dan reuse, maka instalasi PLTSa itu akan mubazir; tidak berguna lagi. Jadi, proyek itu tidak strategis sama sekali. Saya cenderung melihat poster kampanye itu sebagai sebuah agenda terselubung untuk menciptakan “proyek” yang menguntungkan kepentingan jangka pendek sekelompok orang, dan bukan kepentingan jangka panjang banyak orang. Oleh karena itu, secara pribadi saya menolaknya.
Ketiga, bagaimana dengan sisi lain dari kampanye tadi bahwa dengan PLTSa maka masalah energi bisa teratasi juga. Dari sampah itu diharapkan akan ada cadangan listrik (maka disebut PLTSa). Tetapi saya kira tidak semudah itu. Saya suka sekali menonton acara TV yang menayangkan upaya beberapa desa di Indonesia yang mengembangkan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada minyak, gas, atau PLN atau Pertamina yang ditengarai korup. Ada desa-desa di Jawa dan juga luar Jawa yang menggantungkan kebutuhan mereka akan listrik dari tenaga air yang ada di sekitar mereka. Murah. Mudah. Ini kreatifitas yang perlu dipacu, perlu diberi penghargaan. Ada beberapa orang yang mulai mengembangkan bio-energi dari pohon jarak, untuk semakin mengurangi ketergantungan pada minyak, solar, premium, pertamax, dll. Jadi, ada sekian banyak alternatif untuk energi, dan tidak hanya difokuskan pada PLTSa saja. Tidak hanya digantungkan semata-mata pada sampah saja.
Oleh karena itu, saya cenderung curiga, kalau ada pihak yang ngotot membangun PLTSa, jangan-jangan mereka itu memiliki hidden agenda tertentu. Lagipula, kalau manajemen penanganan sampah sudah semakin disadari oleh masyarakat dan karena itu kelak bisa masuk ke dalam tataran kesadaran mikro (baca: level hidup keluarga, rumah tangga, bahkan level pribadi) maka cara-cara pengolahan sampah tidak harus selalu ke mega proyek PLTSa; bisa juga pengolahan itu menjadi sebuah industri dan aktifitas rumah tangga, yang lalu diolah menjadi pupuk kompos. Kesadaran seperti inilah yang harus ditumbuh-kembangkan. Bukan sebuah kampanye megaproyek PLTSa.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...