Tuesday, March 4, 2008

Extra Mundum Nulla Salus








Extra Mundum Nulla Salus
Oleh: Fransiskus Borgias M.

Konferensi mengenai perubahan iklim di Bali sudah berlalu beberapa waktu lalu. Bumi makin panas. Kita semakin gerah. Rumah kita semakin pengab. Kita semua dirundung kegelisahan maut. Eksistensi kita di planet ini terancam. Paru-paru bumi rusak parah (apalagi kalau ditambah dengan rumor yang terdengar santer tatkala mengajar di Abepura Papua bahwa ada rencana membuka lahan perawan Papua untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit seluas 11 juta hektar. Berapa hutan tropis yang harus dikorbankan untuk itu?). Kita semakin tidak nyaman dalam “rumah” dan “kamar” kita sendiri. Sayangnya kita tidak punya rumah atau kamar cadangan.
Di sini saya teringat akan teolog Belanda yang dalam teologi-nya mengeluarkan diktum terkenal: extra mundum nulla salus. Artinya, di luar dunia tidak ada keselamatan. Apa maksud ungkapan ini? Apa konsekwensi etisnya? Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya kembali lagi ke diktum tadi. Teolog yang dimaksud ialah Edward Schillebeeckx. Sesungguhnya istilah itu sendiri hanya meniru sebuah diktum sangat terkenal dalam sejarah gereja yang pada abad ketiga diucapkan St.Cyprianus dari Carthago: extra ecclesiam nulla salus. Artinya di luar gereja tidak ada keselamatan. Saya tidak membahas diktum Cyprianus tersebut, walau Schillebeeckx jelas bertitik tolak dari paham eklesologis ini ketika merumuskan diktum kosmologis ini.
Baik Cyprianus maupun Schillebeeckx sama-sama berbicara tentang keselamatan akhir manusia. Hanya bagaimana cara meraihnya? Itu yang mungkin berbeda? Di mana keselamatan itu mau diwujudkan? Jawaban atas pertanyaan itu juga berbeda. Diktum Cyprianus tidak pernah dicabut, bahkan pada abad pertengahan ditetapkan sebagai dogma, karena itu bersifat mengikat.
Schillebeeckx mengangkatnya kembali pada jaman modern ini. Tetapi konteksnya bukan lagi gereja melainkan dunia, bumi, earth. Menurut Schillebeeck, kalau orang mau mengupayakan shalom, maka hal itu harus diupayakan dalam dunia ini, sekarang dan di sini. Orang tidak boleh memandang ke luar dunia, ke angkasa luar. Sebab kalau kita baca Kita Suci dengan baik, ternyata Yerusalem Baru memang turun dari langit, tetapi ia turun ke atas bumi kita ini. Jadi bumi kita ini tidak hancur dulu baru muncul bumi dan langit baru. Melainkan kehadiran bumi dan langit baru itu mengandaikan bumi yang sekarang ini. Karena itu, sekali lagi, extram mundum nulla salus. Keselamatan harus diupayakan mulai dari dunia ini, mulai dari sekarang dan di sini. Itulah pesan pokok Schillebeeckx.
Pesan pokok itu dicanangkannya tahun 1990 dalam buku berjudul “Church, The Human Story of God.” Pesan moral-teologis itu bergema kembali dalam diri orang yang dipengaruhi Schillebeeckx; jadi masih dalam lingkaran Schillebeeckx.
Pertama, dalam diri Paul F.Knitter. Tahun 1995, Knitter menulis buku menarik: One Earth Many Religions. Judul kecil buku ini menjelaskan lebih jauh isinya: Multifaith Dialogue and Global Responsibility. Jadi, buku ini berbicara tentang dialog antar iman dan kepercayaan dalam rangka membangun kesadaran akan tanggung jawab global di antara para penganut agama-agama dan kepercayaan. Di dunia ini ada banyak agama, tetapi hanya ada satu bumi. Bumi yang satu dan sama itu sedang mengalami krisis, sakit parah, bahkan mungkin sedang sekarat. Karena itu, para penganut agama-agama (termasuk pemimpinnya) harus berusaha keras mengatasi keadaan ini. Sebab kehancuran bumi adalah kehancuran semua. Buku ini antara lain menegaskan bahwa ada dua kesadaran besar yang mendorong melahirkan buku ini. Pertama, kesadaran akan orang lain yang menderita (the suffering othter). Kedua, kesadaran akan orang lain yang beragama lain (the religious other). Yang terdahulu melahirkan teologi pembebasan dan teologi mengenai pluralisme agama-agama. Sedangkan yang kemudian, melahirkan dan mendorong kesadaran akan dialog dan tanggung-jawab global agama-agama, maupun manusia pada umumnya. Kedua lian itu hidup dan ada dalam bumi yang satu dan sama. Menurut Knitter, berteologi secara benar dewasa ini berarti harus mendengarkan dan memperhatikan dengan baik kedua faktor lian itu. Kalau tidak, teologi seperti itu tidak membumi, alias tidak relevan.
Kedua, dalam diri Leonardo Boff. Kurang lebih dua tahun sesudah buku Knitter tadi, terbit buku Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (1997). Sekilas buku ini adalah murni sebuah buku mengenai ekoteologi. Ternyata tidak. Sebab Buku ini secara konsisten dan konsekwen melanjutkan kepedulian Boff akan tanggung-jawab etis teologi pembebasan (dia sendiri salah satu tokoh besarnya). Judul buku ini dengan jelas dan gamblang memperlihatkan kesejalanan antara teologi Boff dan teologi Knitter. Itu tidak lain karena keduanya sama-sama berbicara tentang bumi (Earth). Hanya Boff di sini terasa jauh lebih personalis, karena ia melukiskan bumi itu sedang menangis, sebuah personifikasi yang teramat indah dan menyentuh perasaan. Bumi itu sedang merintih kesakitan. Nada dan nuansa naturalisme-antropologis Fransiskan terasa bergema kembali di sini. Lebih jauh, Boff mengatakan bahwa tangis bumi itu adalah juga tangis orang miskin dan tertindas. Jadi, Boff menyamakan atau menyejajarkan keduanya.
Mengapa? Karena menurut Boff, orang miskin-lah yang paling mudah menjadi korban kalau bumi tidak dipelihara dengan baik. Memang bencana alam tidak pandang bulu. Tetapi kalau Kalimantan terendam banjir (karena hutan dibabat HPH dan pengusaha Kelapa Sawit), orang kaya mempunyai alternatif dan daya mobilitas tinggi untuk pindah ke Sulawesi atau pulau lainnya. Begitu juga kisah tragis banjir di Aceh. Orang kaya mudah berpindah mencari tempat yang aman. Orang miskin? Mereka hanya bisa meringkuk di dusun-dusun sekitar Bojonegoro yang terendam Bengawan Solo, yang kata Gesang, seperti separuh bernubuat, “….air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut…” Bahkan menjadi laut. Maka dengan lantang Boff mengatakan bahwa orang miskin merupakan makhluk paling rentan terancam di antara makhluk ciptaan lain di bumi ini.
Karena itu, kita hanya punya satu tanggung-jawab dan kewajiban etis: mendengarkan tangis orang miskin dan tertindas. Hanya dengan cara itu, mungkin kita masih sempat “mencegah” perubahan iklim yang sama-sama membayangi dan mengancam kita. Kita tidak dapat selamat sendirian ke luar dunia. Kita hanya bisa selamat bersama-sama di dunia ini. Sebab ingat, extra mundum nulla salus. Mungkin salah satu alat ukur yang dapat kita pakai untuk menilai partai-partai politik di negeri kita yang sebentar lagi mulai saling unjuk gigi, ialah kepedulian etis akan alam, lingkungan, akan bumi ini. Hospitalitas terhadap bumi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita tidak dapat lagi hidup dengan etika permusuhan (hostility) terhadap bumi. Kita harus mencintainya, sebab ia adalah ibu kita.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...