Saturday, January 6, 2018

TEOLOGI "COMPLETORIUM"

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Salah satu untaian doa dalam lingkaran sehari menurut tradisi gereja Katolik khususnya tradisi hidup monastik ialah Completorium. Itu adalah bagian dari Ofisi Ilahi, yang terdiri atas pendarasan mazmur. Completorium itu adalah doa malam, doa penutup seluruh hari, doa sebelum pergi tidur malam. Dengan itu, seluruh kegiatan sehari ditutup dan dipuncaki dengan mahkota completorium, dengan doa malam. Sesudah memanjatkan doa malam (completorium) kita masuk dalam alam tidur malam, beristirahat, dalam rangka upaya memulihkan lagi tenaga jasmani kita yang sudah dipergunakan dalam kegiatan sepanjang hari. Tentu kita berharap agar keesokan harinya kita dapat bangun kembali dengan semangat baru dan segar agar kita dapat memulai lagi tugas dan kewajiban kita dalam rangka memuji dan memuliakan Tuhan dan demi keagungan dan keselamatan umat manusia.

Completorium hanya salah satu untaian waktu doa dalam bentangan sehari. Selain itu ada laudes (ibadat pagi), ibadat siang, ibadat sore (vespere), ibadat bacaan (sebelum Laudes). Total adalah lima waktu doa. Dengan demikian, tampak bahwa tradisi gereja sesungguhnya mengajarkan kita agar berdoa dalam beberapa penggal waktu. Dalam tradisi yang lebih ketat (hidup monastik kontemplatif), para Bapa Gereja mengajarkan kita tentang tujuh penggal waktu berdoa (hal itu sesuai dengan tradisi kuno orang Yahudi, yaitu bahwa mereka berbangga bahwa tujuh kali sehari mereka mengucapkan dan memuji nama Yahweh; bdk., Mzm 119:164).

Dalam tulisan ini saya mau menyoroti dua bagian dalam doa completorium, yang menurut saya erat terkait satu sama lain. Pertama, pemeriksaan batin (pengakuan dosa). Kedua, lagu singkat (responsorium) yang dinyanyikan (didaraskan) sesudah bacaan singkat (lectio brevis). Saya mulai dengan menguraikan bagian kedua, lagu singkat. Isi lagu singkat ini dalam buku Completorium kita ialah sbb: “Ke dalam tanganMu kuserahkan diriku, ya Tuhan Penyelamatku.” Dengan lagu singkat ini, kita menyerahkan diri secara total ke dalam tangan Tuhan Allah Pencipta alam semesta dan sekaligus sang Penyelamat (Salvator, Savior) kita. Kita berani melakukan hal itu (penyerahan diri secara total) karena kita percaya bahwa “Engkaulah penebusku, ya Allah yang benar.” Sebagai Allah yang benar, Ia tidak mengecewakan pengharapan dan kepercayaan kita. Tanpa kepercayaan mendasar seperti itu, mustahil kita berani menyerahkan diri secara total kepada Dia yang bersemayam dalam cahaya yang tiada terhampiri (1Tim.6:16), misteri yang tiada terpemanai. Misteri “Das Ganz Andere”, Ia yang serba sangat lain, dalam istilah Rudolf Otto.

Jika kita amati dengan teliti, maka jelas bahwa bagian awal teks lagu singkat ini diambil dari Injil Lukas 23:46. Bunyinya di sana ialah sbb: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Itu adalah kalimat pengantar sebelum Yesus wafat di salib. Sesudah mengucapkan kalimat penyerahan diri itu, Yesus wafat. Teks Lukas sendiri dikutip dari Mazmur 31:6. Dalam konteks Mazmur, seruan itu adalah doa mohon perlindungan kepada Tuhan, agar tidak mati sia-sia di tangan para lawan (musuh) yang penuh rancangan dan persekongkolan jahat. Dalam Injil Lukas, teks tadi dipakai sebagai doa pengantar menjelang wafat.

Di sini saya bertanya secara kritis: Mengapa Yesus menyerahkan roh-Nya kepada Allah di salib? Itu tidak lain karena Tuhan-lah yang empunya Roh itu. Roh itu berasal dari Allah sang Pencipta. Pada saat penciptaan, Allah sang pencipta yang menghembuskan roh itu kepada manusia (Kej.2:7: “...ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”). Dengan demikian dalam praksis Yesus di salib itu, saat kematian (the moment of death) menjadi saat untuk ingat akan pencipta, momen untuk melakukan “memento creatoris” (seperti diserukan dalam Pengkotbah 12:1). Tetapi kita tidak hanya diingatkan untuk ingat akan kematian, memento mori, melainkan juga ingat akan sang pencipta saat menjelang kematian. Tetapi dalam kasus Yesus di salib “memento mori” menjadi konteks yang sangat dekat dari “memento creatoris”: yakni saat Ia berhadapan dengan realitas maut secara sangat nyata, Ia teringat akan sang pencipta-Nya sehingga Ia pun terdorong menyerahkan kembali roh-Nya kepada sang Pencipta.

Kalau kini kita memakai teks tadi dalam dan sebagai bagian utuh dari doa malam (completorium), padahal dulu Yesus memakainya sebagai teks pengantar menuju alam maut (kematian), maka pasti ada sebuah paralelisme yang kuat antara alam maut dan alam tidur malam (kegelapan malam). Tatkala kita mau melewati misteri tidur dalam malam kelam, kita menyerahkan terlebih dahulu roh kita kepada Tuhan yang empunya roh. Kita berharap agar roh kita aman dalam naungan, pemeliharaan, dan perlindungan Tuhan seperti harapan pemazmur (31:6). Kalau besok pagi Roh itu dikembalikan kepada kita dan kita bisa bangun lagi, maka kita patut bersyukur atas peristiwa itu. Kita masih diberi kesempatan untuk melihat fajar hari baru. Kita masih diberi kesempatan untuk menghirup nafas kehidupan sekali lagi. Itulah sebuah mukjizat baru dan ajaib dalam hidup kita setiap hari dan dari hari ke hari. Sebaliknya, kalau ternyata roh itu tidak kembali kepada kita, maka tidak apa-apa juga. Mengapa? Toh sebelum tidur malam kita sudah menyerahkannya dengan baik-baik kepada Dia yang empunya roh, seperti yang terjadi dalam kasus Yesus di salib (Luk.23:46).

Dalam konteks itulah kita menyadari arti penting dari pemeriksaan batin (pengakuan dosa) di awal completorium. Dengan ini saya membahas bagian pertama dari artikel tadi. Pemeriksaan batin (pengakuan dosa) pasti dimaksudkan untuk membersihkan atau memurnikan hati, purificatio cordis. Dengan ini hati kita dibersihkan dan dimurnikan dari noda, dosa, dan kotoran yang dilakukan sepanjang hari, sebab kita mudah berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan, dan dengan kelalaian kita (akukan dengan rendah hati dalam Confiteor, “Saya Mengaku” itu). Kitab Suci menganjurkan kita agar rajin menguji hati sanubari (1Kor.11:28; 2Kor.13:5) dan pandai menghitung hari hidup (Mzm.90:12) agar menjadi bijak dalam hidup yang singkat (vita brevis) ini. Semua hal itu penting dalam rangka cita-cita menjadi manusia baru dalam setiap tahap hidup, seperti saat bangun tidur di pagi hari baru. Hari baru, menjadi manusia baru (Ef.2:5; Kol.3:10), menjadi ciptaan baru (2Kor.5:17; Gal.6:15), seperti kata Paulus. Manusia lama ditinggalkan dan turut disalibkan (Rom.6:6).

Kembali ke roh yang disinggung dalam teks lagu singkat di atas tadi. Roh itulah yang dihembuskan Allah pada saat menciptakan manusia pada awal mula (Kej.2:7). Roh itu tinggal dalam hati kita. Roh itulah yang menghidupkan kita, yang menjadikan kita makhluk hidup. Bahkan Roh itu pulalah yang membantu kita untuk berdoa (Rom 8:26). Roh itu yang membantu kita mengenal Allah dan menyapa Allah sebagai Abba (Rom.8:14-17). Roh itulah yang pada awal mula mencipta dan membuat kita hidup dan berada (bdk.Kej.2:7). Karena Roh itu tinggal dalam diri kita maka tubuh kita pun adalah bait Roh Kudus (1Kor.6:19). Karena itu, tubuh harus suci, tidak boleh tercemar dosa, sebab tubuh itu bukan untuk percabulan (1Kor.6:13), melainkan untuk Tuhan dan Tuhan untuk tubuh (1Kor.6:13). Maka kita tidak boleh main-main dengan tubuh sebab tubuh itu anggota Kristus (1Kor.6:15). Kita harus memuliakan Tuhan dengan tubuh (1Kor.6:20). Demikian kata Paulus. Di sinilah letak arti penting refleksi santo Yohanes Paulus II tentang Theology of the Body yang terkenal itu.

Kembali ke completorium. Doa itu disusun sedemikian rupa sehingga seluruh rangkaian hidup kita selalu dalam keadaan siap sedia menyongsong datang dan kehadiran Tuhan. Seperti kata madah completorium: “meski mata kan tertidur, semoga hati berjaga, rapi selalu teratur, siap menyambut rajaNya.” Ini adalah idealisme injili sebagaimana yang dibentangkan dalam perumpamaan tentang lima gadis bijaksana itu (bdk.Mat.25:1-13), yang selalu bersiap sedia dengan lampu dan minyaknya yang penuh untuk menyongsong datangnya pengantin yang tiada terduga-duga pada tengah malam.

Akhirnya, Completorium kini menjadi doa resmi gereja yang diwajibkan untuk biarawan, biarawati, dan imam. Tetapi oleh karena doa itu sesungguhnya adalah doa seluruh gereja, maka seluruh anggota gereja, jadi seluruh umat beriman, harus (wajib) melakukannya juga. Kiranya itu bukan hanya tugas para biarawan atau imam saja. Melainkan kewajiban kaum beriman (awam dan klerus) seluruhnya. Tegasnya, kewajiban seluruh kaum beriman. Jika idealisme ini terjadi, maka tuduhan (beberapa kalangan) yang biasa disebut dengan istilah “monastisasi hidup doa dan kesalehan dalam tradisi gereja”, kiranya bisa ditepis. Saat semua kaum beriman berdoa dengan rutinitas, semangat, dan ketekunan yang sama maka tuduhan tadi menjadi mentah dan tidak relevan lagi. Oleh karena itu, marilah kita berdoa, tidak hanya doa malam saja, melainkan berdoa terus menerus, atau oratio continua (sebagaimana dianjurkan Paulus, dalam Ef.6:18; Flp.1:4; Kol.1:9). Dalam bagian akhir tulisan ini saya mendorong kita semua untuk selalu melantunkan Completorium sebagaimana yang diajarkan tradisi bunda gereja (mater ecclesia) yang agung dan kudus.

5 comments:

Unknown said...

Terima kasih Prof, apik banget. Tulisan itu membuat saya teringat, pada Pastor saya yang rajin dan rutin keliling sesuai jadwalnya dan umat pun rajin datang malam² membawa oncor, lampu yg terbuat dari bambu, untuk mendengar piwulang seperti pada tulisan ini.

franstantri dharma said...

Perlunya semangat berdoa disertai intensi penyerahan diri di sepanjang malam.Kita mewujudkan dalam doa kompletorium ini. Terima kasih Pater.

canticumsolis said...

Artikel ini sdh dimuat dlm WACANA BIBLIKA pertengahan 2017 kemarin...

canticumsolis said...

Maksh mas Suji krn sdh sudi mampir di sini...

canticumsolis said...

Betul sekali pak Frans.... doa dgn berserah diri.... trims sdh sudi mampir di sini.... slm damai dlm Tuhan....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...