Wednesday, September 6, 2017

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 141

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Hidup manusia penuh godaan dan pencobaan. Tidak ada yang luput dari cobaan. Tetapi pencobaan itulah yang membantu perkembangan dan proses pematangan hidup manusia terutama secara rohani. Tanpa pencobaan manusia akan menjadi lembek. Ibarat pohon yang tidak diterpa angin, maka akarnya tidak kuat menancap dan menukik ke bumi. Memang ada risiko tumbang dan patah kalau pohon itu terus diterpa angin kencang. Tetapi ada juga kemungkinan bahwa pohon itu akan menjadi kuat, baik batangnya yang tampak di permukaan bumi, maupun akarnya yang menancap ke dalam bumi. Begitu juga dengan hidup manusia.

Mazmur 141 ini melukiskan hidup yang penuh cobaan dan godaan. Salah satu jalan keluar yang diajukan mazmur ialah agar tidak lupa berdoa kepada Tuhan. Mazmur ini mengajar kita untuk memanjatkan doa kepada Tuhan di kala mengalami cobaan. Judul mazmur ini ialah “Doa dalam pencobaan”. Judul ini menggambarkan isinya. Mazmur ini cukup pendek (sepuluh ayat). Berdasarkan dinamika teks, mazmur ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian I: ayat 1-4. Bagian II: ayat 5-7. Bagian III: ayat 8-10. Saya telusuri Mazmur ini berdasarkan pembagian tadi.

Dalam kesesakan dan pencobaan pemazmur, dalam Bagian I, meminta agar Tuhan datang kepadanya saat ia meminta tolong dan mendengarkan permohonannya. Dalam imajinasi religiusnya ia membayangkan bahwa doanya itu menjadi laksana asap yang membubung ke atas (ay 1). Ia juga membayangkan bahwa kedua tangannya yang terangkat ke atas saat berdoa menjadi persembahan korban pada waktu senja (ay 2). Selanjutnya, ia meminta agar Tuhan sudi menjadi penjaga mulutnya, jangan sampai mulut mengucapkan kata-kata kotor dan tidak patut (ay 3). Ia meminta agar Tuhan sudi menjaga hatinya supaya tetap lurus pada jalan benar tidak berbelok kepada kejahatan dan kefasikan. Ia yakin bahwa perbuatan fasik itu bermula dari kecondongan hati kepada yang jahat dalam sebuah solidaritas negatif dengan orang jahat (ay 4).

Dalam Bagian II pemazmur berbicara tentang pendidikan yang diberikan orang benar. Ia beranggapan bahwa pendidikan semacam ini, biarpun keras (misalnya dengan cara memalu dan menghukum), dianggapnya sebagai didikan kasih. Didikan keras orang benar itu ia kontraskan dengan minyak orang fasik. Ia merasa tidak sudi dihiasi kepalanya dengan minyak (wangi) orang fasik. Dalam pelbagai doanya pemazmur terus melawan kejahatan-kejahatan orang fasik (ay 5). Perbuatan dan tingkah laku orang fasik, suatu saat kelak pasti mendapat hukuman setimpal di hadapan hukum yang ditegakkan hakim. Jika saat itu tiba, pemazmur yakin bahwa orang fasik baru sadar betapa kata-katanya selama ini benar dan menyenangkan (walau tidak mereka ikuti) (ay 6). Secara imajinatif, pemazmur membayangkan kesudahan orang fasik kelak dalam dunia orang mati. Mereka akan mendapat hukuman yang berat dan setimpal dengan perbuatan dan tingkah laku mereka selama hidup di dunia ini. Di sini ia membayangkan sebuah penghancuran yang akan menimpa orang fasik itu kelak dalam dunia orang mati. Tulang-belulang mereka akan hancur lebur seperti batu yang dibelah dan dihancurkan di tanah (ay 7).

Berbeda dengan nasib tragis seperti itu, dalam Bagian III, pemazmur membayangkan nasibnya kelak. Ia membayangkan keselamatan, sebuah situasi luput dari orang jahat dan fasik. Itu terjadi karena pemazmur selalu memandang kepada Allah dan berharap kepada pertolongan Allah. Ia berharap Tuhan tidak mencampakkan dirinya (ay 8). Ia juga berharap agar Tuhan melindungi dia dari jerat perangkap yang dipasang orang fasik. Memang tidak mudah hidup di tengah dunia yang penuh orang fasik. Ada bermacam jebakan. Maka pemazmur meminta kepada Tuhan agar ia diselamatkan, diluputkan dari pelbagai jerat itu (terutama yang tidak tampak). Ia berharap jangan sampai tersandung dalam perbuatan jahat orang jahat. Ia sadar betapa mudahnya orang ikut arus dalam perbuatan jahat karena emosi dan euforia massa. Hal itu sangat berbahaya. Ia meminta agar ia luput dari hal seperti itu (ay 9). Jika perlindungan dan pemeliharaan Tuhan terjadi atas dirinya, maka ia luput. Sedangkan orang fasik dan jahat akan terperangkap ke dalam jerat perangkap yang mereka pasang bagi orang lain. Seperti kata pepatah ini: siapa menggali lobang, ia sendiri akan terperosok ke dalamnya. Kata orang Jerman: Wer hat eine Grube grabt, felt selbst hinein.


Abepura, Medio Juli 2017
Penulis: Dosen biblika FF-UNPAR Bandung; dosen tamu STFT Fajar Timur, Abepura, Jayapura.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...