Friday, April 21, 2017

MENIKMATI DAN MEMAHAMI MAZMUR 137

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Mazmur ini terkenal karena sering dipakai dalam liturgi Gereja Katolik (terutama Brevirium) dan menjadi populer antara lain karena sebuah kelompok musik Afro-American dengan penyanyi Boney M pada tahun 60-an dan 70-an mengangkat Mazmur 137 ini sebagai teks lagu pop-reggae mereka: By the river of Babylon.

Mazmur ini cukup pendek: terdiri atas 9 ayat. Untuk memahaminya saya membaginya menjadi dua bagian: Bagian I: ayat 1-6. Bagian II: ayat 7-9. Kita mulai dengan bagian I. Dalam ayat 1 pemazmur seperti terseret ke dalam lamunan nostalgia, mengenang nasib tragis mereka di pembuangan, Babel. Saat itu mereka duduk di tepi sungai Babel (mungkin Eufrat dan Tigris, mungkin juga kanal-kanal di kota itu) sambil menangis. Mereka menangis karena teringat Sion (Yerusalem). Mereka menggantung kecapi mereka pada pohon gandarusa di tepi sungai itu (ayat 2). Dalam ayat 3 kita melihat sebuah situasi kontras: mereka menangis sedih, tetapi orang yang menawan mereka meminta agar mereka menyanyikan nyanyian sukacita. Di sini kepedihan dan kesedihan menjadi-jadi. Wajar jika mereka berduka, tetapi dipaksa untuk bernyanyi suka. Itu sangat paradoksal.

Paradoks itulah yang melahirkan pertanyaan retoris dalam ayat 4: para penindas meminta diperdengarkan nyanyian dari Sion. Itu artinya nyanyian yang berasal dari dan biasanya dinyanyikan di Tempat Kudus di Yerusalem. Bagi orang Israel nyanyian di tempat kudus hanya boleh dinyanyikan di tempat kudus itu. Tidak bisa dan tidak boleh dinyanyikan di sembarang tempat lain. Di sini mereka tidak boleh menyanyikan nyanyian Tuhan di tanah asing, tanah najis. Tetapi mereka dipaksa berbuat begitu. Terjadilah penindasan berlapis-lapis: penindasan fisik, dan rohani sekaligus. Jadi pembuangan adalah sebentuk penindasan total.

Dari dalam situasi tertindas seperti inilah muncul janji dan sumpah dalam ayat 5-6. Sumpah itu diucapkan secara bersyarat setelah peristiwa itu terjadi. Ini terasa aneh. Pemazmur bersumpah. Dalam sumpah itu ia mengucapkan dua hal: pertama, biarlah menjadi kering tangan kananku jika aku melupakan engkau Yerusalem (padahal ia melupakan). Kedua, biarlah lidahku melekat pada langit-langitku jika aku sampai melupakan engkau Yerusalem (kenyataannya ia lupa). Perhatikan baik-baik bahwa ayat 5-6 ini mempunyai struktur khusus: dimulai dengan jika (kondisional) lalu disusul dengan janji (ayat 5). Ayat 6 mempunyai struktur yang terbalik: dimulai dengan janji, disusul dengan sebuah syarat (jika).

Ayat 5 memakai kata “lupa”, sedangkan ayat 6 memakai frasa “tidak ingat”. Tangan kanan umumnya dipakai bekerja. Kalau tangan kanan itu dipotong, maka itu sama dengan tidak bisa bekerja, dan tidak bisa bekerja berarti tidak dapat makan, dan ini sama dengan kematian. Lidah dipakai untuk berbicara, bernyanyi, dan memuji. Lidah itu adalah alat tutur dalam mulut manusia. Tanpa lidah manusia sulit berbicara. Mungkin itu sebabnya dalam bahasa Inggris kata tongue dipakai untuk bahasa maupun untuk lidah. Yerusalem sebagai sumber dan puncak sukacita. Jika ini semua tidak lagi diingat maka hal itu sama dengan kematian.

Akhirnya, saya memberi catatan khusus untuk ayat 7-9. Ayat-ayat ini tidak dipakai dalam liturgi Gereja (doa-doa, breviarium, bacaan liturgis), karena isinya yang kejam berupa dendam dan kekerasan ngeri. Liturgi kita sangat selektif dalam menyaring teks Kitab Suci yang dibacakan dalam perayaan liturgis komunal. Ini adalah salah satu tanda bahwa liturgi mempunyai otoritas kanonnya sendiri: tidak otomatis teks yang masuk kanon, bisa masuk ke dalam kanon liturgis.

Ada dua bangsa yang disebut di sini. Pertama, Edom. Diduga mereka ikut membantu Babel saat menghancurkan Yerusalem. Mungkin Edom menghendaki penghancuran itu. Kedua, Puteri Babel. Mereka ini dicap sebagai orang yang suka kekerasan. Pemazmur berharap ada yang bakal membalas semua kekejaman dan kekerasan yang mereka lakukan pada suatu saat di masa yang akan datang, sebuah tindakan balas dendam yang setimpal dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap Yerusalem di masa silam.

Ayat 9 itu mengerikan. Ia berharap akan ada kekejaman seperti itu di masa depan, sebuah aksi balas dendam atau kekejaman yang sama yang dilakukan sebelumnya. Intuisi liturgis gereja sangat tepat. Gereja tidak mengadopsi hal ini dalam liturgi, sebab jika ini dibacakan maka itu sama dengan mengajarkan balas dendam, membangkitkan rantai kekerasan, dan hal itu bertentangan dengan ajaran kasih Tuhan Yesus. Ketika Petrus memakai kekerasan dalam penangkapan Yesus di taman Getsemani, Tuhan meminta Petrus agar tidak memakai pedang sebab hal itu akan mendatangkan mata rantai kekerasan berkepanjangan. Dari salib Tuhan Yesus mengajarkan cinta kasih dan pengampunan atas mereka yang menyebabkan terjadinya sengsara dan penderitaan itu.


Bandung, Desember 2010
Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR Bandung.

1 comment:

canticumsolis said...

ARTIKEL INI NANTI AKAN DIMUAT DALAM EDISI MAJALAH BULANAN "BERGEMA" PAROKI SANTO MARTINUS, KOPO, BANDUNG. PARA PEMBACA SEKALIAN, SEMOGA ULASAN INI BERGUNA BAGI KALIAN. SELAMAT MENIKMATI.
Dr.Fransiskus B.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...