Friday, April 21, 2017

IVAN ILLICH DAN CARLO CARETTO

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Sudah lama sekali saya mengenal sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis dari Italia yang terkenal, yaitu bruder Carlo Caretto. Buku itu bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bosko Beding dan diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende Flores, pada tahun 1981. Judulnya: SURAT-SURAT DARI PADANG GURUN. Pada saat itu saya sudah membacanya juga dengan sangat tekun dan penuh minat, sebab pada saat itu saya sedang menjalani tahun postulat dalam Ordo Fratrum Minorum di Biara Santo Yosef, Pagal, Manggarai, Flores, NTT. Bagi saya, buku itu adalah sebuah buku yang sangat menarik dan sangat inspiratif juga dengan pelbagai percikan refleksi dari seorang pertapa yang hidup bertapa di padang gurun. Di Novisiat Papringan, Yogyakarta, Bruder Bram semakin dalam memperkenalkan kepadaku sosok Caretto ini dan sosok sang pendiri serikatnya. Caretto, pada dasarnya, dalam buku itu hanya ingin membagikan kepada para pembaca pelbagai macam percikan pengalamannya yang serba sederhana dan serba sehari-hari yang ia alami dalam hidup di gurun (seperti pengalaman mengamati gerak angin, pengalaman bertemu dengan ular, pengalaman mencari ceruk karang tempat berlindung, pengalaman pandai menghemat air sebelum mencapai sumur berikut). Semuanya ia tuangkan sebagai sebuah cetusan bahasa hati yang terpancar keluar dari lubuk hidupnya di padang gurun Sahara.

Tentu saja ada banyak pokok yang menarik perhatian saya dalam buku ini. Tetapi pada saat ini saya tidak mau membahas topik-topik itu. Di sini saya hanya mau tentang fakta bahwa buku ini aslinya diberi kata pengantar oleh seorang pemikir di bidang pendidikan, Ivan Illich. Kedua orang ini sudah terjalin dalam sebuah relasi persahabatan sejak Caretto masih aktif dalam sebuah organisasi “Aksi Katolik” (Catholic Action) di Italia. Konon dalam organisasi itu, Caretto sudah mempunyai kedudukan yang tinggi. Pada tahun 1959 mereka bertemu lagi. Pada saat itu Caretto sudah tidak lagi menjadi seorang aktifis di Aksi Katolik, melainkan ia sudah menjadi seorang Biarawan, pengikut Charles de Foucauld, Saudara Dina, Petit Freire (semoga saya menulisnya dengan benar).

Illich menemui dia kembali sebagai seorang tukang sepatu di sebuah kota di Algeria. Illich pun lalu diminta oleh Caretto untuk menulis kata pengantar bukunya yang akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, agar dengan pengantaraan Illich, buku itu bisa masuk ke dan dikenal di kalangan para pembaca di Amerika.

Tantangan itu pun diterima oleh Illich, tetapi kemudian ia menjadi bingung, sebab sesungguhnya ia tidak tahu harus menulis apa dan harus mulai dari mana atau bagaimana. Tetapi rupanya Illich berhasil menulis kata pengantar itu dan kata pengantar itu sekarang ada di bagian depan dari buku Caretto yang saya singgung di sini.

Dari kata pengantar itu saya mau menggaris-bawahi satu hal penting saat Illich mengatakan bahwa “Kehampaan padang gurun memberi kemungkinan untuk mempelajari hal-hal yang hampir mustahil: yakni dengan suka hati menerima ketidak-bergunaan kita” (p.vi). Jujur saja, sesungguhnya saya tidak tahu persis apa yang dimaksudkan Illich dengan kalimatnya itu. Tetapi oleh karena saya merasa sangat tertarik dengan kalimat itu, maka saya harus mencoba menembus dan memahaminya. Dan di sini saya coba mengungkapkan bagaimana cara saya mengartikan dan memahami ungkapan itu.

Ada dua hal yang disebut Illich dalam kutipan di atas tadi. Pertama, situasi kehampaan di padang gurun. Saya memang belum pernah mengalami hidup atau tinggal di padang gurun. Tetapi saya bisa membayangkan bahwa padang gurun itu memang tampak terasa seperti sebuah ruang kosong.

Di sini saya tiba-tiba teringat akan pengalaman saya sendiri ketika terbang dengan Kuwait Air saat terbang dari Jakarta ke Amsterdam pada tahun 2001 dan kami singgah di Kuwait City. Memang pada saat itu saya memakai jasa penerbangan Kuwait Air. Kuwait itu sesungguhnya adalah sebuah negara kecil di kawasan Teluk Persia. Ia terjepit oleh sebuah negara besar di kawasan itu, terutama oleh negara seperti Irak dan Arab Saudi. Saya sebut secara khusus Irak. Kedua negara ini (Irak dan Kuwait) berseteru satu sama lain. Irak selalu mengklaim Kuwait sebagai propinsi yang membangkang. Sementara Kuwait memandang Irak sebagai negara agresor dan tidak bersedia menerima kemerdekaan orang-orang Kuwait untuk mendirikan negara mereka sendiri. Itulah sebabnya saat pesawat yang saya tumpangi itu take off dari Kuwait City Airport, pesawat itu tidak langsung ke utara ke kawasan Balkan, lalu ke Eropa Timur dan akhirnya ke Belanda, melainkan pesawat itu terlebih dahulu memutar ke arah selatan lalu melintasi wilayah udara Arab Saudi.

Saat terbang di atas Arab Saudi itulah saya bisa melihat dari jendela betapa padang gurun (pasir) itu sangat luas seperti tidak bertepi sama sekali. Terlebih lagi, dari ketinggian tampak terasa betul betapa ia kosong dan sunyi, tandus, gersang. Dari atas ketinggian itu saya hanya membayangkan apakah ada kehidupan di bawah sana, di padang pasir itu. mungkin saja ada. Tetapi entah bagaimana hidup itu bisa berlangsung dan bertahan. Saat manusia berada di ruang hampa dan sunyi yang mahadahsyat itu, ia mau tidak mau terdorong untuk belajar satu hal, dan inilah hal kedua yang ada dalam kalimat kutipan Illich di atas tadi: “....dengan suka hati menerima ketidak-bergunaan kita.” Saya membaca ungkapan ini. Ya, dengan suka hati kita harus rela dan mampu menerima kedinaan atau kekecilan kita. Kita benar-benar kecil dan tidak berarti apa-apa dalam sebuah bentangan keluasan ruang kosong yang seperti tidak bertepi itu.

Saya tambahkan lagi satu hal di sini. Itulah kesan yang langsung didapatkan dan dirasakan Illich saat ia satu kali datang untuk berkunjung kepada Caretto, karibnya itu. Di sini saya langsung membayangkan bagaimana kesan hati dari orang yang seluruh hidupnya dilewatkan dalam gurun sunyi yang tak bertepi itu. Pasti situasi lingkungan gurun itu, mempunyai pengaruh yang sangat besar pada cara hidupnya, cara pandangannya, juga cara berpikirnya. Di sini saya tiba-tiba teringat akan kata-kata Caretto tentang tikar saat ia akan tidur pada sebuah ceruk batu karang di gurun. Kurang lebih ia mengatakan sbb: Di padang gurun, tikar adalah segala-galanya. Itulah dapurmu, itulah ruang makanmu, itulah ruang tidurmu, dan bahkan itulah kapelmu tempat engkau dalam keheningan membaca ayat-ayat suci. Benar-benar luar biasa. Kiranya orang seperti itu semakin menjadi dina dan hina dan kecil dan kecil terus menerus. Sebuah perjalanan ke dalam diri sendiri yang maha dahsyat, dan jauh di dalam diri yang sunyi, kesunyian diri, ia bisa bertemu dengan Tuhannya dan bisa berwawan-sabda dengan Dia dalam sebuah dimensi keluasan bentang kolong langit yang terang, bahkan di waktu malam.

Ya, kira-kira seperti yang ia katakan dalam salah satu bagian dari kata pengantar itu: “Di sini kita tidak perlukan obor, karena langit begitu terang benderang dengan bintang-bintangnya.” Dan lagi ia tambahkan: “....kita akan duduk di pasir. Dan sepanjang malam kita akan saling bercerita tentang tahun-tahun yang lampau dari hidup kita....Saya kira bahwa bintang Kejora yang terbit di pagi hari akan mendapat kita masih asyik dengan pembicaraan-pembicaraan itu.” (p.xix).

Betapa mengasyikkan catatan-catatan dan ingatan-ingatan seperti itu.


Fakultas Filsafat UNPAR Bandung, Jalan Nias No.2.

1 comment:

canticumsolis said...

PARA PEMBACA SEKALIAN, SEMOGA TULISAN INI BERGUNA UNTUK MEMPERKAYA PARA PEMBACA SEKALIAN. SELAMAT MEMBACA....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...