Sunday, March 19, 2017

PERJALANAN MENUJU PERTOBATAN EKOLOGIS

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Tahun 1999, L.Boff, menerbitkan buku tentang krisis ekologi: Cry of the Earth, Cry of the poor (1999, NY: Orbis Books). Dunia dilanda krisis ekologi yang ngeri. Bumi pun (personifikasi) sakit payah dan menangis (cry). Menurut Boff, tidak setiap golongan menderita karena tangis ibu bumi. Yang paling menderita bersama bunda bumi ialah orang miskin. Mereka mudah menjadi korban krisis ekologi. Walau bencana tidak pandang bulu, tetapi kata Boff, orang kaya mudah meluputkan diri dengan pindah ke tempat aman. Orang miskin tidak punya kemungkinan itu. Mereka terikat pada tempat mereka. Maka kata Boff: Tangis bumi, tangis orang miskin. Sesudah jadi Wapres, Al Gore terjun dalam perjuangan ekologi. Ia berusaha membangkitkan kesadaran akan krisis ekologi. Ia bikin film, The Inconvenient Truth, Kebenaran yang tidak nyaman. Film itu melukiskan fenomena krisis lingkungan yang mengancam manusia. Jika tidak disikapi, maka bencana ekologis akan menghancurkan kehidupan di bumi ini. Ngeri.

2013 silam, terjadi perubahan di Tahta Suci. Benediktus XVI diganti Fransiskus. Walau berdarah Italia, Paus baru ini lahir dan besar di Argentina. Saat terpilih, sahabatnya Kardinal Sao Paulo (OFM) berbisik: “Kalau terpilih, jangan lupa orang miskin”. Saat terpilih, Kardinal Argentina ini memilih nama Fransiskus. Ia berujar: “Saat teman saya Kardinal Sao Paulo berkata ‘Jangan lupa orang miskin’, saya sudah tahu nama yang akan saya pilih sebagai Paus.” Ia pilih Fransiskus. Sebuah pemilihan nama yang programatis. Tahun 2015, beliau terbitkan ensiklik Laudato Si. Judul itu diambil dari baris pertama puisi kosmis Fransiskus, Gita Sang Surya. Seluruh dunia membahas ensiklik lingkungan hidup ini. Dalam ensiklik itu Paus mengungkapkan banyak hal. Di sini saya menyebut dua: kesadaran ekologis dan pertobatan ekologis.

Kesadaran ekologis berarti kesadaran bahwa manusia hidup dalam sebuah jejaring relasi yang erat dengan alam. Alam adalah rumah, ruang hidup manusia. Sadar akan krisis ekologis saat ini, orang sadar bahwa dalam rumah bersama ini, manusia tidak boleh hidup sesuka hati. Ia harus memperhitungkan yang lain, yaitu semua makhluk hidup. Hidup dalam alam ini hanya bisa nyaman kalau kita memperhitungkan keseimbangan ekologis. Sejak pencerahan, hidup manusia mengalami perubahan. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan maksimalisasi rasio manusia, ditemukan banyak alat modern yang mempermudah hidup. Ternyata tidak selalu begitu. Ada banyak teknologi modern yang mengancam hidup. Industri (senjata) mengancam hidup, membawa pencemaran, perusakan, dan peracunan alam. Muncul penyakit mematikan. Teknologi pesawat udara membawa efek pencemaran udara, atmosfer, angkasa. Demikian seterusnya, sampai orang berbicara tentang bolongnya lapisan ozone dan efek rumah kaca.

Sadar akan hal itu, kita harus berbicara tentang pertobatan ekologis. Apa itu? Sederhananya sbb: Manusia dipanggil untuk mengubah cara hidup dan cara pikir (metanoia) dalam rangka perbaikan ekologi. Harus ada perubahan orientasi hidup: dari hidup eksploitasi alam, ke hidup yang bersahabat terhadap alam, sebab alam adalah rumah kita (oikos), ruang hidup kita. Perubahan cara pikir berdampak pada perubahan cara hidup, cara bertindak. Orang harus beralih dari egologi ke ekologi, dari egosentrisme ke ecosentrisme. Tetapi dari mana kita menimba ilham untuk melakukan hal itu? Ada teolog yang menggali ilham dari kitab suci agama-agama besar. Ada yang menggali ilham dari local wisdom para bangsa. Salah satunya Thomas Berry. Ia menggali ilham dari hikmat lokal Indian Amerika.

Dalam cakupan mikro saya lakukan hal itu juga. Saya gali warisan local wisdom orang Manggarai untuk disumbangkan kepada wacana global demi perbaikan lingkungan hidup, dalam rangka kesadaran ekologi baru, dan dorongan pertobatan ekologis. Orang Manggarai melihat yang suci dalam alam (batu, pohon, mata air, hutan, gunung). Saat orang berurusan dengan alam, orang harus melakukan ritual. Tidak boleh sembarangan memperlakukan alam. Ketika butuh kayu, mereka ambil di hutan dengan ritual. Mereka memperlakukan kayu seperti manusia: diarak dengan ritual penyambutan tamu agung, mempelai perempuan. Setiap kali gagal panen pasti datang kelaparan. Saat itu, mereka ke hutan mencari makan. Semua harus dilakukan dengan ritual mohon ijin hutan. Begitu krisis berlalu, orang melakukan ritual mohon-maaf, pendamaian, karena di masa lapar mereka merusak rahim hutan. Setelah krisis berlalu, mereka mohon ampun. Rekonsiliasi.

Hal itu bisa dipakai sebagai ilham gerakan kesadaran dan pertobatan ekologis. Warisan local wisdom seperti itu ada di seluruh dunia karena banyak komunitas lokal mengingat dan melestarikannya. Butuh sedikit usaha untuk menemukan dan mengaktualkannya. Di awal derap revolusi Fransiskan, Fransiskus ditanya orang: “Di mana biaramu?” Biara artinya rumah besar dengan tembok megah, kokoh dan tertutup. Il Poverello tidak punya itu. Ia naik sebuah bukit. Di sana ia bentangkan tangan, dan berkata: “Hoc est claustrum nostrum” (Ini biara kami). Ia menunjuk alam di bawah langit. Bumi ini rumah kita semua. Mari kita jaga.

Penulis: Dosen teologi biblika pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.
Tulisan ini sudah dimuat dalam majalah bulanan KOMUNIKASI Keuskupan Bandung, Edisi Maret 2017.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...