Saturday, November 5, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 131

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Judul mazmur ini dalam Alkitab kita “Menyerah kepada TUHAN”. Ini termasuk Nyanyian Ziarah Daud, sebagaimana ditulis di sana. Mazmur ini sangat singkat. Hanya tiga ayat. Karena itu, saya akan melihatnya sebagai satu kesatuan saja tanpa perlu dibagi ke dalam beberapa unit yang lebih kecil.

Dalam mazmur ini pemazmur mulai dengan sebuah pernyataan (deklarasi) hati di hadapan Tuhan, bahwa dirinya tidak tinggi hati. Ia juga tidak memandang dengan angkuh. Dengan kata lain, ia menegaskan bahwa dirinya adalah orang yang rendah hati (bukan rendah diri). Untuk semakin menegaskan hal itu, ia lebih lanjut mengatakan bahwa dalam hidupnya ia tidak mengejar, mencoba meraih, mengupayakan hal-hal yang terlalu besar. Ia secara realistik mengusahakan hal-hal yang kecil, yang sesuai dengan kemampuannya yang riil. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak mencari-cari hal-hal yang sangat ajaib. Dalam ayat pertama ini, pemazmur menegaskan kerendahan hatinya dengan menegaskan empat hal ini: tidak tinggi hati, tidak bermata angkuh, tidak mengejar hal yang terlalu besar, tidak mengejar hal-hal yang terlalu ajaib. Ia hanya orang yang biasa-biasa saja.

Sikap rendah hati adalah kebajikan moral. Karena itu, ia harus diperjuangkan. Agar bisa bersikap rendah hati, orang harus berjuang, harus melatih diri terus menerus. Ia tidak datang begitu saja, melainkan terlebih merupakan hasil proses, hasil perjuangan yang tidak selalu serba gampang. Hal itulah yang ia ungkapkan dalam ayat kedua. Mungkin pada awalnya jiwanya, dalam gelora usia muda, mendambakan hal-hal yang besar-besar, yang muluk-muluk, bahkan yang sangat ajaib. Kiranya hal itu biasa saja dalam hidup seorang manusia. Jiwanya melonjak-lonjak mencari dan mengupayakan hal-hal itu. Jiwanya tidak dapat tenang. Mungkin hal itu tidak mendatangkan ketenangan, kebahagiaan baginya. Maka ia berusaha menenangkan jiwanya. Rupanya ia berhasil. Sekarang, setelah berhasil, ia melaporkan keberhasilan itu kepada Allah. Keberhasilan itu diibaratkan dengan seorang anak yang disapih. Tidak selalu mudah menenangkan anak yang disapih, dijauhkan dari susu ibunya. Tetapi setelah latihan dan pendidikan yang berlangsung beberapa waktu lamanya, anak sapihan itu bisa juga ditenangkan dan menjadi tenang, dan ia pun dapat tidur dengan nyenyak di sisi ibunya. Keadaan anak sapihan yang bisa tidur dengan tenang itulah dipakai pemazmur untuk melukiskan ketenangan jiwanya.

Akhirnya, dalam ayat ketiga, pemazmur menegaskan sebuah seruan untuk hanya berharap kepada Allah. Saya tergelitik untuk bertanya: mengapa ia menutup mazmur ini dengan seruan harapan itu? Mungkin hal itu ada kaitannya dengan gelora jiwa tadi. Jiwa manusia, mungkin menginginkan dan mendambakan sangat banyak hal dalam hidup ini. Untuk itu, manusia berusaha sedapat mungkin agar dapat mewujudkan semua keinginan itu. Boleh jadi, orang sangat mengandalkan usahanya, sampai lupa berharap dan percaya pada Allah. Kiranya itu sebabnya pemazmur mengakhiri mazmur ini dengan seruan harapan. Dengan ini, kita bisa memahami mengapa mazmur ini diberi judul seperti di atas.

Bandung, Awal September 2016
Penulis: dosen teologi biblika FF-UNPAR Bandung.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...