Saturday, October 22, 2016

THE BEAVER (BERANG-BERANG)

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Hari Kamis pagi tanggal 08 September 2016, saya pulang dari Yogyakarta menuju Bandung dengan menumpang Kereta Api Lodaya pagi. Kami meninggalkan Stasiun Tugu Yogyakarta pukul 08.08 pagi. Diperkirakan kami tiba di stasiun Bandung pukul 16.00. Saat itu saya mendapat tiket dalam gerbong eksekutif 1, kursi baris kedua dari depan. Pada dinding di depan kami ada monitor televisi berukuran lumayan besar. Jadi, posisi duduk saya cukup dekat dengan monitor televisi itu. Karena itu, saya bisa mendengar dengan cukup baik semua acara yang ditayangkan di sana. Saya menikmati semuanya dengan baik. Terkadang saya menonton sambil terkantuk, tetapi juga sebagian besar yang menonton dengan sadar sepenuhnya.

Rupanya hari itu manajemen kereta api Lodaya hanya menyiapkan beberapa program yang diulang-ulang sampai tiga atau empat kali sepanjang perjalanan Yogyakarta-Bandung. Terus terang, memang rada membosankan, tetapi berguna juga untuk memperhatikan detail setiap acara yang ada. Itulah yang saya lakukan. Saya perhatikan setiap detail acara dan bahkan adegan dan dialog yang terjadi termasuk dialog berbahasa Inggris.
Salah satu acara televisi saat itu adalah film yang sebenarnya sudah saya tonton sebelumnya. Judul film itu The Beaver (Berang-berang). Film ini ditayangkan ulang kira-kira sampai tiga kali sepanjang perjalanan Yogyakarta-Bandung. Karena diulang sampai sebanyak itu maka saya pun hampir bisa menghafal untaian film adegan demi adegan.

Isi singkat film ini adalah tentang seorang pria (kepala keluarga) yang rada mengalami gangguan jiwa yang membuat dia merasa tidak mampu mengurus perusahaannya. Tetapi ia menjadi merasa mampu lagi tatkala dirinya diwakili juru bicara yaitu Berang-berang (Beaver). Berang-berang ini sangat cerdas, mampu memimpin dan mengatur dengan baik. Sesungguhnya Berang-berang itu adalah sosok kepribadian dia yang lain, semacam fenomena kepribadian ganda. Hal itu menjadi masalah dalam relasi keluarganya, pertama-tama dengan isterinya, kemudian dengan kedua anaknya, terutama anak sulungnya, kecuali dengan anak bungsunya yang tampaknya suka dan nyaman hidup bersama Berang-berang itu dalam satu rumah.

Akhirnya, hidup keluarga itu menjadi berantakan dan mereka berpisah. Setelah sekian lama berpisah, mereka bersatu lagi karena satu pengalaman tragis yang menyebabkan dia mendapat celaka dan dirawat di rumah sakit. Sejak itu ia bisa secara perlahan-lahan mulai melupakan dan melepaskan diri dari si Berang-berang tadi. Begitulah kira-kira secara singkat kisah film itu.

Tetapi dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini saya tidak mau mengisahkan detail film itu. Saya hanya mau bercerita tentang sesuatu yang lain yang baru saya sadari setelah menonton film itu untuk ketiga kalinya. Itu berarti sudah lewat siang hari. Kereta saat itu kira-kira sudah melewati Tasik Malaya menuju Bandung. Saat itu film akan berakhir. Seperti biasa, film diakhiri dengan tayangan nama-nama para pemeran dan crew yang terlibat dalam proses pembuatan film itu. Hal itulah yang sangat unik dan menarik perhatian saya dari film ini di bagian akhirnya. Sedemikian menariknya sehingga saya tiba pada sebuah simpulan filosofis eksistensialis tentang manusia, tentang keberadaannya dan tentang relasi manusia, relasi intersubjektifitas.

Ceritanya kira-kira demikian. Masing-masing nama Crew ditampilkan dengan cara tayang yang sangat unik dan menarik. Misalnya nama Maria sebagai sutradara. Nama berikutnya sebagai asisten sutradara ialah Angela. Dari nama Maria di atas tadi, semua hurufnya menghilang dengan meleleh perlahan-lahan sehingga tersisa satu huruf terakhir yaitu a. Dari huruf a yang tersisa tadi, lalu dimunculkan nama sang asisten sutradara, Angela. Begitu seterusnya. Misalnya nama music arrangernya bernama Bernardine. Dari nama Angela di atas tadi, perlahan-lahan dilelehkan sampai tersisa huruf n. Kemudian dari huruf n yang sendirian itu dibentuk secara perlahan-lahan nama Bernardine. Begitu seterusnya. Setiap nama dikaitkan/terkait dengan nama orang lain lewat satu huruf atau fonem dari nama itu sendiri.

Tiba-tiba di sini saya mengalami peristiwa penyingkapan atau disclosure event. Ternyata yang disebut relasi intersubjektifitas itu tidak hanya terjadi secara batiniah dan jasmaniah saja, melainkan juga terjadi dalam struktur paling dasar penamaan diri kita masing-masing. Dengan satu dan lain cara nama-nama kita, lewat satu fonem tertentu, terkait dan terikat dalam sebuah jejaring relasi dengan satu sama lain. Kalau dirumuskan dengan rumusan lain sbb: masing-masing dari elemen nama kita pasti mengandung elemen fonetik dari nama orang lain atau sesama kita betapa pun orang itu asing sama sekali. Tidak ada nama manusia yang benar-benar terasing tanpa terkait dengan nama-nama dari sesamanya, nama dari orang lain di sekitarnya. Paling tidak ada satu atau dua huruf yang menghubungkannya atau mengikat-satukannya dengan yang lain. Hal itu masuk akal karena nama manusia diungkapkan secara verbal dalam bentuk-bentuk bunyi-bunyi tertentu.

Barangkali gambar dari bunyi tertentu berbeda-beda dari satu sistem bahasa ke sistem bahasa yang lain. Tetapi pada level bunyi (fonetik), toh akhirnya semuanya sama atau mengandung kesamaan. Nama Teh Khiong dari China misalnya, bisa saja ada kaitannya dengan nama si Engkus dari Tatar Sunda, lewat kesamaan bunyi entah huruf n maupun g. Itu sekadar sebuah contoh sederhana dari China dan Sunda. Nama Engkus dari tatar Sunda bisa juga dikaitkan dengan nama Erom dari Manggarai. Mereka terkait dengan huruf awal yang sama yaitu E.

Setelah saya menyadari hal itu, sekali lagi saya pun sadar bahwa relasi intersubjektifitas itu adalah mutlak. Tidak terhindarkan. No man is an island. Tidak ada manusia yang hidup dalam sebuah ruang yang pintunya serba tertutup, kedap suara, kedap relasi, sebuah huis clos. Tidak ada manusia yang hidup tanpa relasi, tanpa mengandaikan adanya relasi. Hidup selalu mutlak mengandaikan adanya relasi. “Pada awal mula adalah relasi”, demikian kata beberapa pemikir filosofis dan teologis, yang meniru kalimat terkenal dari Injil Yohanes, pada awal mula adalah sabda, en arche en ho logos. Relasi itu adalah prasyarat hidup dan ada. Tanpa relasi maka tidak bisa ada juga sebuah ada dan keberadaan. Sebuah ada tidak bisa mulai berada tanpa suatu relasi. Jadi, betapa pentingnya relasi itu bagi ada. Ada berada dengan cara berelasi, berada dalam relasi, berada secara relasional. To exist berarti to co-exist. Itu suatu hukum mutlak kehidupan para makhluk hidup di alam semesta ini. Maka janganlah menghindarkan diri dari sebuah relasi, dari sebuah kebersamaan. Dan kebersamaan selalu jamak. Tidak serba tunggal. Maka janganlah alergi dengan kemajemukan. Kemajemukan juga adalah karunia rahmat dari Tuhan sang pencipta langit dan bumi.

Yogyakarta-Bandung, awal September 2016

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...