Thursday, October 20, 2016

BARRIGA DE ALLUGUEL

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Entah mengapa, tiba-tiba saja pada hari ini saya teringat lagi akan sebuah serial film televisi yang pernah saya terjemahkan beberapa tahun silam saat saya masih bekerja pada sebuah Production House di Jakarta. Judul film itu adalah Barriga de Alluguel. Sebuah serial film televisi import dari Brazil. Itulah sebabnya judul film itu dalam bahasa Portugis, bahasa yang dipergunakan dalam film tersebut. Tetapi saya menerjemahkannya dari teks berbahasa Inggris yang juga disediakan oleh pihak produser film itu sendiri. Secara harfiah judul itu berarti perut yang disewakan. Tentu saja perut yang dimaksudkan di sini adalah rahim. Jadi, rahim yang disewakan. Rahim itulah yang disewakan oleh orang-orang tertentu, seperti halnya orang menyewakan kontrakan kepada para pengontrak.

Beginilah kira-kira jalan ceritanya. Ada sepasang suami-isteri. Saya sudah lupa akan nama-nama mereka masing-masing. Sebut saja nama mereka ialah Fransisco dan Amelia. Mereka masih cukup muda. Usia pernikahan mereka pun juga masih muda. Karier mereka masing-masing terbilang sukses. Amelia, sang isteri adalah atlet bola Volley Brazil yang berprestasi dan kenamaan. Ia juga sangat cantik dan cerdas. Francisco, sang suami adalah seorang akuntan publik yang muda dan sukses. Tetapi sayangnya setelah beberapa tahun menikah, mereka belum juga mempunyai momongan. Bukannya mereka tidak subur alias mandul. Keduanya sangat subur. Bahkan sudah beberapa kali sang isteri hamil. Tetapi setiap kali juga ia selalu mengalami keguguran. Mungkin karena sang isteri itu super sibuk dengan kegiatannya sebagai pemain voley nasional.

Kemudian diketahui bahwa memang sang isteri itu tidak bisa hamil karena hasil pembuahan ovum tidak selalu bisa menempel dengan mudah pada dinding rahim sehingga selalu mengalami keguguran. Setelah terjadi pembuahan (conceptio) benih itu tidak bisa menempel pada dinding rahim dengan baik. Kondisi itulah yang menyebabkan mereka berdua (pasutri itu) mulai memikirkan sebuah kemungkinan lain untuk dapat memiliki anak.
Setelah dipertimbangkan dengan matang dan dengan meminta pendapat serta nasihat dan pandangan dari banyak pihak, akhirnya keduanya pun bersepakat untuk menempuh jalan menyewa rahim. Tetapi tentu saja hal itu bukan sebuah jalan yang serba mudah. Ternyata tidak gampang juga menemukan orang yang mau menyewakan rahimnya. Lagipula itu adalah sebuah eksperimen yang relatif baru dalam dunia kedokteran modern. Dan secara moral teologis hal itu masih terus menerus diperdebatkan oleh para ahli terkait. Kita tinggalkan dulu cerita itu di sini. Mari kita menuju ke bagian lain dari panggung kisah.

Sementara itu, ada seorang gadis muda. Ia cantik. Saya juga sudah lupa namanya. Kita sebut saja untuk sementara, namanya Gabriela. Berbeda dengan pasutri yang sudah disebutkan di atas tadi, si Gabriela ini berasal dari keluarga yang kurang begitu berada. Lingkungan tempat ia tinggal juga adalah lingkungan kelas menengah ke bawah. Namun si Gabriela ini memiliki selera dan kemauan yang tinggi untuk hidup enak, berpenampilan parlente, hidup seperti kalangan kelas menengah ke atas. Tetapi apa mau dikata, keinginan itu tidak bisa terwujud karena mereka keluarga miskin. Ia juga tidak bisa berharap banyak dari sang kekasih, Alexandro, yang memang sangat mencintainya tetapi penghasilannya tidaklah besar. Ia hanya sopir truk trailer. Bertahun-tahun ia bekerja keras, membanting tulang dan menabung agar suatu hari kelak ia bisa memilik truk trailer sendiri. Sebagai sopir, ia tidak bisa memanjakan sang kekasih yang mempunyai keinginan dan selera tinggi. Ia juga tidak bisa selalu berada dekat sang kekasih, sebab ia selalu bepergian dengan truknya karena tuntutan pekerjaannya.

Pada suatu saat, ia mampu membeli truk trailer sendiri. Ia sangat bahagia dan bangga dengan sukses dan pencapaian itu. Sang ibu juga sangat bahagia dan bangga melihat sang anak bahagia dan bangga. Ia bermimpi agar ia bisa membawa serta sang kekasih dalam pelbagai perjalanan tugasnya, untuk sekadar bertamasya ala sopir truk. Karena itu ia pun menghias truknya dengan indah, penuh dengan bunga-bunga plastik kesukaan Gabriela, sang kekasih. Tetapi rupanya sang kekasih tidak sabar menanti.

Diam-diam ia didekati pasangan suami-isteri di atas tadi, untuk menyewa rahimnya. Dan kalau ia setuju dengan sejumlah angka uang sewa atau kontrak, maka pada suatu saat ia akan mengandung benih pasangan suami-isteri di atas tadi. Rahimnya disewakan seperti menyewa lahan kosong untuk dipergunakan selama satu jangka waktu tertentu. Jadi, benih yang dikonsepsi adalah benih dari pasutri tadi, cuma menumpang untuk ditumbuh-kembangkan dalam rahim perempuan tadi. Dan terjadilah demikian. Et factum est vespere et mane, dies primus. Ia menerima tantangan itu, sebab untuk itu ia menerima bayangan yang besar. Tidak lama sesudah itu, setelah melewati beberapa persiapan fisik dan psikologis, akhirnya, benih itu pun dipindahkan ke rahim dia. Maka ia pun mulai hamil. Tentu dengan segala macam risiko dan konsekwensinya.

Setelah sang kekasih mengetahui langkah yang ditempuh pacarnya tadi, ia sangat marah. Tetapi ia sudah terlanjur sangat mencintainya sehingga tidak bisa dan tidak mau juga memutuskan sang kekasih. Semula ia hanya marah. Maklum. Rahim sang kekasih, ditumpangi benih orang lain. Tetapi kemudian dalam perjalanan selanjutnya ada perkembangan psikologis yang lain yang mungkin tidak terduga-duga sama sekali sebelumnya. Setelah ia tahu bahwa ia hamil, wanita ini pun (Gabriela) semakin merasa dekat dengan pria yang empunya benih. Secara psikologis Gabriela merasa sangat dekat dengan Francisco. Kiranya hal itu sangat wajar. Apalagi ia sering sekali datang berkunjung untuk sekadar menanyakan perkembangan kehamilannya.

Kemudian ada juga sesuatu yang sangat aneh yang terjadi dan dirasakan si suami itu. Ia juga semakin merasa sangat dekat dengan perempuan itu. Bahkan lebih aneh lagi, bukan si perempuan itu yang ngidam melainkan justru si pria tadi. Ia tidak menyangka sama sekali akan terjadi seperti itu. Hal itu semakin menambah kerumitan dalam relasi suami dan isteri antara Francisco dan Amelia. Sang isteri merasa sangat cemburu dengan perempuan yang hamil benih cinta mereka. Kira-kira sama dengan rasa cemburu dan sakit hati yang dirasakan Sara isteri Abraham tatkala ia tahu bahwa Hagar, sang pembantu hamil dari Abraham (Kej.), hal mana menyebabkan Sara diberi hak oleh Abraham untuk menindas Hagar, si Budak. Kemudian kehamilan semakin besar. Sang kekasih dari perempuan yang hamil itu juga mengalami rasa cemburu yang luar biasa. Tetapi ia tidak bisa mengatasinya. Ia hanya bisa menunggu dan menunggu. Problem seperti itulah yang coba digarap dalam film di atas tadi.

Jujur saja bahwa sesungguhnya saya sudah tidak ingat lagi bagaimana proses peleraian akhir cerita film itu. Kalau tidak salah ingat, cerita kemudian berakhir setelah anak itu lahir, walau hal itu tidak serba mulus. Sebab masih ada kerumitan baru di bagian akhir, yaitu si wanita yang mengandung itu merasa sebagai pemilik anak. Secara natural kiranya hal itu dapat dibenarkan. Tetapi tidak secara legal yuridis. Sebab secara legal dan biologis, anak itu berasal dari benih orang tua yang lain. Perempuan itu hanya meminjam rahimnya. Pokoknya rumit sekali. Saat itu, production house tempat saya bekerja, mengerjakan film tersebut untuk sebuah televisi swasta (TPI). Saat ini saya merindukannya lagi. Saya ingin menontonnya lagi. Alangkah baiknya kalau film itu ditayangkan kembali saat ini. Tetapi entah harus meminta ke mana, sebab TPI sudah tidak ada lagi.


Bandung-Yogyakarta, 01 Oktober 2016

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...