Monday, October 17, 2016

PERTOBATAN FILOSOFIS LUDWIG WITTGENSTEIN

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Sering sekali ada anggapan di antara orang-orang dewasa bahwa anak-anak dan dunianya adalah dunia yang belum selesai, sebuah dunia yang masih berproses, masih dalam proses menjadi (the process of becoming). Di satu pihak, kiranya anggapan itu ada benarnya juga sebab mnemang anak-anak sedang dalam proses menjadi dewasa dan tua. Mereka tidak pernah berhenti berkembang pada tahap sebagai anak-anak belaka, melainkan secara fisik dan rohani mereka terus bertumbuh kembang menjadi dewasa dan matang. Itu sebabnya, anak-anak dan dunianya sering sekali dianggap sebagai dua antara, dunia jembatan, menuju ke dunia berikut yang dianggap lebih mapan dan matang. Tetapi di pihak yang lain, secara filosofis eksistensial hal itu tidak benar seluruhnya juga, sebab dari segi filsafat proses tidak ada makhluk apa pun di dunia ini yang sudah selesai, melainkan semuanya selalu sedang dalam proses menjadi, termasuk juga orang-orang dewasa yang sering menganggap diri sudah jadi, sudah mapan, established. Mereka ini pun selalu dalam proses menjadi terus menerus. Bahkan dalam paham teologi proses pun, bukan hanya makhluk ciptaan saja yang sedang berproses, melainkan Allah juga selalu dalam proses, sedang berproses secara abadi. Jika dilihat dengan cara demikian, maka dunia anak-anak pun harus diakui mempunyai validitas dan otoritasnya sendiri yang harus diterima dan diakui.

Oleh karena itu, jangalah pernah menyepelekan anak-anak dan dunia anak-anak, cara berpikir, cara berbicara, cara berbahasa, sistem logika berpikir mereka. Bagaimanapun juga mereka mempunyai cara berpikir sendiri yang unik. Mengapa demikian? Sebab dunia anak-anak itu bisa saja mendatangkan efek transformatif dan efek metanoia pada manusia-manusia dewasa yang termasuk kategori filsuf besar pula. Itulah yang sesungguhnya pernah dan telah terjadi dalam diri Ludwig Wittgenstein itu. Sebab konon Wittgenstein mengalami proses pertobatan secara filosofis karena pengalaman perjumpaan dan keterlibatannya dalam dan dengan dunia anak-anak. Dunia anak telah berhasil mengubah dia. Dinamika dunia anak-anak telah mampu memunculkan pertobatan filosofis dalam diri Wittgenstein. Khususnya cara anak-anak itu memakai bahasa. Hal itu membuka sebuah bentangan baru filsafat bahasa baginya. Hal itu membuat Wittgenstein seakan-akan bisa keluar dari kemelut dan kebuntuhan yang pernah dialaminya, suatu kebuntuan yang menandai berakhirnya apa yang kini secara teknis disebut Ludwig Wittgenstein I. Sejak saat itu terbentanglah sebuah cakrawala filosofis baru. Kelak hal ini dikenal sebagai Ludwig Wittgenstein II. Hal itulah yang coba dilihat dan dibahas dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini.

Pertobatan ialah perubahan dalam sikap dan pandangan hidup. Dengan mengikuti Lonergan, Neil Ormerod membedakan beberapa jenis pertobatan yang dapat dialami oleh manusia dalam hidupnya. Yaitu pertobatan religius, moral, intelektual, psikik. Sesungguhnya Lonergan hanya menyebut tiga jenis pertobatan. Jenis yang keempat diajukan oleh Robert Doran. Dengan mengikuti kedua tokoh ini, Neil Ormerod menggaris-bawahi jenis pertobatan baru yaitu pertobatan ekologis. Gagasan pertobatan ekologis ini mula-mula diajukan oleh Paus Yohanes Paulus II dan dikembangkan lebih lanjut oleh Paus Fransiskus sekarang ini, terutama sekali dalam ensiklik-nya Laudato Si itu. Setiap orang bisa mengalami setiap jenis pertobatan itu. Atau mungkin ada juga orang yang hanya secara intensif mengalami salah satu dari padanya. Tetapi dalam hemat saya, keempat jenis pertobatan ini erat terkait satu sama lain. Jika salah satu jenis pertobatan terjadi, maka pasti akan menyusul jenis pertobatan yang lainnya. Walau hal itu tidak terjadi secara otomatis. Dalam tulisan saya kali ini, saya tidak bermaksud menguraikan tentang pelbagai macam jenis pertobatan itu.

Tujuan saya hanya sesuatu yang sederhana saja, yaitu mencoba melukiskan drama pertobatan yang terjadi dalam diri seorang filsuf yang bernama Ludwig Wittgenstein. Para filsuf juga mengalami proses pertobatan, atau metanoia dalam perjalanan hidup dan terutama karier filosofisnya. Salah satunya ialah filsuf Ludwig Wittgenstein. Kita semua mengetahui bahwa dalam sejarah filsafat ia dikenal mempunyai dua tahap dalam perkembangan pemikiran filosofisnya. Yaitu Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Pembedaan seperti itu misalnya bisa dengan sangat mudah kita lihat dan temukan dalam buku dari Prof.Kees Bertens (20...). Inti pokok dari pemikiran filosofis dalam Wittgenstein I dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat berikut ini: teori gambar dari bahasa atau makna, the picture theory of language, or of meaning. Bahwa bahasa terdiri atas pernyataan atau proposisi yang melukiskan atau menggambar dunia (realitas). Ketika kita membaca satu pernyataan tertentu maka tampak dengan jelas satu imago dalam benak kita. Inilah yang ia sebut pernyataan faktual, bahasa faktual. Hanya yang seperti ini saja yang bermakna karena dapat diverifikasi (artinya: dibuktikan kebenarannya) secara empiris. Begitulah misalnya dengan pernyataan sbb: sapi itu putih. Itu adalah sebuah fakta empiris, dan hal itu bisa dicek di padang, bahwa ada sapi putih.

Dengan patokan ini maka bahasa teologis dan bahasa etis lalu menjadi tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi (baca: isi dari pernyataan itu tidak dapat dicek untuk membuktikan dan menegaskan kebenarannya). Contoh, misalnya pernyataan teologis-iman sbb: Allah itu ada. Ini adalah sebuah proposisi religius atau teologis. Pernyataan seperti ini dianggap tidak bermakna karena tidak bisa diverifikasi secara faktual empiris. Atau contoh: Si Anu itu baik. Ini adalah sebuah proposisi etis. Proposisi seperti ini juga tidak dapat diverifikasi maka karena itu ia tidak bermakna juga. Tetapi harus segera disadari bahwa tidak bermakna tidak lantas berarti salah. Hanya tidak bermakna saja. Itupun karena memakai satu prinsip uji saja, yaitu verifikasi empiris. Akhirnya Wittgenstein kena batu sendiri. Filsafat bahasanya yang tampak keren itu menimpa kembali kepada dirinya sendiri secara sangat dahsyat dan tragis. Mengapa? Sebab semua bahasa yang ia pakai untuk menjelaskan konsep filosofisnya juga pada akhirnya tidak juga dapat benar-benar diverifikasi. Wittgenstein sendiri sungguh menyadari hal itu dalam petualangan pemikiran filosofisnya. Maka ia pun mengalami jalan buntu dan dan ia mengalami kejenuhan karena jalan buntu tersebut. Maka untuk sementara ia pun berlari dari dunia filsafat. Bahkan boleh dikatakan ia berhenti sama sekali dari dunia filsafat paling tidak untuk sementara waktu. Maka dengan ini berakhirlah sudah tahap Wittgenstein I.

Setelah berhenti dari dunia filsafat, untuk mengisi hidupnya, ia sempat mengajar anak-anak. Bayangkan, seorang Filsuf besar sekaliber Wittgenstein menyimpang jauh untuk mengajar anak-anak. Bagi saya ini adalah sesuatu hal yang sangat menarik. Bahkan boleh dikatakan bahwa ini juga adalah sesuatu yang luar biasa. Ternyata pengalaman perjumpaan dia dengan anak-anak Wittgenstein mengalami pertobatan dan mendorong dia kembali ke dalam dunia filsafat. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dalam dunia pergaulan dengan anak-anak inilah Wittgenstein akhirnya bisa menemukan sebuah dimensi baru dari filsafat bahasa itu sendiri. Jadi, selama ini, sesungguhnya ia barus menemukan dan menyadari salah satu dimensi saja dari filsafat bahasa itu. Sekarang ini, Wittgenstein bahkan banyak belajar filsafat dari dunia anak anak, khususnya dunia pemakaian bahasa anak anak.

Dalam dunia anak-anak itulah ia menemukan dan menyadari misalnya bahwa bahasa anak anak itu kaya dan kompleks sekali. Setelah merasa disegarkan lagi oleh dunia anak-anak yang menyebabkan dia menemukan sesuatu yang baru maka kini Wittgenstein kembali lagi ke dunia filsafat sebagai orang baru dengan konsep dan pandangan baru akan filsafat. Boleh dikatakan bahwa perjalanan karier filosofisnya slama ini sebagai filsuf (Wittgenstein I) membuat dia sedikit menjadi tidak suka dan bahkan juga sedikit rasa muak dengan filsafat itu (sebab berakhir dalam kebuntuan tadi). Tetapi dunia anak-anak ternyata bisa memulihkan hal itu. Dunia anak-anak bagi Wittgenstein menjadi sebuah ruang terapi filosofis baginya. Setelah sembuh lewat ruang terapi itu Wittgenstein pun kembali.

Ketika ia kembali ke filsafat sudah barang tentu ia tidak memegang lagi visi filosofisnya yang lama. Sebab sekarang ia mempunyai sebuah visi baru. Kini ia beranggapan bahwa filsafat itu tidak berguna jika tidak bisa memperbaiki pemikiran manusia tentang pertanyaan-pertanyaan penting dari kehidupan sehari-hari itu sendiri. Dengan kata lain, filsafat menurut dia akhirnya dan pada dasarnya harus bermuara secara etis, dan praktis pada hidup harian. Kalau tidak demikian, maka filsafat itu menjadi tidak bermakna sama sekali dan bahkan menjijikkan (memuakkan).

Sejak saat itulah Wittgenstein tidak lagi percaya pada picture theory of language, sebagaimana yang sudah diperjuangkannya dan dipertahankannya dalam tahap Wittgenstein I. Sekarang ia memulai sebuah tahap perjalanan filsafat baru, yang oleh para ahli sejarah filsafat sering disebut Wittgenstein II. Dalam Wittgenstein II ini ia mulai mencoba menggali relasi antara bahasa dan permainan. Inilah yang dimaksudkan dengan pertobatan atau metanoia filosofis Wittgenstein itu. Adapun inti dari cara baru filsafat ini ialah ssb: bahasa yang bermakna muncul dalam hidup manusia sebagaimana halnya mereka mengungkapkan hal-hal atau realitas secara tepat dalam artian bahasa faktual dalam tahap I, Tractatus itu. Makna kata tidak lagi tergantung pada bagaimana kata itu bisa melukiskan dunia. Sebaliknya, kini makna kata itu dikaitkan dengan bagaimana kata itu dipakai dalam satu bahasa tertentu. Jadi sekarang filsafat itu diarahkan pada situasi hidup nyata dari mana bahasa itu muncul dan dipergunakan secara nyata. Itulah yang ia sebut the language game. Masing-masing language game mempunyai aturan dan keabsahan sendiri.

Dan inilah inti pertobatan filosofis Wittgenstein itu. Jika dalam Wittgenstein I ia dengan tegas menolak pelbagai macam pernyataan teologis dan etis sebagai tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi, maka sekarang ini ia mulai bisa menerima pelbagai macam pernyataan seperti itu sebagai sesuatu yang bermakna juga. Sekarang ini ia mulai bisa menerima bahkan yakin juga bahwa kata-kata seperti Allah dan kebaikan (god and good), juga merupakan bagian yang berarti juga dari konstruksi bahasa itu sendiri. Kata-kata seperti ini termasuk dalam kategori permainan bahasa agama dan etik. Maknanya terletak dalam konteks pemakaiannya. Jika dahulu ia ngotot memandang yang tologis dan etis sebagai tidak bermakna, maka sekarang ini ia mengatakan bahwa istilah-istilah etis dan teologis itu tidak usah dibuang atau dimurnikan dalam rangka membentuk sebuah bahasa yang lebih sempurna. Sekarang dalam pandangan Wittgenstein, istilah-istilah religius dan etis itu baru dikatakan tidak bermakna jika mereka dilepaskan dari konteks pemakaiannya. Orang tidak dapat lagi serta-merta bahwa hal itu repot. Kini, dalam tahap ini, Wittgenstein itu lebih ramah terhadap teologi, agama dan etika. Hal itu terjadi, berkat jasa dunia anak anak.


Bandung, 28 Agustus 2015

Daftar Pustaka

Bertens, Kees,
Ormerod, Neil and Cristina Vanin, “Ecological Conversion: What Does it Mean?” in Theological Studies, 2016, vol.77 (2), 328-352.
Coppleston, Frederick,
Lonergan, Berjard J.F., 1972. Method in Theology, London: Darton, Longman and Todd).
Paus Fransiskus, 2015. Laudato Si, Jakarta: Obor.
Doran, Robert M., and Robert C.Crocken (ed), 2005. Philosophical and Theological Papers 1965-1980, Toronto: University of Toronto.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...