Sunday, October 16, 2016

KISAH FILSAFAT (THE STORY OF PHILOSOPHY)

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Di perpustakaan kami di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, ada dua buah buku dengan judul yang persis sama. Judulnya ialah The Story of Philosophy. Hal ini menarik karena, mereka lebih menekankan the story dan bukan the history. Tentu saja penekanan dan cara pandang seperti itu bisa saja menimbulkan diskusi dan perbincangan yang panjang. Tetapi untuk sementara hal itu tidak saya bahas lebih lanjut di sini. Saya langsung saja menukik kepada kedua buku tadi. Buku yang satu adalah hasil karya seorang yang bernama Bryan Magee. Buku ini termasuk cukup tebal. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebuah edisi lux (gambar ilustrasi berwarna). Buku ini diterbitkan oleh penerbit Kanisius pada tahun 2008. Buku yang satunya lagi berasal dari beberapa orang pengarang yaitu Christoph Delius, Matthias Gatzemeier, Deniz Sertcan, Kathleen Wuenscher. Buku yang kedua ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini tidak terlalu tebal. Buku yang kedua ini mempunyai sebuah keterangan sebagai judul kecil: From antiquity to the Present (Mulai dari jaman Kuno, sampai pada masa kini).

Bagi saya kedua buku ini menjadi sangat menarik karena ada kemiripan dalam hal judul dengan sebuah buku yang sudah cukup tua usianya, sebab buku ini sudah terbit pada tahun 1926. Buku ini berasal dari seorang pengarang yang bernama Will Durrant. Tetapi berbeda dengan buku dari Durrant ini, kedua buku yang sudah disebutkan di atas tadi, mempunyai apresiasi yang besar dan tinggi terhadap seluruh tahapan perkembangan sejarah filsafat Barat. Mulai dari jaman Yunani Kuno, hingga ke masa modern dewasa ini. Tidak ada tahap yang dihilangkan, atau dianggap tidak ada sama sekali. Hal itu misalnya sangat berbeda dari Will Durrant. Dalam buku Durrant ini kita tidak akan menemukan ulasan mengenai abad pertengahan. Durrant sama sekali tidak memasukkan abad pertengahn tersebut ke dalam bukunya. Durrant memulai kisah filsafatnya dari Yunani Kuno, itupun hanya terbatas pada Sokrates dan Plato dan Aristoteles saja. Sesudah mengulas filsafat Yunani, ia langsung loncat ke abad keenambelas, yaitu mulai dengan filsafat modern, yang ditandai dengan kemunculan tokoh seperti Cartesius itu. Oleh banyak orang dewasa ini, Cartesius memang dipandang sebagai Bapa Filsafat modern itu sendiri. Oh ya, buku dari Will Durrant itu, atas permintaan dari penerbit Mizan, sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, walaupun hingga saat ini, belum juga diterbitkan menjadi buku (padahal sudah diterjemahkan kira-kira sepuluh tahun yang lalu).

Lalu muncul sebuah pertanyaan historis kritis. Mengapa kurun abad pertengahan itu dihilangkan oleh Will Durrant? Di sini saya mau menekankan satu hal. Bahwa Durrant mungkin sangat dipengaruhi oleh pandangan kaum rasionalis-pencerahan yang sangat mendewakan rasio dan menyingkirkan segala sesuatu yang lain yang dianggap tidak rasional. Memang dari sudut pandang kaum rasionalis pencerahan ini, masa kejayaan peradaban pemikiran filsafat barat itu hanya ditandai oleh dua tonggak besar saja. Tonggak pertama, ialah filsafat Yunani, dan tonggak kedua ialah filsafat Barat modern yang dimulai oleh Descartes. Masa atau kurun yang terletak di antara kedua tonggak itu adalah jaman kegelapan, the dark Ages. Karena terletak di antara kedua tonggak besar peradaban tersebut, maka kurun antara itu tadi, disebut medium aevum, middle ages, abad pertengahan, abad yang terletak di antara kedua tonggak besar peradaban filsafat.

Secara kebetulan sekali bahwa kurun itu ditandai dengan kehadiran gereja yang cukup mencolok. Peranan gereja dalam kehidupan masyarakat sangat kuat, hampir di segala bidang. Tidak hanya bidang keagamaan, melainkan juga bidang politik, hukum, militer, bahkan ekonomi. Nah kurun inilah yang tidak dipandang oleh Durrant sebagai kurun yang significan dalam perjalanan sejarah filsafat barat itu sendiri. Gereja dianggap tidak rasional, karena mendasarkan penalaran hidupnya atas dasar wahyu. Cukup mengherankan bahwa seorang sejarah Gereja Katolik yang ternama, Henri Daniel-Rops, tampaknya seperti menerima begitu saja nama the Dark Ages itu, sebab salah satu judul buku sejarah gerejanya yang sangat monumental itu ialah The Church in the Dark Ages (terdiri atas dua volume). Dan memang kurun ini adalah kurun gereja.

Di hadapan fakta seperti itu, saya lalu bertanya secara kritis: Apakah gereja memang tidak mempunyai sumbangan apapun terhadap perkembangan peradaban barat? Apakah gereja itu hanya sebuah tonggak yang tidak bermakna sama sekali? Saya tidak sependapat dengan hal itu. saya lebih condong kepada pendapat para ahli sejarah gereja khususnya sejarah gereja katolik. Saya sebut dua nama secara khusus di sini. Pertama, W.L.Helwig, dan kedua Henri Daniel-Rops. Pada umumnya mereka berpandangan bahwa, gereja mempunyai peranan yang besar dalam sejarah perkembangan pemikiran filosofis barat. Helwig misalnya cukup tegas mengatakan bahwa justu orang-orang Gereja-lah yang menjadi titik sambung yang tidak terputus antara peradaban Yunani ke peradaban Barat modern. Ia berpendapat bahwa hampir tidak mungkin dibayangkan ada dan terjadinya peradaban Barat modern, jika tidak ada peranan gereja yang berhasil menyimpan terus warisan agung peradaban lama. Begitulah misalnya, peranan para tokoh seperti Agustinus dan Thomas Aquinas yang dianggap sebagai benang merah utama yang menjadi jembatan kultural antara dunia kuno dan dunia Barat modern itu sendiri. Dengan cukup seimbang para penulis sejarah Gereja berpendapat bahwa Gereja, selama abad kegelapan itu, tetap berfungsi sebagai mercu suar yang memberi panduan arah bagi perjalanan dan perkembangan peradaban barat itu sendiri.

Maka agak sangat mengherankan kalau muncul orang seperti Will Durrant yang sepertinya mengabaikan begitu saja tonggak antara itu. Durrant sama sekali tidak berbicara tentang Agustinus, Bonaventura, Thomas Aquinas, Dun Scotus, William Ockham, dll. Bahkan Durrant juga sama sekali tidak berbicara tentang Neoplatonisme. Bagi Durrant, semuanya itu seakan-akan tidak ada saja. Maka dari dunia Yunani, ia langsung meloncat ke abad modern. Sikap Durrant ini, cukup ironis jika dibandingkan dengan sikap Bertrand Russel yang tidak pernah mengaku diri sebagai Kristiani (entah Protestan maupun Katolik). Bagi Russel yang tidak Kristiani sekalipun, dan bahkan menegaskan sikapnya itu dengan menulis buku menarik, mengapa aku bukan seorang Kristen?, dalam buku sejarah filsafat Baratnya yang juga sudah monumental, tetap memberi perhatian yang besar kepada kurun abad pertengahan tersebut.

Untunglah bahwa sikap Durrant ini tidak mewabah sehingga menjadi semacam pelecehan terhadap fakta sejarah itu sendiri. Cukup banyak ahli sejarah filsafat barat yang tetap memberi porsi yang penuh terhadap kurun abad pertengahan itu sendiri. Bahwa pada akhir abad keduapuluh silam, muncul dalam Gereja Katolik, apa yang disebut gerakan neo-thomisme itu, bagi saya itu adalah sebuah pertanda bahwa kurun abad pertengahan itu mempunyai daya pengaruh dan ilham yang kuat dalam sejarah pemikiran barat itu sendiri. Lagipula, berdasarkan studi pastor J.P.Migne, kita tahu bahwa para bapa Gereja baik Yunani (Patrologia Greeca) dan Latin (Patrologia Latina) telah menghasilkan pemikiran yang sangat cemerlang baik di bidang teologi maupun filsafat. Sadar akan semuanya itu, maka saya berpendapat bahwa sikap Durrant itu adalah sebuah sikap pelecehan ilmiah yang tidak sepatutnya terjadi. Jelas itu adalah sebuah kebohongan ilmiah publik dan sekaligus juga pembodohan publik.

Bandung, 10 Oktober 2016

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...