Wednesday, December 3, 2014

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 113

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Tidak jarang kelompok kecil di tengah sebuah masyarakat mayoritas, dilanda oleh gejala kompleks rendah diri (inferioritas). Hal itu adalah sesuatu yang sangat wajar saja dalam masyarakat manusia. Ada saja kelompok yang seperti secara tidak sadar dikorbankan atau dipinggirkan dalam proses-proses sosial dan politik dan ekonomi dari sebuah tatatan masyarakat. Persoalannya sekarang ialah, apakah bagi kelompok orang seperti ini sudah tidak ada harapan lagi? Apakah mereka harus berputus-asa begitu saja karena tirani dan kesewenang-wenangan mayoritas? Mungkin ada yang berpandangan pesimistis lalu berkata bahwa dalam situasi seperti itu, sudah tidak ada harapan apa pun bagi mereka. Tetapi si Pemazmur dalam Mazmur 113 ini memberikan sebuah pandangan yang lain. Ia menegaskan bahwa sesungguhnya masih ada peluang sebuah jalan keluar. Adalah Tuhan yang meninggikan orang yang rendah. Itulah yang menjadi judul dari Mazmur ini: “Tuhan meninggikan orang rendah.” Tuhanlah yang menjadi sumber dan dasar pengharapan itu.

Tetapi sebelum melangkah lebih lanjut, terlebih dahulu saya memberikan beberapa catatan awal yang menarik yang kiranya bisa membantu kita dapat memahami dan menikmati Mazmur 113 ini. Mazmur ini termasuk sangat singkat, yaitu hanya mencakup 9 ayat saja. Karena termasuk sangat singkat maka saya tidak akan membaginya ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil, melainkan saya akan mencoba melihat dan memahaminya sebagai satu kesatuan yang utuh saja.

Sebagaimana halnya kedua mazmur terdahulu (mazmur 111 dan 112), mazmur 113 inipun termasuk dalam mazmur hallel. Bedanya adalah bahwa dalam mazmur 113 ini, seruan Hallel itu ada pada bagian awal dan bagian akhir dari mazmur tersebut. Jadi, mazmur ini dibingkai oleh seruan halleluya itu, suatu hal yang tidak ada pada kedua mazmur terdahulu.

Seruan halleluya itu sendiri tidak lain berarti, pujilah Tuhan, Yahweh. Jadi, kiranya menjadi cukup jelas bahwa ini adalah sebuah ajakan kepada manusia (siapa saja) untuk memuji Tuhan. Seruan awal hallel itu dilanjutkan secara eksplisit dalam ayat 1b di mana ajakan pujian itu diulang kembali dan masih akan diulang lagi pada bagian akhir ayat 1c. Hal yang baru di sini ialah bahwa yang diajak untuk melakukan pujian itu adalah hamba-hamba Tuhan. Siapakah yang dimaksudkan dengan ungkapan ini? Mungkin semula ungkapan itu mengacu kepada kaum Levita saja, yang memang mempunyai tugas khusus di bait suci untuk mengidungkan kidung pujian di Bait Allah; semacam kelompok paduan suara (para cantores, yang berbeda dari para lectores). Tetapi lambat laun ungkapan itu juga bisa dipahami sebagai suatu istilah yang mengacu kepada Israel sebagai satu kesatuan dan keseluruhan. Israel itulah yang dimaksud dengan hamba-hamba Tuhan. Tetapi akhirnya, ungkapan itu juga bisa mengacu kepada semua makhluk ciptaan. Semua makhluk ciptaan itulah yang diajak untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Dalam ayat 2-3 kita dapat melihat sebuah struktur yang menarik yang dapat digambarkan sbb: 2a//3b dan 2b//3a. Maksudnya, ayat 2a sejajar dengan 3b dan 2b sejajar dengan 3a. Apa yang diungkapkan dalam 2a diulang lagi dalam 3b, dan apa yang diungkapkan 2b diulang lagi dengan ungkapan lain dalam 3a (fenomena paralelisme). Intinya ialah, ajakan untuk memuji dan memuliakan Allah secara tiada henti-hentinya. Dan hal itu memang seharusnya dan sepantasnya dilambungkan oleh semua makhluk hidup.

Selanjutnya dalam ayat 4-9 diberikan dua alasan untuk ajakan memuji Tuhan tersebut. Alasan pertama ada dalam ayat 4. Yang diangkat sebagai alasan di sini menyangkut martabat eksistensi Tuhan itu sendiri. Kita memuji Tuhan karena Tuhan itu mahatinggi; sedemikian tingginya sampai ia mengatasi segala bangsa (yang terpikirkan secara real-politik saat itu ialah Mesir, Babel, Asyur); kemuliaan Tuhan mengatasi langit. Kemudian dalam ay.5-6 kita menemukan sebuah reaksi iman Israel dengan Tuhan. Dengan sebuah pertanyaan retoris dalam ayat 5, si pemazmur menegaskan bahwa Tuhan itu berdiam di tempat yang sangat tinggi. Dari tempat yang tinggi itulah Tuhan rela tunduk membungkuk untuk memperhatikan langit dan bumi. Jadi, tempat tinggal yang jauh dan tinggi itu tidak berarti bahwa Allah tidak peduli. Berdasarkan ayat ini kita tidak dapat dan tidak boleh menyimpulkan tentang paham deisme (bahwa Allah ada, tetapi Allah itu tidak berbuat apa-apa lagi terhadap makhluk ciptaan). Sebaliknya di sini, kita melihat bahwa Allah itu dari tempat tinggalnya yang tinggi, tetap menaruh perhatian dan kepedulian atas semua makhluk ciptaanNya.

Dalam ayat 7 kita menemukan alasan yang kedua. Alasan yang ini adalah sebuah alasan etis, yang bertolak dari perbuatan Tuhan sendiri. Kita harus memuji Tuhan karena Tuhan telah menegakkan orang yang hina dina, dan mengangkat orang yang miskin. Jadi di sini disebutkan tiga kelompok orang yang diangkat oleh Tuhan, yaitu orang yang hina dina, orang yang miskin, dan perempuan yang mandul (ay.9). masing-masing disebutkan dari mana mereka itu telah diangkat oleh Tuhan. Orang yang hina dina (mungkin orang yang terkena penyakit kusta, luka borok seperti Ayub itu) dari dalam debu; orang yang miskin dari lumpur; perempuan mandul dari keadaan mereka yang serba tersingkirkan. Dalam ayat 8 dilukiskan bahwa setelah mereka diangkat Tuhan dari kondisi kerendahan mereka, lalu akhirnya Tuhan menempatkan mereka di antara para bangsawan. Begitu juga halnya dengan perempuan mandul, yang karena mandul tidak mempunyai go’el (pembela, penebus, penyelamat) dalam hidup ini. Tetapi Tuhan sendiri sudah berkenan menjadi Go’el bagi dia. Ia menjadikan perempuan mandul menjadi penuh sukacita sama seperti halnya para ibu yang telah melahirkan anak-anak. Atas semuanya itu, sekali lagi si pemazmur menyerukan agar kita memuji dan memuliakan Tuhan. Dengan nada yang terakhir ini, kita bisa melihat kesejajaran nada antara mazmur ini dan kidung Hana (1Sam.2:1-10) yang kemudian digemakan kembali dalam Kidung Maria yang amat terkenal itu, Magnificat (Luk.1:46-55).


Yogyakarta, 01 Agustus 2014.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...