Saturday, October 4, 2014

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 112

Oleh: Fransiskus Borgias M.,

Mana pertanyaan yang benar: apa sumber kebahagiaan hidup manusia? Ataukah siapa sumber kebahagiaan hidup manusia? Pertanyaan yang dipilih akan sangat menentukan warna, pilihan, dan orientasi hidup manusia. Ada yang memilih pertanyaan yang pertama. Tetapi ada juga manusia yang memilih pertanyaan yang kedua. Rupanya si pemazmur yang menghasilkan mazmur 112 ini lebih condong memilih pertanyaan kedua. Maka apa yang bisa membahagiakan dia bukanlah terutama benda, atau barang, melainkan orang, atau pribadi, tetapi bukan pribadi manusia, melainkan pribadi Tuhan sendiri. Kebanyakan kali terjadi bahwa orang mengorientasikan hidupnya untuk mencari sumber kebahagiaan hidupnya pada apa, yaitu pada benda, pada materi. Dibutuhkan kearifan hidup agar orang bisa mencapai suatu tahap kesadaran bahwa yang sungguh membahagiakan hidup manusia di dunia ini adalah Tuhan Allah sendiri. Mungkin itulah sebabnya di dalam injil dikatakan bahwa carilah dahulu Kerajaan Allah dan segala sesuatu yang lain akan ditambahkan kepadamu. Kesadaran hidup seperti itulah yang coba dibahas dalam mazmur 112 ini.

Tetapi sebelum melangkah lebih lanjut, terlebih dahulu saya mau membahas beberapa hal penting yang kiranya dapat membantu proses penjelasan dan pemahaman akan mamzur ini. Judul mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Bahagia orang benar.” Mazmur ini termasuk cukup pendek, yaitu hanya mencakup 10 ayat saja. Karena teks dalam Alkitab kita tidak memberi tanda-tanda mengenai pembagian, maka di sini saya akan mencoba melihat dan membahasnya sebagai satu kesatuan utuh saja. Tiga mazmur ini, mulai dari mazmur 111 sampai mazmur 113, sama-sama dimulai dengan seruan Haleluya. Itulah sebabnya para ahli mengatakan bahwa ketiga mazmur ini termasuk dalam kategori mazmur halel. Di bagian berikut ini saya akan mencoba melihat dinamika isi mazmur ini dari ayat demi ayat yang ada.

Sesudah seruan haleluya pada awal, selanjutnya mazmur ini dalam ayat 1 dilanjutkan dengan penetapan mengenai apa sumber kebahagiaan manusia. Menurut penetapan ayat 1 ini, sumber kebahagiaan manusia adalah dua, yaitu jika orang takut akan Tuhan dan jika orang sangat suka akan segala perintah-Nya. Jika orang memenuhi kedua ketetapan tersebut maka akan muncul beberapa hasil atau akibat yang tidak hanya berlaku bagi dirinya sendiri saja, melainkan juga bagi orang-orang lain di sekitarnya. Misalnya, dalam ayat 2 dikatakan bahwa anak cucunya akan berjaya di muka bumi ini. Tidak hanya itu saja, rumahnya penuh dengan harta dan kekayaan (ayat 3). Rumah di sini bisa dipahami secara harfiah yaitu rumah kediaman, tetapi bisa juga dipahami sebagai kaum keturunan (atau dinasti). Jika dipahami dalam artian ini, maka berkat itu berkelanjutan dan berkepanjangan, sebab juga mencakup kaum keturunan. Tidak hanya harta kekayaan, melainkan juga kebajikan tetap menyertai dia untuk selama-lamanya. Orang seperti ini tidak akan pernah dilanda kegelapan (ay.4); orang yang adil biasanya adalah orang yang pengasih dan penyayang. Orang menaruh belas kasihan akan mengalami kemujuran dalam hidupnya (ay.5); orang seperti ini akan rela membantu orang lain dan tidak bermaksud memeras atau makan riba melainkan “melakukan urusannya dengan sewajarnya”.

Selanjutnya dikatakan bahwa orang seperti ini tidak akan goyah untuk selama-lamanya, dan ingatan akan dia tidak akan lenyap dari muka bumi ini (ay.6). Sebab orang akan terus mengenang perbuatan baik dia. Seperti kata pepatah: gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belalai. Manusia mati meninggalkan amal dan perbuatan baiknya, kebaikan dan kebajikannya. Orang seperti dikatakan akan hidup dengan tenang, dan tidak bisa dikejutkan dengan berita apa pun, juga termasuk berita celaka; itu semua terjadi karena ia percaya kepada Tuhan (ay.7). Itulah sebabnya ia dengan tenang menghadapi para musuhnya dan bahkan ia sama sekali tidak takut akan mereka (ay.8).

Orang seperti ini adalah orang yang bermurah hati karena ia suka menolong orang miskin, sehingga kebajikan hidupnya akan tetap dikenang untuk selamanya. Kekuatan dan kewibawaannya (yang dalam hal ini dilambangkan dengan tanduk) semakin bertambah besar dan tinggi (ay.9). Namun demikian, inilah kenyataan hidup: selalu saja ada orang di sekitar kita yang merasa iri terhadap mutu hidup orang seperti ini. Itulah orang fasik. Mereka tidak dapat melihat keberhasilan dan prestasi hidup orang yang benar. Mereka menjadi sakit hati karenanya. Dalam sakit hatinya mereka mencoba menggertakkan gigi, tentu dengan maksud untuk mengancam dan menakut-nakuti, tetapi justru kertakan gigi itu membawa kehancuran bagi dirinya sendiri. Memang pada akhirnya keinginan orang fasik akan mendatangkan kehancuran bagi orang fasik itu sendiri (ay.10).


Yogyakarta, 01 Agustus 2014

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...