Saturday, October 4, 2014

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 111

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Di pelbagai tempat dalam Kitab Suci dibentangkanlah kepada kita puji-pujian akan kebajikan Allah. Kebajikan dan kebaikan Allah itu tampak dalam seluruh bentangan karya ciptaan-Nya. Karya ciptaan Allah menjadi corong yang mewartakan dengan sangat lantang kebajikan dan kebaikan Tuhan bagi kita umat manusia. Itulah sebabnya ketika kita memandang karya ciptaan Tuhan maka muncul semacam sensus-religiosus (cita-rasa keagamaan, perasaan keagamaan) dalam diri kita yang mendorong kita kepada tindakan dan aksi untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Pemahaman seperti ini sudah ada sejak dahulu kala; sudah ada pada santo Agustinus dari Hippo, dan terus dipertahankan oleh orang-orang dewasa ini seperti Romano Guardini dan Rudolf Otto. Intuisi dasar religius seperti itulah yang dapat kita lihat dan rasakan dalam Mazmur ini.

Tetapi sebelum melangkah lebih lanjut, sebagaimana biasanya, terlebih dahulu saya akan mencoba mengemukakan beberapa hal teknis terkait upaya pemahaman dan penjelasan akan mazmur ini. Judul mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Kebajikan Allah”. Mazmur ini dimulai dengan seruan Haleluya, yaitu seruan untuk memuji (Halel) Tuhan (Yahweh). Mazmur ini termasuk cukup pendek, yaitu hanya mencakup 10 ayat saja. Oleh karena itu, saya tidak akan membaginya menjadi beberapa bagian, melainkan hanya akan diuraikan sebagai satu kesatuan utuh saja.

Langsung dalam ayat 1 si pemazmur menyatakan niatnya yang agung untuk bersyukur kepada Allah. Ia mau melakukan hal itu di tengah jemaat dan orang-orang benar. Kiranya itulah konteks yang baik dan tepat bagi pujian bagi Allah, walau tidak dapat disangkal bahwa masih ada pelbagai macam konteks yang lain. Ayat 2-9 membentangkan alasan bagi niatnya yang terungkap dalam ayat 1 di atas tadi. Dalam ayat 2-4 secara khusus ia menekankan keagungan dan semarak karya-Nya. Karya ciptaan itu pantas diselidiki oleh manusia (ay.2). Karya Tuhan senantiasa agung dan semarak dan ditandai keadilan untuk selama-lamanya (ay.3). Semuanya itu dijadikan Tuhan atas dasar kasih dan sayangnya bagi umat manusia; perbuatan Tuhan yang penuh keajaiban itu menjadi peringatan bagi kita semua, yaitu yang mengingatkan kita senantiasa akan Tuhan itu sendiri (ay.4). Kemudian dalam ayat 5-9 ia memusatkan perhatian pada apa yang telah diperbuat oleh Tuhan sang Pencipta itu. Misalnya dalam ay.5, dilukiskan bahwa Tuhan memberi rezeki kepada orang yang takut akan Dia. Tuhan itu adalah setia, dan dalam kesetiaanNya Ia tidak lupa akan perjanjianNya. Tuhan itu bertindak bagi umat-Nya, yaitu Ia memberikan segala sesuatu dari segala bangsa kepada umat-Nya, dan hal itu membuktikan kekuatan dan kedahsyatan perbuatanNya (ay.6). Semua perbuatan dan karya Tuhan ditandai dengan kebenaran dan keadilan; tidak ada yang bisa melawan perintahNya (ay.7), sebab titahNya itu akan berlangsung untuk selama-lamanya; semua itu menjadi mungkin karena dilakukan dalam kebenaran dan kejujuran (ay.8).

Dalam ay.9 kita temukan sesuatu yang menarik perhatian, karena di sini pemazmur berbicara tentang kebebasan. Memang di satu pihak, Tuhan telah mengikat umatNya dengan sebuah ikatan perjanjian yang akan berlangsung untuk selama-lamanya, tetapi serentak di pihak yang lain, Tuhan juga memberikan kebebasan kepada manusia itu sendiri, apakah ia mau taat atau tidak. Rupanya si pemazmur mengandaikan bahwa manusia dapat dan bahkan harus mampu melaksanakan kebebasannya secara bertanggung-jawab. Hanya kebebasan yang dilaksanakan secara bertanggung-jawab itulah yang bisa bermakna bagi hidup manusia. Menarik sekali bahwa dalam ayat 10 pemazmur memakai sebuah tema yang sangat umum dalam sastra hikmat Israel kuno, yaitu bahwa permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan. Artinya, sikap takwa itulah yang menjadi titik awal, prasyarat, dan persemaian yang baik tempat bisa tumbuhnya hikmat. Hikmat tidak mungkin bisa tumbuh tanpa sikap dan rasa takut akan Tuhan. Bahkan menurut mazmur ini, orang yang takut akan Tuhan, itulah pertanda bahwa orang itu adalah orang yang berakal budi baik (ay.10b).

Di sini kita dapat menemukan sebuah paham dan pandangan mengenai akal budi manusia: akal budi manusia diabdikan kepada pelaksanaan iman akan Tuhan. Akal budi tidak lagi dibaktikan sebagai medium untuk memberontak terhadap Tuhan (seperti halnya para filsuf ateis modern dewasa ini). Jika manusia memakai akal budinya dengan baik, maka itu akan menjadi syarat yang penting dan mendasar bahwa Puji-pujian kepada Tuhan akan berlangsung selama-lamanya. Akal budi manusia tidak akan dipakai secara sembarangan sebagai alat pemberontakan. Jelas ini adalah sebuah filsafat manusia yang sudah sangat progresif yang telah diajukan oleh si pemazmur ini. Kita tidak usah menunggu refleksi filsafat manusia modern abad keduapuluh ini untuk dapat memahami hal-hal tadi, sebab si pemzmur tadi sudah membentangkannya sejak sangat lama dan menjadi warisan rohani dan iman kita.


Yogyakarta, 06 Agustus 2014

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...