Monday, June 2, 2014

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 107

Oleh: Fransiskus Borgias M


Manakala kita manusia sudah mengalami sebuah peristiwa penting yang mendatangkan keselamatan dalam hidup kita, seperti sembuh dari sakit, luput dari celaka maut, maka secara spontan kita akan melambungkan lagu syukur dan pujian kepada Tuhan sang penyelenggara hidup ini. Berkat kasih setia dan penyelenggaraan Dia-lah kita merasa dapat selamat, dapat terbebaskan. Masyarakat Jawa mengungkapkan hal itu dengan sebuah ungkapan yang terkenal: Untung. Setelah rumah kebobolan maling, semua barang berharga digondol maling, sang pemilik masih sempat berkata: Untung, mereka tidak merampas nyawa kita. Fenomena seperti ini ada dalam hampir semua suku bangsa yang ada di muka bumi ini, hanya mungkin saja istilahnya yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengalaman seperti itulah yang coba dilukiskan dalam mazmur ini.

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh terlebih dahulu saya coba membeberkan beberapa hal teknis terkait dengan upaya penjelasan dan pemahaman akan mazmur ini. Judul mazmur ini dengan sangat tepat memadatkan ide dasar yang sudah diungkapkan dalam alinea pertama di atas tadi: nyanyian syukur dari orang-orang yang ditebus Tuhan. Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu mencapai 43 ayat. Saya akan membaginya dalam beberapa bagian besar berikut ini. Bagian I meliputi ayat 1-3. Bagian II meliputi ayat 4-9. Bagian III meliputi ayat 10-22. Bagian IV meliputi ayat 23-32. Bagian V meliputi ayat 33-38. Bagian VI meliputi ayat 39-43. Saya akan mencoba membahas bagian-bagian itu satu persatu dalam bagian berikut di bawah ini.

Bagian I, seperti Mazmur yang terdahulu dimulai dengan sebuah refrein yang terkenal dari Mazmur 136 itu: “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasannya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”. Jadi di sini orang hidup dalam kesadaran akan kebaikan Tuhan dan akan kasih setia-Nya yang bersifat kekal dan abadi. Pemazmur menghendaki agar hal itu disampaikan kepada orang-orang tebusan, kepada orang yang dikumpulkan dari segala negeri. Dengan kata lain, hal ini hendaknya disampaikan kepada segala orang yang dipanggil dan diselamatkan Tuhan sendiri. Itulah orang-orang pilihan Tuhan.

Pelukisan rinci mengenai orang-orang seperti ini masih diteruskan dalam Bagian II. Tuhan membebaskan dan menyelamatkan orang-orang yang tersesat di gurun, yang tidak dapat menemukan jalan yang benar dan yang karena itu terancam mati kelaparan dan kehausan. Tuhan menuntun orang-orang seperti itu menuju ke kota hunian manusia, sebab di sanalah mereka bisa selamat, memperoleh makanan dari para penghuni kota. Pemazmur berharap agar orang-orang yang diselamatkan Tuhan memuji dan memuliakan Tuhan karena ia baik dan kasih setia-Nya bersifat kekal dan abadi.

Kisah penyelamatan dan pembebasan anonim itu artinya tidak secara spesifik tertuju kepada orang-orang Israel saja, dilanjutkan terus dalam Bagian III yang cukup panjang. Di sana dilukiskan bahwa ada orang yang dihukum Tuhan karena pemberontakan mereka. Tetapi ketika mereka berteriak meminta tolong maka Tuhan pun akan segera menolong dan membebaskan mereka dari kegelapan dan belenggu mereka. Jadi, hukuman Tuhan bukanlah kata terakhir. Kasih setia Tuhan selalu lebih besar dari pada pelanggaran dan dosa manusia. Lagi-lagi pemazmur berharap agar mereka itu berkenan memuji Tuhan karena karya-Nya yang ajaib yang mendatangkan pembebasan. Lalu dilukiskan model penderitaan yang lain yaitu sakit berat. Mereka ini pun ditolong oleh Allah bila mereka meminta tolong kepada-Nya. Lalu muncul lagi refrein tetap yang menegaskan agar mereka itu memuji dan memuliakan Tuhan.

Dalam Bagian IV ini dilukiskan karya Tuhan yang lain yaitu misteri-misteri laut yang luas, dalam, dan berombak (bergelombang), yang penuh dengan badai dan taufan yang ganas dan yang memusingkan dan memabukkan para pelaut dan para petualang. Tetapi jika mereka berseru kepada Tuhan maka mereka akan selamat. Hal itu mendatangkan sukacita dan tibalah mereka di pelabuhan yang aman dan tenang. Sebagai muaranya mereka pun bersyukur kepada Tuhan, memuji dan memuliakan nama Dia.

Dalam Bagian V ini kita melihat karya paradoks Tuhan. Sungai menjadi kering. Mata air menjadi tanah gersang. Tanah subur menjadi asin. Itu semua terjadi karena kejahatan para penghuninya. Jadi, di sini ditegaskan bahwa sikap etis manusia berdampak pada bencana dan krisis ekologis. Tidak ada sikap etis yang bersifat netral. Sebaliknya di tempat lain Tuhan justru berbuat yang kebalikannya. Gurun menjadi kolam, tanah kering menjadi mata air. Sebagai penghuninya Tuhan menempatkan orang yang miskin dan rendah hati. Dengan cara itu Tuhan membalikkan tata dunia. Mereka bertani dengan sukses di sana. Tuhan memberkati mereka sehingga mereka sehat dan berkembang biak dengan baik, baik mereka sendiri maupun juga ternak mereka.

Akhirnya dalam Bagian VI kita melihat suatu pelukisan kemerosotan pasca sukses. Hidup tidak selalu di atas. Tidak jarang terjadi bahwa sesudah mencapai sukses tertentu orang bisa mengalami kegagalan. Hidup ini memang ada ups and down-nya. Hal itu terjadi karena faktor usia, dan juga faktor celaka dan duka. Juga karena hukuman Tuhan atas mereka. Orang tinggi dihukumnya tetapi yang hina-dina diperhatikannya. Hal ini serta-merta mengingatkan kita akan kidung Maria dan Hana itu. Hal itu mendatangkan sukacita besar bagi orang-orang benar. Sadar akan hal itu semuanya, si pemazmur pun mengajak semua pendengar dengan sebuah pertanyaan retoris: siapa yang mempunyai Hikmat? Kalau orang mempunyai hikmat semoga dengan itu orang tersebut berpegang pada hikmat itu dan hanya memperhatikan kerahiman Allah saja dalam hidup ini. Itulah kebahagiaan. Itulah Shalom.


Dempol, awal Desember 2013

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...