Thursday, December 5, 2013

MENIKMATI MAZMUR 102

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hidup adalah samsara. Demikian falsafah sekelompok orang tertentu di dunia ini. Manusia tidak pernah bisa luput dari pengalaman derita. Pasti dalam hidupnya manusia pernah mengalami derita. Orang bisa memberi bermacam ragam reaksi di hadapan derita dan sengsara hidup. Ada reaksi mengutuk dan menjadi putus asa. Ada reaksi mengutuk tetapi orang itu lalu menjadi tegar sebagai orang yang tidak bisa lagi hidup dalam iman, hidup sebagai orang yang percaya. Tetapi ada juga reaksi orang yang percaya dan sepenuhnya ia berserah diri kepada misteri penyelenggaraan ilahi dalam dan atas hidupnya. Reaksi model yang pertama ialah fatalisme, dan reaksi model yang kedua adalah ateisme praktis ala filsuf Prancis-Aljazair, Albert Camus itu (yakni hidup seakan-akan Allah itu tidak ada; atau apakah Allah ada atau tidak, sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi orang yang bersangkutan). Dan model reaksi yang ketiga adalah model reaksi orang yang tetap tekun dan saleh beriman kendati sengsara dan derita hidup, sebuah reaksi yang mendapat model dasarnya dalam Kitab Ayub itu. Kiranya apa yang dilukiskan dalam mazmur 102 ini adalah model reaksi yang ketiga itu. Oleh karena itu, saya menganggap sangat penting bagi kita untuk direnungkan dan diresapkan bersama agar dapat kita hayati juga dalam ruang lingkup pengalaman iman dan rohani kita sendiri yang pasti tidak jarang dilanda kegelapan dan cobaan yang tidak ringan untuk diatasi dan diarungi.

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu saya mau memberikan beberapa catatan teknis tentang mazmur ini. Pertama, judul mazmur ini dalam Alkitab kita ialah, “Doa minta tolong dan doa untuk Sion”; judul ini menegaskan sekali lagi tendensi dasar yang sudah dikatakan dalam alinea pertama di atas tadi. Kedua, Mazmur ini termasuk cukup panjang yaitu terdiri atas 29 ayat. Ketiga, untuk memudahkan uraian dan pemahaman saya akan membagi mazmur ini dalam beberapa bagian berikut ini. Bagian I terdiri atas ayat 1-3; Bagian II terdiri atas ayat 4-12; Bagian III terdiri atas ayat 13-23; Bagian IV meliputi ayat 24-25; Bagian V meliputi ayat 25-29. Dalam bagian berikut ini saya akan mencoba mulai dengan melihat Bagian pertama.

Dalam ayat 1 ada sebuah penegasan tentang apa yang menjadi isi dari seluruh mazmur ini. Yaitu bahwa mazmur ini adalah doa seorang sengsara, ketika ia sedang berada dalam situasi yang paling parah dalam penderitaannya. Dan dalam keadaan seperti itu ia datang berserah diri kepada Tuhan. Dalam ayat 2-3, barulah dimulai secara tegas doa itu sendiri dengan sebuah permohonan agar Tuhan sudi mendengarkan doanya. Di sini ada sebuah personifikasi suara doa itu; yakni doa tadi dibayangkan sebagai seseorang yang datang ke hadapan wajah Allah (ay 2b). Kalau dalam ayat 2 yang ditekankan ialah sisi si penderita, maka dalam ayat 3 lebih ditekankan dari sisi Allah sendiri. Si penderita berharap agar Tuhan tidak menyembunyikan wajah-Nya dari sengsara dan deritanya, agar Tuhan menyendengkan telinga-Nya kepada seruan dia yang berseru-seru meminta tolong.

Ia sangat mendesak-desak dalam doa permohonannya ini bahkan terasa seperti sedikit memaksa juga. Hal itu memang masuk akal karena dalam Bagian III ini ia melukiskan gentingnya keadaan hidupnya. Dalam pelbagai metafor (perlambang) ia mencoba melukiskan sengsara dan deritanya. Misalnya, ia merasa segera akan berakhir seperti asap dan tulangnya membara (ayat 4), hatinya terasa terpukul dan layu seperti rumput sehingga ia lupa akan aktifitas yang bisa menghidupkan dan menyehatkan dia yaitu makan roti (ayat 5), ia merasa kurus sehingga hanya tinggal tulang belulang saja karena tenaganya sudah tergerus habis oleh teriaknya (ayat 6), hidupnya menjadi sepi seperti burung di gurun dan di puing-puing reruntuhan (ayat 7-8), ia juga mendapat penghinaan dari para lawannya (ayat 9), makanannya pun sudah tercampur abu dan minumannya pun tercampur air mata (ayat 10). Jelas hal itu semuanya adalah sebuah situasi derita yang amat tragis dan dramatis. Yang menarik ialah bahwa ia beranggapan bahwa semua ini terjadi karena amarah Tuhan yang mencampakkan dia (ayat 11), dan yang menyebabkan ia merasa hidupnya menjadi semu seperti bayang-bayang yang memanjang dan ia menjadi layu seperti rerumputan (ayat 12).

Dalam Bagian III ini si pemazmur seperti melompat optimistik ke atas. Walau tadi dalam ayat 11 ia merasa seperti dihukum Tuhan, tetapi sekarang ia juga serentak merasa bahwa Tuhan sendiri jugalah yang akan menjadi sang pembebas dan penyelamat baginya. Sekali lagi di sini ada dua loncatan besar, sebuah pengalaman kontras, pengalaman paradoksal. Pertama, loncatan dari pesimisme ke arah optimisme. Kedua, loncatan dari doa pribadi ke doa untuk Sion. Di sini tidak cukup ruang dan waktu untuk membahas lebih lanjut tentang bagaimana hubungan antara si individu itu dan Sion. Yang jelas dalam ayat 14 diyakini bahwa Tuhan sendiri akan bangkit untuk menyelamatkan situasi genting Sion. Sebab Sion itu sangat disayangi umat (ayat 15). Jika Tuhan sudah membangun Sion (ayat 17), sudah mendengarkan doa orang tulus (kembali lagi ke doa pribadi, ayat 18), maka semua orang di bumi akan menjadi takut akan Tuhan (ayat 16). Hal ini dianggap sebagai peristiwa penting sehingga terasas perlu dan harus ditulis (ayat 19). Peristiwa penting itu ialah bahwa Tuhan sudi mendengarkan doa orang kecil dan orang yang terancam hukuman mati (ayat 20-21). Hal itu terjadi agar nama Tuhan terpuji dan dimuliakan untuk selama-lamanya di Sion dan sekaligus juga dari Sion (ayat 22).

Dalam bagian IV, ia kembali lagi berbicara tentang doa pribadi dan masalah pribadi. Ia merasa bahwa Tuhan telah berbuat keras atas hidupnya, tetapi kepada Tuhan itu jugalah ia berbalik memohon daya kehidupan yang lama.

Akhirnya dalam Bagian V, ia berbicara tentang teologi penciptaan pada awal mula, tentang dasar bumi dan langit sebagai karya tangan Tuhan. Semuanya itu akan binasa, tetapi Tuhan sendiri akan tetap tinggal untuk selama-lamanya (manet in aeternum) dari kekal hingga kekal. Dalam konteks keabadian Tuhan itulah si pemazmur merasa bahwa semua anak manusia akan hidup dengan tenteram di hadapan Tuhan. Hidup tidak akan berkesudahan di hadapan kehadiran kasih setia (hesed) Tuhan yang kekal abadi untuk selama-lamanya.


Dempol 09 Oktober 2013
Fransiskus Borgias M.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...