Thursday, October 10, 2013

MENIKMATI MAZMUR 100

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Pujilah Allah dalam bait-Nya
1 Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi!
2 Beribadah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!
3 Ketahuilah, bahwa TUHANlah Alah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya.
4 Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya!
5 Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lananya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.


Memuji dan memuliakan Tuhan sang Pencipta adalah kewajiban fundamental kita semua sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebab Tuhan Allah adalah sang Chalik. Kita tidak dapat dan juga seharusnya tidak boleh menghindarkan diri dari kewajiban fundamental itu. Tidak hanya manusia, melainkan seluruh makhluk ciptaan juga harus melambungkan madah syukur dan pujian bagi Tuhan sang Chalik, sang Pencipta. Seharusnya hal ini menjadi sebuah sikap spontan dalam hidup kita. Hal ini harus menjadi kewajiban yang datang dan mengalir dari dalam hati kita, tanpa harus datang dari luar, tidak dipaksakan oleh orang lain. Tentu kita akan sangat senang jika ada orang lain yang mengajak kita untuk datang memuji, menyembah, dan memuliakan Tuhan. Walaupun saya sadar dengan sepenuhnya bahwa tidak semua orang mempunyai reaksi sukacita ketika mendengar ajakan seperti itu. Bisa saja ada pihak lain yang merasa tidak suka akan hal seperti itu. Namun demikian tetap harus ditegaskan bahwa seluruh makhluk ciptaan wajib memuji dan memuliakan Tuhan sang Chalik, sang Pencipta, yang menjadikan segala sesuatu di alam semesta ini.

Hal seperti itulah yang coba dilukiskan dalam Mazmur 100 ini. “Pujilah Allah dalam bait-Nya”, itulah yang menjadi judul Mazmur ini: Kiranya sangat jelas bahwa ini adalah sebuah ajakan untuk memuji dan memuliakan Allah di dalam bait-Nya. Mazmur ini termasuk cukup pendek: hanya terdiri atas lima ayat saja. Karena pendek, maka saya akan mencoba melihatnya sebagai satu kesatuan saja; saya tidak akan membaginya karena memang sangat pendek.

Si Pemazmur memulai mazmurnya ini dengan mengajak kita semua untuk bersorak-sorak bagi TUHAN (ay.1). Ia tidak hanya mengajak manusia saja, melainkan seluruh bumi diajaknya untuk memuji dan memuliakan Allah. Di sini kita serta merta teringat akan nyanyian tiga pemuda dari dalam tanur api dalam Kitab Daniel itu; juga kita segera teringat akan puisi kosmis, Kidung Saudara Matahari, dari santo Fransiskus dari Asisi. Dari dan berdasarkan ayat 1 ini kita pun tahu bahwa ketika menghadap TUHAN kita tidak harus selalu dengan sikap diam-diam, atau dengan sikap sopan-sopan berbaris dan duduk dengan tenang, diam-diam merenung, hanyut dalam kontemplasi. Tentu itu juga boleh, tetapi itu bukan satu-satunya cara yang baik dan berkenan di hadapan Allah. Ternyata menurut mazmur ini, ketika menghadap Tuhan kita juga harus sangat ekspresif, bersikap sangat spontan. Sekali lagi, hal datang kepada Tuhan itu tidak harus serius-serius atau dengan berduka, dengan muka muram durja, melainkan dengan penuh sukacita dan sorak-sorai (ay.2).

Lalu dalam ayat 3 si pemazmur mengajukan sebuah alasan mengapa kita harus memuji dan bersyukur kepada Allah. Di sini dijelaskan hubungan kita dengan Allah. Ada lima hal yang disebut secara khusus dan rinci sebagai bentuk relasi itu antara Allah dan umat manusia. Pertama, Allah adalah Tuhan kita. Kedua, Tuhanlah yang telah menjadikan kita. Ketiga, oleh karena itu, sebagai konsekwensi logis dari yang pertama dan kedua, kita semua adalah milik Tuhan belaka. Keempat, ada pengakuan bahwa kita ini adalah umat-Nya (Tuhan). Kelima, dipakailah sebuah metafora untuk mewujudkan relasi itu, yakni bahwa kita adalah kawanan domba yang digembalakan Tuhan. Jadi, di sini secara implisit disinggung sebuah ide lama yang sangat terkenal dalam hidup Israel yaitu Tuhan sebagai gembala (sebagaimana sudah dikemukakan di tempat lain di depan, yaitu dalam Mazmur 23 yang sangat terkenal dan inspiratif itu, juga dalam Kitab nabi Yeheskiel itu, yang dikemudian hari turut serta mengilhami Yohanes 10 tentang sang Gembala yang Baik).

Dalam ayat 4 si pemazmur mulai lagi mengajukan sebuah ajakan kepada kita untuk datang ke rumah Allah. Detail rumah itu dilukiskan juga di sini. Ada pintu gerbang, yang harus kita lewati dengan nyanyian syukur dan pujian. Ada pelataran-pelataran yang juga harus kita masuki dengan puji-pujian dan dengan penuh sukacita. Setelah melewati itu semua, kita pun diandaikan sudah tiba di bagian dalam dari rumah itu dan di sana kita bersyukur kepada Allah dan memuji nama-Nya.

Akhirnya, dalam ayat 5 kembali si pemazmur memberikan alasan mengapa kita harus datang untuk memuji dan memuliakan Allah dengan lagu syukur; alasannya tidak lain ialah karena Tuhan itu baik. Lebih dari itu Tuhan juga telah menunjukkan kasih setia-Nya kepada kita. Itulah penyelenggaraan Allah dalam hidup kita, providentia dei. Ayat yang terakhir ini serta merta mengingatkan saya akan Mazmur 136 yang mempunyai refrein yang tetap sebagai berikut: Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik, kekal abadi kasih setia-Nya. Jadi, kalau dikilas balik, maka akan kelihatan struktur sebagai berikut: dimulai dengan sebuah ajakan lalu alasan mengapa ada ajakan itu (ayat 1-3). Pola itu diulang secara persis sama lagi dalam dalam ayat 4-5: ada ajakan dan diberikan juga bagi adanya ajakan tersebut.


Nglempong Lor, Februari 2013
Fransiskus Borgias M., (Mahasiswa ICRS Yogyakarta).



No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...