Tuesday, August 13, 2013

MENIKMATI MAZMUR 97

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Dalam hidupnya di dunia dan di tengah masyarakat, manusia bisa mencari pelbagai alasan untuk bergembira-ria dan bersorak-sorai di hadapan Tuhan. Manakala saat sukacita itu datang, maka rasa itu akan membersit dan memancar keluar begitu saja dari hati mereka. Hal itu tampak dalam pelbagai ekspresi, baik berupa ekspresi verbal maupun expresi non-verbal, dalam gerak-gerik tubuh (gesture). Ekspresi verbal bisa terlahir sebagai puisi, bisa juga terlahir sebagai untaian nyanyi yang memantulkan bahasa hati sanubari. Ekspresi gerak-gerak tubuh itu bisa terlahir sebagai tari juga sebagai seni yang juga mengungkapkan bahasa hati sanubari. Manusia yang peka secara rohani (spiritual) tidak bisa dan juga tidak boleh membendung kelahiran momen-momen dramatis-religius seperti itu. Tidak perlu juga dibendung dan dihalang, melainkan semuanya dibiarkan mengalir dan memancar begitu saja, sehingga bisa memberi inspirasi bagi orang lain di sekitar.

Kiranya hal seperti itulah yang dapat dengan mudah kita rasakan ketika kita membaca Mazmur 97 ini. Mazmur ini menggemakan sebuah sukacita atau kegembiraan kosmis yang dialami dan dirasakan si Pemazmur di hadapan Tuhan sang Raja. Mazmur ini hanya terdiri atas duabelas (12) ayat. Judulnya dalam Alkitab kita ialah “TUHAN adalah Raja.” Mazmur ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama: ayat 1-6. Bagian kedua: ayat 7-12. Dalam bagian pertama kita berurusan dengan alam semesta, yaitu mengenai apa yang terjadi dengan beberapa unsur alam di hadapan Tuhan pencipta. Dalam bagian kedua kita berurusan dengan manusia, yaitu apa yang terjadi dan dilakukan manusia (reaksi) di hadapan Tuhan sang Raja Alam Semesta itu.

Judul Mazmur ini dengan padat dan ringkas mengungkapkan apa yang menjadi pokok permenungan Mazmur ini. Dengan dan melalui ayat-ayat Mazmur ini, si Pemazmur mau merayakan sebuah kesadaran rohani baru yang dialaminya yaitu kesadaran bahwa TUHAN adalah Raja. Tentu kesadaran akan Tuhan sebagai raja itu tidak terlepas dari kesadaran teologis lain yaitu Tuhan sebagai sang Pencipta. Kiranya itulah sebabnya si pemazmur dalam ayat 1-6 (bagian I) ini mendaftarkan beberapa komponen alam (kosmos) yang seakan-akan hadir di hadapan Tuhan dan menjadi semacam “pasukan” yang menampakkan kemuliaan dan semarak TUHAN sebagai Raja Penguasa alam semesta. Beberapa komponen kosmos (masing-masing dengan peran dan watak dasarnya) yang disebut di sini ialah bumi, pulau, awan, kekelaman, api, kilat, gunung, langit.

Di atas saya mengatakan bahwa pemazmur memancarkan pengalaman sukacita kosmisnya dalam dan melalui puisi itu. Elemen-elemen kosmis itu seakan ikut bergembira dan bersorak-sorai dengan hati sanubari si pemazmur yang juga merasa sangat bergembira dan bersukacita. Ia tidak mau menahan sukacitanya dalam benteng egoistiknya, melainkan ia rela bahwa sukacita itu dibagi bersama bumi dan banyak pulau (ayat 1). Memang itulah karakteristik orang yang mengalami titik puncak sukacita: Ia memandang dunia sekitar dengan rasa cerah, optimistik. Bahkan ia mengajak dunia sekitar untuk ikut serta dalam sukacita yang dirasakan dan dialaminya. Dalam ayat 2 kita dapat merasakan sebuah kehadiran aura misteri dan mistis karena di situ dilukiskan sebuah simbol kehadiran yang suci, sebuah epifani, yaitu dalam awan dan kekelaman. Semuanya itu adalah hierofani, penampakan dari yang kudus. Tuhan sebagai Raja memerintah dengan keadilan dan taat hukum, menegakkan hukum. Dalam ayat 3-4-5, kita menemukan beberapa elemen lain dari alam yaitu api dan kilat, yang di satu pihak merupakan tanda hierofani, juga melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum, agar muncul reaksi yang sepatutnya dari bawahannya (ayat 3, api menjalar dan menghanguskan, ayat 4, kilat menerangi bumi, juga menimbulkan ketakutan dan kegentaran di hadapan Api Tuhan; ayat 5, gunung yang menjadi leleh seperti lilin karena melihat kemuliaan Tuhan). Menyaksikan semuanya itu, tidak ada hal lain yang diberitakan langit dan cakrawala, selain mewartakan keadilan Tuhan dan segala bangsa pun mampu melihat Kemuliaan Tuhan.

Itulah hal yang terjadi dengan alam semesta. Dalam bagian kedua kita melihat apa yang terjadi dengan manusia. Memang singgungan mengenai reaksi manusia sudah muncul di akhir ayat 6: segala bangsa melihat kemuliaan Tuhan. Selanjutnya kita melihat apa reaksi mereka setelah menyaksikan kemuliaan itu. Kelompok pertama ialah orang yang menyembah berhala, ayat 7. Tentu mereka ini adalah orang yang tidak percaya kepada Tuhan, melainkan menyembah berhala, menyembah patung. Dikatakan bahwa mereka ini mendapat malu karena perilaku berhalanya. Tendensi berhala mereka diruntuhkan. Keangkuhan hidup berhala mereka direndahkan. Kelompok kedua ialah reaksi Sion, ayat 8. Dikatakan dengan jelas bahwa Sion bersukacita dan puteri-puteri Yehuda bersorak-sorai. Sukacita dan sorak-sorai Sion dan Yehuda itu amat beralasan yaitu karena Tuhan adalah penguasa Mahatinggi yang melampaui alam raya dan segala dewata (ayat 9).

Selanjutnya kita mendengar sebuah ajakan dan himbauan moral-etis (parenese) dari si pemazmur dalam ayat 10-12. Himbauan moral-etis itu ditujukan kepada orang-orang yang mengasihi Tuhan. Mereka diminta agar menjauhi kejahatan, bahkan harus membenci kejahatan, sehingga perilaku jahat sama sekali tidak muncul dalam diri mereka. Hal itu tidak lain karena Tuhan akan memelihara hidup orang saleh yang dikasihi-Nya. Tuhan akan melindungi mereka dari kekejaman dan kejahatan orang-orang fasik. Jika selama ini mereka hidup serba terancam oleh hidup orang-orang fasik, orang-orang yang menyembah berhala, orang-orang yang hidup seakan-akan Tuhan tidak ada (ateisme praktis), maka sekarang akan muncul sebuah babak baru kehidupan bagi mereka. Bagi orang benar akan terbit terang, bagi orang yang tulus hati akan mengalir sukacita (ayat 11).

Akhirnya seluruh untaian mazmur ini ditutup dalam ayat 12 dengan sebuah ajakan yang penuh optimisme iman bagi orang-orang benar: mereka diharapkan agar bersukacita karena Tuhan. Mereka diharapkan agar melambungkan nyanyian syukur bagi Tuhan yang kudus karena, sebagai Raja, Ia sudah mendatangkan pembebasan bagi orang-orang benar, orang-orang yang tahu mengasihi, orang-orang yang tahu membalas cinta Allah yang adalah cinta, Deus est caritas.


Yogyakarta, Desember 2012


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...