Monday, March 18, 2013

MENIKMATI MAZMUR 93

Oleh: Fransiskus Borgias M.


TUHAN, raja yang kekal

1 TUHAN adalah Raja, Ia berpakaian kemegahan, TUHAN berpakaian, berikat pinggang kekuatan. Sungguh, telah tegak dunia, tidak bergoyang;
2 takhta-Mu tegak sejak dahulu kala, dari kekal Engkau ada.
3 Sungai-sungai telah mengangkat, ya TUHAN, sungai-sungai telah mengangkat suaranya, sungai-sungai mengangkat bunyi hempasannya.
4 Dari pada suara air yang besar, dari pada pecahan ombak laut yang hebat, lebih hebat TUHAN di tempat tinggi.
5 Peraturan-Mu sangat teguh; bait-Mu yang kudus, ya TUHAN, untuk sepanjang masa.



Renungan dan bayangan (imajinasi) manusia akan Allah bisa bermacam-macam. Hal itu sangat tergantung pada pengalaman rohani dan pengalaman psikologis masing-masing orang. Dan adalah sangat wajar bahwa renungan dan imajinasi itu sangat bercorak manusiawi, atau dalam bahasa keren-nya, sangat bercorak antropomorfistik, artinya manusia memakai kategori-kategori yang sangat wajar dan manusiawi dan alami untuk menggambarkan dan membayangkan sosok Allah itu. Tetapi hendaknya selalu diingat dan disadari bahwa pemakaian itu hanya sebatas sebuah analogia saja, sebuah perbandingan yang tidak seluruhnya sangat serupa, tetapi hanya menyerupai dan hampir mirip. Kebetulan gambaran yang diangkat di sini oleh si Pemazmur untuk menggambarkan dan membayangkan Allah itu adalah sosok seorang Raja. Gambaran Tuhan sebagai Raja, itulah yang menjadi pokok permenungan dalam Mazmur 93 ini yang akan saya bahas secara singkat dan sederhana dalam tulisan ini.

Mazmur 93 ini termasuk mazmur yang sangat singkat; ia hanya terdiri atas lima ayat saja. Judulnya dalam Kitab Suci kita ialah “Tuhan, raja yang kekal.” Karena sangat singkat maka saya akan melihatnya sebagai satu kesatuan saja, tanpa harus merepotkan diri dengan membaginya ke dalam beberapa unit ayat-ayat yang lebih kecil lagi.

Sebagaimana tampak dari judul itu, Mazmur 93 ini ingin memuji dan memuliakan Tuhan sebagai raja yang kekal. Oleh karena itu, di sini pun coba dilukiskan tentang sifat-sifat Tuhan, seperti kemegahan-Nya dan kekuatan-Nya. Secara visual kedua sifat itu sangat kuat melekat pada Tuhan karena kedua sifat itu dilukiskan sebagai busana (secara eksplisit di sana dipakai kosa kata: pakaian dan ikat pinggang) Tuhan (ay.1). Jika dibayangkan secara manusiawi dalam tata dunia ini, memang seorang raja haruslah megah dan kuat, serta gagah perkasa. Begitulah juga halnya dengan Tuhan: Ia harus megah, kuat, dan perkasa. Hal-hal itulah yang memungkinkan Ia bisa duduk di atas tahta, dan tahta itu tidak akan goyah karena sang raja yang bertahta di atasnya adalah seorang raja yang sangat kuat dan perkasa yang diakui dan dipatuhi oleh semua bawahan-Nya (ay.2). Tidak hanya berhenti di situ saja: Dunia ciptaan-Nya pun berdiri kokoh juga; dunia itu tidak goyah sama sekali. Tetapi kekokohan ciptaan itu adalah sebuah kekokohan yang bersifat derivatif (turunan) saja yaitu sebagai konsekwensi logis dari kekokohan Tuhan sang pencipta (ay.2). Jika Tuhan sang Pencipta itu kokoh, maka kokoh pulalah dunia ciptaan-Nya. Selanjutnya dikatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebagai raja itu sudah berlangsung sejak dahulu kala, karena memang Tuhan itu hidup dan berada dari kekal hingga kekal (ay.2).

Dalam ayat 3 kita melihat sesuatu yang sangat biasa dalam Mazmur, yaitu personifikasi unsur-unsur alam untuk memuji dan memuliakan Allah. Kebetulan salah satu unsur alam yang dipersonifikasi di sini ialah sungai yang airnya mengalir deras. Deru bunyi air yang mengalir deras itu pun dilihat sebagai sebentuk pujian kosmis akan Allah (ay.3). Begitu juga gemuruh ombak yang menghempas di pantai-pantai (ay.4). Semuanya serba sangat indah dan mengagumkan. Memang beberapa unsur dalam alam ini bisa sangat dahsyat, dan bisa membuat manusia kagum dan sangat terpesona ketika memandang dan merenungkannya. Tetapi semua itu sama sekali tidak ada bandingannya sedikitpun dengan Tuhan sendiri. Tuhan serba sangat melampaui semuanya itu. Tuhan itu serba maha: maha kuasa (omnipotence), maha hadir (omnipresence), maha tahu (omniscience). Boleh jadi di balik kata-kata yang terkandung dalam ay.4 ini tersimpan sebuah kritik penghayatan agama kosmis yang dihayati oleh sementara kelompok manusia pada masa itu, yang berhenti pada kekaguman akan alam lalu bahkan memuja alam itu. Padahal alam itu sendiri hanyalah ciptaan Tuhan belaka, sebagaimana sudah ditegaskan dalam kitab Kejadian itu (Kej.1). Tidak lebih dari hal itu.

Dari alam, lalu dalam ay.5 si pemazmur ini meloncat ke suatu tataran yang lain, yaitu melihat peraturan dan bait Tuhan. Peraturan Tuhan dilihatnya amat teguh; kiranya yang dimaksudkannya dengan peraturan itu di sini ialah keteraturan atau tatanan kosmos. Berkat campur tangan karya Allah kekacau-balauan pada awal mula (chaos), diubah menjadi sebuah keteraturan, sebuah tatanan, (menjadi sebuah cosmos). Bait Allah pun kudus adanya karena Tuhan sendiri berkenan hadir dan bahkan tinggal di sana. Dan hal itu berlangsung tidak hanya untuk sebenar saja, melainkan berlangsung untuk selama-lamanya.


Nglempong Lor, Awal Januari 2013
Fransiskus Borgias M.
(Mahasiswa Ph.D., pada ICRS-YOGYA)

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...