Thursday, December 13, 2012

MENIKMATI MAZMUR 90

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Orang yang beriman dalam hidupnya selalu berseru kepada Allah. Allah adalah pegangan, sandaran, dan andalan hidupnya. Ia tidak mau mengandalkan yang lain. Walaupun kadang-kadang ia bisa jatuh kepada godaan berhala, tetapi ia selalu kembali kepada Allah yang menjadi sandaran dan andalan hidupnya. Tentu hal ini mengingatkan kita akan perintah yang pertama dalam sepuluh perintah Allah: Akulah Tuhan Allahmu, engkau tidak boleh menyembah yang lain selain Aku. Dan pengakuan iman Yudeo-Kristiani ialah bahwa Tuhan Allah kita itu esa dan tidak ada yang lain selain dia. Hal itulah yang kemudian dipakai sebagai alat revolusi teologis di negeri Arab untuk memerangi kultur ateisme dan kekafiran yang ada dan serba merajalela: Tiada ilah selain Allah.

Nah, pengakuan iman fundamental seperti itulah yang dapat kita rasakan dalam Mazmur 90 ini yang dalam Alkitab kita mempunyai judul yang amat menarik: “Allah, tempat perlindungan yang kekal.” Keterangan waktu kekal itu diberi keterangan dan penjelasan rinci dalam ayat 1-2, yaitu bahwa Allah sudah menjadi tempat berlindung kita sejak dari dahulu kala, dan hal itu berlaku turun temurun, dan bahkan sebelum segala sesuatu diciptakan hal itu sudah demikian adanya. Allah menjadi perlindungan kita dari kekal hingga kekal, atau dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.

Kemudian si pemazmur berteologi tentang salah satu paham mengenai asal-usul manusia: bahwa manusia berasal dari debu tanah dan mereka akhirnya kembali akan menjadi debu tanah itu yang dihembusi dan karena itu didiami oleh Roh Allah sendiri (ay.3; bdk.Kej.2:5-7), sebuah paham teologis yang melatar-belakangi upacara Rabu Abu itu dalam tradisi Gereja Katolik kita. Lalu paham itu disusul dengan sebuah paham lain mengenai waktu (sejarah), yaitu bahwa Allah sebagai sang penguasa waktu (sejarah) berada melampaui waktu: bagi Dia yang ada hanyalah sebuah kekinian yang abadi; tidak ada rentang masa silam yang teramat panjang, sesuatu yang hanya berlaku bagi manusia saja (ay.4). Allah adalah sang penguasa awal dan akhir sejarah, titik Alpha dan Omega sejarah. Sesudah itu kita melihat ada sebuah paham antropologis tertentu yaitu bahwa hidup manusia berlangsung sangat singkat, laksana sebuah mimpi yang segera terlupakan; hidup manusia itu ibarat rerumputan yang tumbuh kembang di waktu pagi dan lisut-layu di waktu petang. Ia hanya berlangsung sekejab saja jika dibandingkan dengan keabadian Allah sendiri (ay.5-6).

Dalam berdialog dengan Allah, si manusia itu langsung sadar akan keberadaan hidupnya sendiri di hadapan Allah yang hidup. Kesadaran itu ialah kesadaran akan kerapuhan hidup mereka. Di hadapan murka Allah, manusia tidak berarti apa-apa, mereka habis lenyap, dan mereka juga terkejut di hadapan hadirat Allah (ay.7).

Tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah. Tidak ada gunanya kita menyembunyikan apa pun dari Allah, termasuk dosa kita, sebab Allah adalah mahatahu dan mahamelihat (ay.8). Hari-hari hidup sang manusia berlalu begitu saja dalam kegemasan Allah. Semuanya seperti berlalu begitu saja dalam sekejab (ay.9).

Lalu si pemazmur itu semakin menukik ke dalam dirinya sendiri. Sekarang ia merenungkan tentang masa hidupnya. Di sinilah kita temukan sebuah ayat yang sangat terkenal mengenai umur manusia; terkenal karena kita sering sekali mengutipnya untuk menyadarkan diri kita sendiri akan kefanaan hidup kita. Dikatakan bahwa usia manusia itu hanya tujuh puluh tahun. Kalau manusia itu kuat, maka ia bisa mencapai usia 80 tahun (ay.10a). Jadi, umur itu sesungguhnya sangat singkat jika dibandingkan dengan hidup dan keberadaan Allah. Tidak ada yang dapat dibanggakan dalam umur yang singkat itu, selain kesukaran dan penderitaan (ay.10b). Dan hidup yang serba singkat itu, terasa berlalu begitu cepat, dan dalam sekejab manusia itu hilang lenyap (ay.10c). Itulah sebabnya saya menyebut seluruh ayat 10 ini sebagai “ayat tragis” tetapi sekaligus juga realistis. Realistis karena memang begitulah kenyataan hidup manusia. Tragis, karena rentang hidup yang singkat itu berlalu begitu cepat, dan semuanya ditandai oleh kesukaran dan derita. Benar-benar tragis, menyedihkan. Saya cenderung membaca ayat 10 ini dalam kaitan yang erat dengan ayat 12, sebab kedua ayat ini, menurut hemat saya erat terkait satu sama lain. Karena umur itu serba singkat dan berlalu sangat cepat (ay 10), maka manusia itu harus hidup arif dan bijaksana. Salah satu cara untuk dapat menjadi bijaksana dalam hidup ini ialah mencoba menghitung hari-hari hidup kita, agar dengan cara itu kita dapat memperoleh hati yang bijaksana. (ay.12). Maksudnya dengan semakin menyadari umur yang singkat, diharapkan orang dapat menjadi lebih bijaksana lagi dalam hidup dan kehidupan di dunia ini. Ayat 11 menjadi rada sulit dipahami. Tetapi ayat ini pun masih berada dalam alur logis terkait dengan refleksi hidup dan keberadaan manusia di dunia ini di hadapan Allah sang mahakasih dan maharahim.

Selanjutnya saya merasakan adanya satu keinginan dan dorongan untuk bertobat. Itulah sebabnya dalam ayat 13 kita membaca ajakan sang pemazmur kepada Tuhan agar Ia sudi kembali dan mulai bertindak untuk datang menyelamatkan umat-Nya. Ia meminta agar Allah sudi menyayangi umat-Nya. Ia meminta agar Allah sudi mendatangkan kekenyangan (simbol kemakmuran ekonomi bagi umat-Nya) (ay.14). Ia meminta agar umat mengalami sukacita agar sukacita itu bisa merelativir duka yang selama ini terasa sudah amat mencengkam dan menggigit dan menyiksa hidup dan keberadaan manusia (ay.15). Si pemasmur meminta agar Allah sudi mengampuni kesalahan umat-Nya. Akhirnya, ia mau menutup seluruh untaian refleksi ini dengan berdoa memohon agar kemurahan Tuhan, ALLAH, meneguhkan iman umat (ay.16). Ia berdoa agar perbuatan ajaib Allah dapat diterima dan dialami lagi oleh umat pada masa kini. Dari gerak transendensi dalam doa, seluruh untaian ini ditutup dengan sebuah doa pengharapan dan permohonan. Ada baiknya saya kutip saja teks itu: “Kiranya kemurahan TUHAN, Allah kami, atas kami, dan teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya, perbuatan tangan kami teguhkanlah itu.”

Nglempong Lor, Yogya, November 2012

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...