Thursday, October 18, 2012

PERISTIWA SEDIH IV: YESUS MEMANGGUL SALIB-NYA KE GUNUNG KALVARI

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Dalam doa rosario ini kita diminta untuk merenungkan dan mendalami peristiwa sedih yang keempat yaitu “Yesus memanggul salib-Nya ke gunung Kalvari.” Sang pemimpin doa rosario membacakan bagi kita teks Kitab Suci yang menjadi pendasaran biblis dari peristiwa sedih yang keempat ini. Inilah teks tersebut: “Sambil memikul salib-Nya, Ia pergi keluar ke tempat yang bernama Tempat Tengkorak, yang dalam bahasa Ibrani disebut “Golgota” (Yoh.19:16b).

Ini adalah teks dari Injil Yohanes yang kedua yang diangkat sebagai bahan renungan dalam untaian peristiwa doa rosario. Yang lain ada dalam peristiwa cahaya/terang yang kedua terkait dengan peristiwa perkawinan di Kana itu. Menarik bahwa dari Injil Yohanes hanya ada dua teks saja yang diangkat sebagai bahan renungan dalam doa Rosario, padahal menurut saya injil Yohanes adalah sebuah injil personal-devosional, amat menekankan kedalaman relasi personal dan dalam relasi personal itu ditekankan juga segi devosional. (Itulah sebabnya dalam praksis devosi pribadi, saya menyusun tiga peristiwa tambahan, yaitu peristiwa iman, peristiwa pengharapan, dan peristiwa kasih. Dalam ketiga peristiwa tambahan dari eksperimen pribadi saya ini, ada cukup banyak teks yang saya angkat dari injil Yohanes; tidak lain dimaksudkan agar kutipan injil cukup berimbang).

Teks dasar untuk peristiwa ini sangat singkat. Tetapi saya akan mencoba mendalami dan merenungkan beberapa aspek yang penting di dalamnya. Hal pertama yang harus mendapat perhatian kita ialah kenyataan bahwa menurut Injil Yohanes, Yesus memanggul salib-Nya sendiri menuju Kalvari. Ia tidak dibantu oleh siapa pun juga seperti yang bisa kita lihat dalam pelukisan injil-injil Sinoptik. Dalam kisah sengsara menurut injil Markus misalnya kita bisa membaca tentang ada dan hadirnya orang lain yang ikut membantu Yesus untuk memanggul salib-Nya. Orang yang dimaksud ialah Simon orang Kirene itu. Ia dipaksa para serdadu untuk memikul Salib Yesus (Mrk.15:21; Mat.27:32; Luk.23:26). Dalam Injil Yohanes, Yesus benar-benar sendirian dalam memikul salib-Nya. Pertanyaannya ialah mengapa Yohanes melukiskan detail adegan ini secara berbeda dari para penginjil yang lain?

Bagi Yohanes, seperti halnya bagi para penginjil yang lain, dan bagi semua para penulis dalam kitab suci, aktifitas menulis, aktifitas membangun alur kisah (plot), mengatur penokohan kisah (characterisasi) tidak lain adalah aktifitas berteologi itu sendiri. Yohanes mencoba berteologi melalui karya tulisnya. Tetapi apa teologi yang dimaksudkan di sini? Beberapa pakar yang ahli Yohanes, misalnya orang seperti Raimond E.Brown, yang terkenal dengan salah satu buku besarnya tentang The Death of the Messiah pasangan dari bukunya yang lain The Birth of the Messiah, mengatakan bahwa ketika Yohanes menulis bagian ini dari alur kisahnya sesungguhnya ia teringat akan satu prototipe dalam Perjanjian Lama; di atas dasar prototipe Perjanjian Lama itulah Yohanes mencoba melukiskan drama sengsara Yesus. Prototipe yang dimaksud ialah Isaak. Menurut cara pembacaan para ahli seperti ini, konon Yohanes teringat akan korban Abraham di gunung Moria itu, di mana pada saat itu, Isaak, yang diminta YAHWEH untuk dikorbankan oleh Abraham, memikul sendiri kayu yang akan dipakai sebagai sumber bahan bakar untuk korban bakaran, dan dia sendirilah yang akan menjadi korban sembelihan dari persembahan itu.

Tentu yang diambil sebagai paralelisme ialah peristiwa memanggul sendiri kayu salib dan kayu api. Sebab ketika tiba di puncak gunung (Kalvari bagi Yesus, Moria bagi Isaak), Yesus benar-benar disalibkan (tidak sekadar pura-pura disalibkan sebagaimana dituduhkan oleh aliran doketisme yang mengendap dalam beberapa ajaran lain yang menganut doketisme itu), sedangkan Isaak tidak jadi dikorbankan. Ia diganti oleh seekor anak domba yang diberikan oleh Tuhan sendiri di atas puncak gunung itu. Peristiwa itu terus dikenang oleh orang Yahudi sampai sekarang dalam ritus korban mereka. Sedangkan orang Kristiani tidak lagi melakukannya karena mereka sudah mempunyai satu kurban abadi, yang berlaku satu kali dan untuk selamanya, yaitu kurban Yesus Kristus di salib, dan dalam konteks Gereja Katolik, kurban salib itu diulang, dan dirayakan terus menerus dalam perayaan Ekaristi: Setiap kali kamu makan roti ini dan minum dari piala ini, kamu mengenangkan sengsara dan wafat Tuhan, sekaligus kita menyatakan iman dan kepercayaan kita. Kita akan terus menerus melakukan hal itu sampai Ia datang kembali kelak di akhir jaman (parousia).

Ya, saya perlu ulangi lagi: Yesus memanggul salib-Nya sendiri. Salib itu sendiri adalah sebuah bentuk hukuman dalam tradisi Roma untuk menghukum penjahat yang dianggap berbahaya dan menjadi biang kerok bagi masyarakat. Betapa hal ini sangat berat bagi orang Kristiani awal, bagi para pengikut Yesus yang semula, untuk menerima hal ini. Adalah tidak mudah untuk menerima bahwa sang pemimpin mereka, sang junjungan mereka, dihukum dengan cara disalibkan. Tetapi, realitas historis itu diterima dengan lapang dada. Orang tidak bisa menghapus realitas historis. Paling-paling yang bisa dilakukan ialah mencoba mentransformasi realitas historis itu, untuk kemudian dimaknai secara positif. Ya pengalaman negatif selalu ada kemungkinan untuk dimaknai secara positif. Hanya dengan cara memberi makna positif pada drama salib yang negatif itu, orang Kristiani awal dapat menerima realitas salib itu, dan bahkan kemudian mendapat daya kekuatan yang sungguh kuat dan ajaib dari padanya. Salib yang semula adalah tanda kehinaan, oleh Paulus ditransformasi sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kebanggaan, sumber kemuliaan, sumber keselamatan.

Teologi salib tidak pernah boleh disingkirkan dari kesadaran dan penghayatan hidup rohani orang Kristiani. Jika ada praksis hidup rohani dan teologi yang melupakan hal itu, tentu saja hal itu tidak sejalan dengan teologi hidup rohani orang-orang Kristiani semula. Sebab hanya melalui sengsara (Salib) sajalah akan muncul atau terjadi peristiwa pemuliaan, peristiwa kebangkitan. Dan itulah peristiwa keselamatan kita.

Hendaknya kita jangan lupa bahwa adegan ini juga mempunyai daya kekuatan yang luar biasa untuk mengilhami banyak pihak untuk mengabadikannya dalam pelbagai karya mereka. Para pelukis mengabadikannya dalam lukisan. Para seniman ukir, mengabadikannya dalam karya ukiran mereka. Para seniman komponis juga menyusun lagu-lagu mereka berdasarkan adegan ini. Begitu juga seniman puisi; mereka menciptakan puisi-puisi berdasarkan hal ini. Dan hal itu berlangsung dari dulu hingga sekarang ini. Tiada henti-hentinya peristiwa atau adegan ini mengilhami para seniman untuk berkarya. Benar-benar luar biasa. Yesus memanggul salib-Nya sendiri menuju ke puncak Kalvari, atau Golgota. Dalam tradisi devosional jalan salib yang juga sangat terkenal, peristiwa ini dikenangkan dalam Perhentian II: Yesus Memanggul Salib. Untuk mengawali renungan dalam perhentian kedua ini, disediakan sebuah nyanyian singkat. Golgota yang menjadi tujuan terakhir dari ziarah perjalanan salib itu, ternyata mendapat tempat juga di dalam karya para pengarang lagu.

Untuk mengakhiri tulisan yang singkat dan sederhana ini, saya akan mengutip dua lagu. Pertama, terkait dengan Perhentian Kedua dalam peristiwa Jalan Salib. Kedua, terkait dengan Golgota. Yang terkait dengan Perhentian Kedua beginilah lagunya:

Kayu salib dia panggul.
Mari kita pun memikul
salib kita di dunia.


Yang terkait dengan Golgota, puncak akhir perjalanan salib itu beginilah lagunya:

Golgota, tempat Tuhanku disalib dan dicela,
agar dunia damai pula dengan Allah, Khaliknya.
Dari sanalah mengalir sungai kasih karunia
bagi orang yang berdosa, yang memandang Golgota.


Walau lagu ini baru diciptakan pada awal abad duapuluh, tetapi ia menyimpan kebenaran penghayatan spiritulitas hidup rohani orang Kristiani yang mampu mentransformasi drama puncak Golgota itu, tidak lagi sebagai sesuatu yang memalukan, melainkan justru menjadi sumber keselamatan, sebab di atas Golgota itulah darah dan air mengalir dari lambung Yesus, dan itulah sumber awal hidup Gereja. Kebenaran itu akan terus berlaku abadi hingga selama-lamanya.


Yogyakarta, 18 Oktober 2012

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...