Monday, July 16, 2012

MENIKMATI MAZMUR 88

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hidup manusia tidak selalu berada pada ambang sukacita; tidak melulu berada di lorong-lorong penuh cahaya. Tidak jarang hidup itu turun ke lembah tangisan, lembah dukacita, lembah sengsara, lembah sakit. Tidak selamanya hidup ditandai pengalaman sehat. Sering juga ada pengalaman sakit, pengalaman negatif, pengalaman kegelapan, pengalaman sakit dan putus-asa. Hidup tidak senantiasa ditandai nyanyi sukacita. Terkadang ditandai tembang dukacita, terutama ketika kita dilanda penyakit dan pelbagai pengalaman negatif lain.

Itu yang kita rasakan dalam mazmur 88 yang berjudul: Doa pada waktu sakit payah. Mazmur ini disusun untuk dipakai ketika orang sakit payah. Itu sebabnya dalam empat ayat pertama kita bertemu dengan doa yang diucapkan terus menerus, oratio continua, yang diucapkan pada waktu siang, dan malam. Tiada saat tanpa doa. Doa menjadi nafas hidup. Doa diibaratkan asap dupa dan asap korban bakaran yang membumbung tinggi ke angkasa seperti korban bakaran Habel yang saleh, yang berkenan di hadapan Allah. Pemazmur berharap agar Allah mendengarkan doanya yang diucapkan terus menerus, siang dan malam. Pada ayat 4 ada alasan mengapa pemazmur melantunkan doa itu: ia menderita dan bahkan sudah merasa mati: Sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka, dan hidupku sudah dekat dunia orang mati. Pengalaman jelang ajal (Near Death Experience: NDE) ini dilukiskan secara rinci dengan pelbagai metafor dalam ayat 5-7. Ketiga ayat ini berbicara tentang ‘mati’. Pemazmur merasa diri sudah mati: tinggal di liang kubur, tidak mempunyai kekuatan lagi (ay 5), tinggal di antara orang mati, terbaring dalam kubur (ay 6). Di bagian akhir ayat 6 ada sesuatu yang khusus yang harus diberi perhatian yaitu kematian dipandang sebagai keadaan di mana kita putus relasi dengan Tuhan dan Tuhan tidak lagi ingat akan kita. Itulah bayangan orang Israel kuno tentang Sheol, tempat atau gudang orang mati. Dalam Sheol tidak ada lagi relasi, baik itu relasi dengan sesama, dengan keluarga, dan bahkan dengan Allah sendiri. Tragis.

Pemerian Sheol itulah yang ada dalam ayat 7-10: sheol dibayangkan sebagai liang kubur yang paling bawah, tempat yang teramat gelap, tempat paling dalam. Semua ini terjadi karena pemazmur merasa tertekan oleh panas murka Allah. Inilah salah satu pandangan mengenai sakit: sakit adalah hukuman dari Allah. Tetapi hal itu dimaksudkan untuk mendidik: pengalaman negatif-didaktis-terapeutik. Dalam ayat 9 ada pemerian mengenai keadaan putus-relasi total di mana pemazmur jauh dari kenalannya dan bahkan kenalannya memandang dia sebagai kekejian. Tragis (ay.9). Pemazmur merasa tidak berdaya untuk keluar dari situasi itu. Ia tertekan, sehingga ia merasa bahwa matanya merana karena sengsara (ay.10). Dalam keadaan seperti itu, pemazmur tidak putus asa, melainkan ia terus berdoa dan mengangkat tangannya kepada Allah untuk memohon pertolongan dan belaskasihan; inilah konteks munculnya doa kita: pertolongan kita dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi.

Dalam ayat 11-13 ada empat pertanyaan retoris pemazmur kepada Tuhan. Jawaban atas keempatnya ialah: Tidak. Pertanyaan pertama berkaitan dengan perbuatan ajaib yang dikerjakan Tuhan: pemazmur yakin bahwa Tuhan mengerjakan perbuatan ajaib bukan untuk orang mati, melainkan untuk orang hidup. Pertanyaan kedua berkaitan dengan keyakinan pemazmur bahwa yang memuji dan bersyukur kepada Allah bukan orang mati, melainkan orang hidup. Hanya orang hidup dapat menghaturkan syukur dan pujian kepada Allah. Pertanyaan ketiga berkaitan dengan kenyataan bahwa kasih-setia (hesed) Allah tidak dapat diwartakan dalam liang kubur, di antara orang mati, melainkan di antara orang hidup. Hanya orang hidup dapat mengalami, merasakan, dan mengapresiasi kasih-setia Allah. Pertanyaan keempat berkaitan dengan pengetahuan. Hanya orang yang hidup dapat mengetahui perbuatan ajaib dan keadilan Allah. Di balik empat pertanyaan ini, pemazmur berharap agar Allah sudi menyelematkan dia dari pengalaman genting ini, karena hanya ketika ia hidup ia dapat mengalami Allah dan memuji kasih-setia dan keadilan-Nya.

Akhirnya, dalam ay.14 mazmur ditutup dengan doa. Setelah mengajukan pertanyaan, pemazmur bermuara dalam doa yang indah. Doa itu diucapkan terus menerus bahkan dengan berteriak seperti orang meminta tolong dari situasi genting. Doa itu naik seperti asap korban bakaran di waktu pagi (ay.14). Sekali lagi ada pertanyaan retoris dalam ayat 15, berkaitan dengan pengalaman negatif ditinggalkan Allah. Pemazmur memohon belas-kasihan Allah karena ia merasa hidupnya sudah sengsara sejak kecil, yang menyebabkan dia hampir terseret ke jurang putus-asa. Ia hampir bungkam karena dihimpit murka Allah (ay.17). Kedahsyatan murka itu juga dialami seperti banjir bandang yang menyeret dan menenggelamkan dia (ay.18). Sekali lagi, ia berada dalam situasi putus relasi sosial karena pengalaman sakit ini (ay.19), sebuah keadaan yang sangat lumrah. Jika kita sakit, maka sangat minimlah relasi sosial kita, dan semakin lama juga orang yang berkunjung berkurang sehingga kita menjadi miskin relasi dan bahkan terputus dari relasi sosial. Padahal itulah yang membentuk hidup kita. Itu sebabnya pemazmur sangat berharap akan kesembuhan dari Allah agar hidupnya dapat dipulihkan kembali. Dalam keadaan sehat kita dapat membangun relasi sosial kita yang terhenti karena pengalaman sakit. Itu hanya mungkin terjadi karena campur tangan Allah.


Nglempong Lor, 10 Juli 2012

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...