Monday, July 16, 2012

MENIKMATI MAZMUR 87

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Kita biasa mendengar orang berbicara positif tentang kampung atau kota asalnya. Kita sendiri juga sering memuji tempat asal kita. Kita berbicara secara positif tentang tempat asal kita. Kita membanggakan dan merindukan tempat itu. Seakan ada ikatan yang sangat erat antara keberadaan dan identitas kita dengan tempat asal kita. Tempat asal kita mempunyai arti penting dalam pembentukan kesadaran dan identitas kita. Sedemikian besarnya ikatan itu, sehingga kita terdorong untuk berusaha kembali kepadanya dalam sebuah perjalanan pulang, mudik. Perjalanan mudik itu dipandang sebagai perjalanan jiwa, perjalanan rohani, perjalanan spiritual yang juga mempunyai andil besar dalam memaknai hidup dan keberadaan kita. Ya, hal seperti itu adalah biasa terjadi dan dilakukan manusia sepanjang tempat dan waktu. Kita mempunyai nostalgia yang indah sehubungan dengan tempat asal kita. Betapapun hal itu mungkin sederhana, tetapi dalam imajinasi nostalgik, ia menjadi indah dan cantik.

Itu yang kita rasakan ketika menikmati Mazmur 87 ini yang dalam Alkitab punya judul menarik, “Sion, Kota Allah.” Sion itu adalah bukit kecil (gunung) di Yerusalem yang mempunyai kedudukan rohani dan mistik yang sangat kuat dalam kesadaran hidup Israel. Bukit/gunung memang mempunyai kedudukan yang sangat khusus dalam kesadaran dan hidup religius pelbagai bangsa. Misalnya orang membangun altar dan tempat suci di gunung itu (Sion, Betel, Moria, Sinai, dll). Begitu juga di sini, orang membangun kota di atas gunung yang kudus. Tetapi ada yang sangat unik dalam ay.1, yaitu subjek pembangunan ialah Allah sendiri. Di ayat 2 ada sebuah ideologi Yerusalem, ideologi bukit Sion yang dipandang sebagai tempat yang sangat istimewa karena pemazmur yakin bahwa Tuhan lebih mencintai pintu-pintu gerbang Sion dari pada tempat kediaman Yakub. Di sini terselubung pertarungan ideologis antara Yerusalem (Sion) dan Samaria (Betel). Sebagaimana orang mengatakan sesuatu yang mulia tentang kota asalnya, begitu juga di sini pemazmur meyakini bahwa orang mengatakan sesuatu yang mulia tentang Sion. Kota itu disebut kota Allah, the city of God, civitas Dei (ay.3).

Subjek, Aku, dalam ayat 4 agak menyulitkan pemahaman kita akan mazmur ini. Di sini muncul orang yang berbicara dalam diri orang pertama, Aku. Tampaknya si aku itu adalah personifikasi dari Sion sendiri, yang membanggakan diri di tengah pelbagai kota yang ada, sehingga di sana kita temukan nama-nama kota seperti Rahab (tidak diketahui letak kota itu), Babel, Filistea, Tirus dan Etiopia. Semua orang yang berasal dari tempat-tempat itu juga berbangga dengan tempat asal mereka, tumpah-darah mereka, tempat di mana darah mereka untuk pertama kalinya tertumpah dalam proses kelahiran mereka, kehadiran mereka di bumi ini. Ada sesuatu yang sangat unik dikatakan tentang Sion dalam ayat 5. Mula-mula Sion dikatakan sebagai tempat lahir orang per orang secara jelas, dan akhirnya dikatakan juga bahwa kota Sion itu ditegakkan oleh Dia, Yang Mahatinggi sendiri. Jadi, Sion mempunyai asal-usul teologis, tidak sekadar antropologis, apalagi sekadar kosmologis. Ini adalah salah satu cara penjelasan mengenai asal-usul sebuah tempat, sebuah kosmogonis, tentang proses kejadian dan kelahiran sebuah tempat. Tuhan turut campur tangan ketika kota itu diadakan untuk pertama kalinya. Bahkan segala tempat lain di bumi ini mempunyai arti di mata Tuhan justru karena dengan satu dan lain cara dikaitkan atau mempunyai kaitan dengan Sion. Itulah sebabnya dalam ayat 6 dikatakan: TUHAN menghitung pada waktu mencatat bangsa-bangsa: “Ini dilahirkan di sana.”

Di ayat terakhir (ayat 7) kita membaca sisa-sisa endapan kesaksian pemazmur akan apa yang ia lihat dan alami ketika orang ber-ziarah ke kota asal abadi itu. Rupanya ketika setiap tahun orang ber-ziarah rutin ke Yerusalem, Sion itu, mereka dilanda perasaan haru dan sukacita yang mendorong mereka bersorak-sorai dan bernyanyi dan menari-nari penuh sukaria, dan mereka melakukan itu semua beramai-ramai. Ada sorak-sorai dan kegirangan yang dirasakan orang ketika sudah mendekati dan masuk ke kota itu. Sesuatu yang juga kita rasakan ketika akan tiba di tempat asal kita. Setidaknya hati kita melonjak kegirangan, hati kita penuh sukacita. Itulah yang dialami dan dirasakan pemazmur di sini. Tetapi tidak hanya berhenti pada sukacita dan sorak-sorai saja, melainkan di akhir ayat 7 kita membaca bahwa di sana juga ada mata air: Segala mata airku ada di dalammu. Sion menjadi sumber sukacita, sumber kebahagiaan, yang memuaskan dahaga peziarah yang amat panjang, sumber yang menghidupkan, yang kepadanya jiwa-jiwa peziarah rindu laksana rusa rindu akan sumber air.


Nglempong Lor, 10 Juli 2012

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...