Sunday, June 13, 2010

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 71

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
LAY THEOLOGIAN DAN PENELITI CCRS
Center for Cultural and Religious Studies
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG




Judul mazmur ini menarik: Doa minta perlindungan di masa tua. Manusia lahir, tua, dan mati. Itu pasti: Sein zum Tode, kata Heidegger. Itulah kegelisahan mazmur ini. Mazmur ini cukup panjang: 24 ayat. Mazmur ini dibagi tiga: Bagian I: ay.1-11; Bagian II: ay.12-16. Bagian III: ay.17-24.

Ia mulai dengan pernyataan bahwa ia berlindung pada Tuhan dan berharap agar ia tidak malu. Karena ia berlindung pada Tuhan, ia berharap agar Tuhan melepaskan dan meluputkan dia dari rsoal hidupnya (ay.2). Salah satu soal yang ia hadapi ialah rongrongan orang fasik (ay.4). Ia berharap agar Tuhan menjadi gunung batu tempat ia bersembunyi dengan aman dari musuh (ay.3). Tetapi bukan baru di masa tua ia berseru kepada Allah, melainkan sejak masa muda ia sudah berharap pada Allah (ay.5). Dalam ay.6 ia mengekstremkan ay.5 dengan mengatakan bahwa ia bertopang pada Allah sejak kandungan. Itu benar: sebab keajaiban proses perkandungan ialah misteri karya cipta dan penyelenggaraan Tuhan. Peristiwa lahir selamat juga dilihat sebagai penyelenggaraan Tuhan: Engkau telah mengeluarkan aku dari perut ibuku. Karena semuanya itu, ia selalu memuji Allah. Itu sebabnya, ia memandang hidupnya sebagai tanda ajaib di hadapan orang banyak, karena ia mengandalkan, memuji dan memuliakan Tuhan pelindungnya (ay.7-8). Atas dasar itu ia berharap bahwa di masa tuanya ini, ia tidak disia-siakan. Betapa pedih dan menyakitkan disepelekan ketika kekuatannya habis, ketika sudah tua, lemah tak berdaya. Ia merasa bahwa di masa tua inilah ia membutuhkan pertolongan Tuhan karena di masa inilah secara psikologis ia seakan ditinggalkan banyak orang. Satu-satunya tempat berlindung sekarang ialah Allah (ay.9-11).

Dalam Bagian II, ia khusyuk menghadap Allah: ia melanjutkan permohonannya agar Allah tidak meninggalkannya, melainkan harus selalu dan segera menolongnya (ay.12). Kalau Allah sudi bertindak, maka para lawannya akan tidak berdaya (ay.13). Ia tidak punya harapan dan andalan lain, selain Allah (ay.14). Karena itu, hanya satu hal yang akan ia lakukan dalam sisa hidupnya yaitu memuji dan memuliakan Tuhan (ay.14-15). Atas dasar itu, ia yakin bahwa ia bisa menghadapi lawannya dengan keperkasaan Tuhan Allah (ay.16).

Dalam Bagian III, kita melihat suatu dinamika lain. Dalam ay.17 ia mulai dengan nostalgia: Tuhan sudah mengajar dirinya sejak masa kecil, dan karena itu hingga tua pun ia tetap memuji dan memuliakan Tuhan. Ia berharap bahwa penyertaan Tuhan yang selama ini ia rasakan, akan tetap ia rasakan juga di masa tuanya, agar dengan itu ia punya kesempatan memahsyurkan namaNya (ay.18). Ia yakin ia sudah merasakan dan mengalami keadilan Tuhan dalam hidupnya. Ia mengalami mukjizat Tuhan (ay.19). Tidak hanya itu. Ia juga mengalami sisi gelap dan negatif dalam hidup ini. Tetapi itu bukan kata final dalam hidup, sebab Tuhan meluputkan dia dari situasi gelap dan negatif itu; bahkan ada metafor “diselamatkan” dari alam maut yang dilambangkan samudera raya (ay.20). Atas dasar pengalaman di masa silam, pemazmur yakin bahwa Tuhan akan menambah perbuatan ajaib dalam hidupnya sekarang dan di sini (ay.21).

Seluruh mazmur ini dalam tiga ayat terakhir ditandai janji kegirangan dan sukacita besar: Ia memakai alat musik untuk mengiringi lagu pujiannya kepada Allah (ay.22). Alat ucap dan alat tutur dalam dirinya (bibir, lidah) senantiasa memuji dan memuliakan Allah (ay.23). Ia merasa jiwanya terbebaskan dari masalah hidup. Dalam keadaan seperti itu, maka semua orang yang mengharapkan nasib buruknya malu dan tersipu-sipu (ay.24).


BANDUNG, 14 JUNI 2010
SIS BM.
LAY THEOLOGIAN DAN PENELITI CCRS FF-UNPAR BANDUNG

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...