Monday, February 15, 2010

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 63

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
PENELITI CCRS (CENTER FOR CULTURAL AND RELIGIOUS STUDIES) FF-UNPAR BANDUNG


Judul mazmur ini dalam Alkitab kita amat menarik: Kerinduan kepada (akan) Allah. Judul itu menyiratkan adanya relasi unik antara manusia dan Allah. Relasi unik itulah yang coba dibentangkan dan direnungkan dalam mazmur ini. Pasti relevan juga dengan penghayatan iman kita sekarang ini. Untuk memahaminya kita membagi mazmur ini menjadi dua bagian. Bagian I, ayat 1-9. Bagian II, ayat 10-12. Isi dari masing-masing bagian akan ditinjau secara dinamis di bawah ini.

Dalam ayat 2, ia mulai dengan seruan kepada Allah, suatu pengakuan iman bahwa Allah-nya dia adalah Allah itu, bukan yang lain. Suatu relasi eksklusif tersirat di sini. Ia mencari, merindukan dan mendambakan Allah yang itu saja. Dengan bahasa metafor-antropologis yang sangat kuat dan eksistensial ia melukiskan kerinduan jiwanya akan Allah dengan pengalaman kehausan. Orang yang pernah haus tahu betapa ia merindukan air segar. Ia mengalami kerinduan itu dalam tubuh dan jiwa, total dan eksistensial sekali kerinduan itu. Ia ibaratkan kerinduan itu seperti tanah kering dan tandus merindukan air. Dalam ay 3 ia memakai metafor itu untuk melukiskan hubungan unik dan intens antara dirinya dan Allah. Ia hanya berharap pada Allah, dan kata harapan itu tertuang dalam kata kerja “memandang” kepada Allah yang hidup dan berdiam di tempat kudus. Ia memandang kepada Allah karena ia merasa bahwa kasih setia Allah lebih baik dari pada hidup (sebuah ungkapan dan perbandingan yang susah diterangkan dan dipahami). Karena itu ia akan senantiasa memuliakan Allah dengan bibirnya (pars pro toto).

Ia mau memuji Allah sepanjang hidupnya. Ia mau bersaksi tentang Allah dengan seluruh tubuh dan keberadaannya (ay 5). Bibirnya tiada hentinya memuji dan memuliakan Allah, karena dalam ay 6 ia mempunyai pengalaman kepuasan rohani yang diibaratkannya dengan makanan nikmat dari lemak dan sumsum. Tidak ada lagi waktu yang dilewatkan pemazmur tanpa berpikir tentang Tuhan. Seluruh hidupnya diisi oleh ingatan, kenangan akan kehadiran Tuhan, akan tindakan Tuhan dalam hidupnya. Baik waktu tidur, maupun di waktu jaga malam, ia selalu teringat akan Tuhan. Tuhan itu selama ini telah menjadi penolong hidupnya. Atas dasar itu ia bersorak-sorai dalam naungan rasa aman Tuhan. Tidak ada lagi yang harus dirisaukannya. Relasi intim dan intens pemazmur dan Allah diungkapkan dengan bahasa yang kuat dalam ayat 9 yaitu seakan-akan jiwanya melekat pada Allah. Tidak ada lagi yang lain yang diingat dan dipikirkan jiwanya, selain tentang Allah. Relasi kedekatan dan intens itu diungkapkan dengan bahasa antropologis dua kekasih yang biasanya memeluk kekasihnya dengan tangan kanannya dan mencoba memperagakan bahasa dialogal dengan tangan kirinya.

Lalu menyusul bagian kedua yang sangat singkat (dibandingkan dengan bagian pertama tadi). Di sini ia melukiskan nasib dari orang yang merencanakan kejahatan terhadap dirinya. Mereka ini akan mengalami tiga nasib tragis sbb: menjadi penghuni syeol, mati terbunuh mata pedang, dan menjadi mangsa dan makanan anjing hutan atau serigala. Berbeda dengan hal itu, nasib raja (sosok ini tiba-tiba muncul di sini, mungkin ini juga adalah doa dan harapan untuk raja) akan selamat. Ia dilindungi Allah dan dalam lindungan Allah itu ia bersukacita. Orang yang mengandalkan Allah dalam hidupnya akan megah dan berjaya. Sebaliknya para pendusta akan dibungkam. Karena itu, mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi dengan mulut mereka, misalnya mencaci-maki, mengumpat, dan mencela. Itu semua tidak bakal terjadi lagi, karena mulut mereka sudah dibungkam.


Bandung, 15 Februari 2010
SIS B (CCRS, FF-UNPAR BANDUNG)

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...