Monday, May 11, 2009

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 45

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini dalam alkitab berjudul sbb: Nyanyian pada waktu pernikahan raja. Mari kita menikmatinya menurut penggal yang ditunjukkan dalam teks itu. Dalam ay 2 ada sebuah pengantar dari pemazmur, pengantar puitis yang mencoba menjelaskan maksudnya: mau menyampaikan lagu pujian kepada Baginda raja.

Sesudah itu menyusul penggal I: ay.3-6. Isinya ialah sebuah eulogia, lagu pujian akan ketampanan raja (ay.3). Raja dipuja-puji karena dan sebagai satria gagah perkasa, gagah berani, sebagai hero (ay.4-6). Itu semua terbukti di hadapan para lawan, yang tunduk. Yang menarik ialah bahwa karena semua ciri-ciri ini, di akhir ay.3 dikatakan bahwa ia diberkati Allah. Jadi, Allah memberkati dan memilih dia sebagai raja karena sifat-sifat tadi.

Penggal II: ay.7-13, cukup panjang. Dalam ay.7 ada sebuah pandangan teologis mengenai kekuasaan raja: bahwa kekuasaan (dilambangkan tahta), berasal dari Allah. Raja adalah wakil Allah di bumi. Maka ia harus punya beberapa sifat unggul-mulia. Itulah yang diyakini sebagai sifat baik raja: Ia harus memegang tongkat kebenaran (veritas, ay.7). Ia harus mencintai keadilan, agar bisa menegakkan dan memajukan keadilan, promotio iustitiae, sebab keadilan adalah pangkal perdamaian, opus iustitiae pax, tidak ada perdamaian tanpa keadilan. Keadilan adalah syarat mutlak, conditio sine qua non, perdamaian. Ia harus membenci kefasikan. Itulah sifat yang disukai Allah. Inilah yang disebut kriteria teologis dan etis bagi raja. Seseorang layak diangkat menjadi raja jika ia memiliki sifat-sifat yang berkenan pada Allah. Selanjutnya kita baca pelukisan tentang kemewahan dan kesemarakan raja (ay.9). Dalam kemewahan dan kesemarakan itu, ia didampingi permaisuri yang tidak kalah kesemarakannya (ay.10). Semua itu terasa semakin mencolok, dengan kehadiran para puteri raja. Lengkaplah kemuliaan dan semarak itu. Selanjutnya kita baca mengenai desakan kepada sang mempelai perempuan agar menaruh cinta yang tulus kepada raja, membiarkan raja mencintainya dengan penuh gairah (ay.11-12). Sebab raja itu bukanlah orang biasa melainkan orang besar, yang akan dipuja banyak orang, dari segala bangsa dan golongan. Semua orang akan berusaha membangun relasi yang baik dengan dia (ay.13).

Penggal III: ay.14-16. Jika dalam bagian di atas, kita baca pelukisan mempelai pria, maka sekarang kita membaca pelukisan mempelai perempuan. Sang puteri cantik, dan semakin dipercantik lagi karena busananya yang mewah, terbuat dari emas. Ya, ia memang berpakaian semarak mulia, dalam kebesarannya. Ia diiringi banyak dayang. Dengan semarak mulia pula mereka beriring masuk ke dalam istana (ay.14-16).

Penggal IV: ay.17-18. Perkawinan adalah awal dari sebuah dinasti yang panjang. Sebuah untaian keturunan yang diharapkan akan lestari dan abadi. Cita-cita keturunan inilah yang coba dilukiskan dalam penggal ini, khususnya ay.17. Anak dan keturunan diharapkan akan menjadi pengganti raja di atas tahtanya. Tetapi, itu tidak otomatis, sebab mereka harus memiliki sifat-sifat mulia dan agung yang ada pada sang ayah, yang dipuja-puja pada ayah, sifat-sifat yang berkenan pada Allah. Di sini tersirat harapan bahwa memang martabat rajawi itu bersifat herediter, tetapi sesuatu yang herediter itu harus tetap diberi kwalitas moral-teologis, sebab dari sanalah sumber dan dasar legitimasi dan justifikasinya. Jika itu semua terjadi, si pemazmur berniat untuk mengisahkan semuanya itu untuk selama-lamanya (ay.18).


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...