Monday, May 11, 2009

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 44

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Tanpa terasa kita sudah berjalan sampai Mazmur 44. Puji Tuhan atas ketekunan dan ketahanan kita. Walau mungkin tidak banyak umat Martinus membaca ulasan ini di Bergema, tetapi karena ada pembaca lain yang menikmatinya melalui blog saya (dan website Bergema), maka saya punya kekuatan dan keberanian untuk terus melangkah bersama pembaca sekalian. Mazmur ini, dalam alkitab berjudul sbb: Jeritan bangsa tertindas. Saya membaginya menurut pembagian yang ada dalam teks.

Penggal I: ay 2-4. Dalam bagian ini kita baca penelusuran sejarah, melihat yang terjadi pada nenek moyang. Ternyata penelusuran ini merupakan jalan kepada Allah, jalan penyadaran akan tindakan dan perbuatan Allah di masa silam (ay.2). Dalam ay.3-4, dilukiskan tindakan sosio-politis Allah demi bangsa yang dipilih dan dikasihiNya. Allah memberi ruang dan peluang untuk bertumbuh-kembang bagi bangsa itu. Maka muncul kesadaran di akhir ay.4, bahwa Israel bisa hidup dan berkuasa, karena Allah.

Penggal II: ay.5-9. Atas dasar pengalaman historis, mengalir Credo, pengakuan iman akan Allah. Allah-lah Raja, yang membawa dan menghadiahkan kemenangan bagi Israel. Allah menjadi satu-satunya alasan untuk melambungkan pujian. Bukan karena alasan lain. Perhatikan pergonta-gantian subjek dalam penggal ini antara kami dan aku (ku). Ini sebuah kesadaran diri pemazmur yang sebentar tampil sebagai individu, sebentar tampil sebagai wakil atau juru bicara kelompok, sebagai corporate-personality.

Penggal III: ay.10-17. Jika dibaca baik-baik penggal ini hanya melukiskan sejarah gelap bangsa Israel, di mana mereka merasa ditinggalkan Allah. Itu suatu yang biasa. Ada pengalaman suka, ada pengalaman duka. Ada pengalaman vaya con Dios, ada pengalaman living without God, pengalaman Lama sabhaktani. Ini adalah pengalaman negatif akan Allah. Dengan pelbagai bahasa simbolis pemazmur melukiskan pengalaman itu. Misalnya ay.10: ….Engkau telah membuang kami…. Ay.12: Engkau menyerakkan kami…. Tetapi pengalaman negatif ini bukanlah titik akhir. Bukan segala-galanya. Sebab badai pasti berlalu. Habis gelap terbit terang. Pengalaman negatif ini selalu mempunyai fungsi dan nilai didaktis, nilai mendidik.

Maka dalam Penggal IV, ay.18-22, kita melihat dan merasakan betapa iman itu tetap bertahan melewati malam kelam iman, malam kelam rohani. Ibarat akar yang bertahan di bawah salju musim dingin yang membeku, tetapi siap merekah lagi di musim semi dan panas. Simak pekik ay.18 itu: Semuanya ini telah menimpa kami, tetapi kami tidak melupakan Engkau. Jadi, betapa iman itu tahan uji di hadapan pencobaan paling kelam, paling berat. Ada satu pesan pokok dalam ayat-ayat ini yaitu bahwa orang tidak jatuh ke dalam godaan ateisme praktis karena pencobaan dan godaan iman. Sebab tidak jarang, orang mencari jalan gampangan dalam pencobaan. Begitu menderita, orang lupakan Allah. Seandainya masih ada yang ragu mengenai iman ini, pemazmur berkata bahwa ia mau menyerahkan perkara itu kepada pengadilan Allah (ay.21-22). Biarlah, Allah sendiri yang mahatahu, omniscience yang akan menyelidiki isi hati kita.

Penggal V: ay.23-27. Sekali di sini ada pelukisan mengenai pengalaman negatif akan Allah, tetapi pengalaman itu tidak sampai membuat orang jatuh ke dalam situasi tidak beriman. Sebaliknya orang tetap berharap pada Allah. Itulah sebabnya si pemazmur ini tetap memohon rahmat pembebasan dan shalom dari Allah, sebab Allah itu penuh kasih setia. Kita dapat berharap dan mengandalkan kasih setia Allah itu.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...