Dalam kitab suci, Mazmur ini tidak diberi judul tersendiri, melainkan diberi kesan kuat sebagai satu kesatuan dan kelanjutan Mazmur 42. Maka dalam ay.1 mazmur 43 langsung mulai dengan permohonan. Ia memohon keadilan kepada Allah. Ia memohon agar Allah sudi membela perkaranya, terutama di hadapan lawannya. Ia menyebut secara khusus tiga kelompok: kaum yang tidak saleh, orang penipu dan orang curang (ay.1). Pemazmur amat yakin dengan permohonannya ini. Itu tidak mengherankan karena pemazmur sudah memintanya dalam satu untaian doa panjang. Keyakinan itulah yang tampak dalam ay.2. Ia memberi alasan khusus di sini mengapa ia merasa amat yakin: Sebab Engkaulah Allah tempat pengungsianku. Jika ini benar, maka muncul pertanyaan kritis berikutnya: mengapa Tuhan membuang dia dan karena itu merasa terhimpit dalam kedukaan dan kemurungan? Di tengah semuanya itu pemazmur meminta dua “bentara” Allah untuk menyertai dan menuntunnya: Ia meminta terang dan kesetiaan Tuhan. Kedua hal ini dia yakini bisa menuntun dia secara pasti menuju ke gunung-Mu yang kudus, dan ke tempat kediaman-Mu (ay.3).
Kalau ini sungguh terjadi, maka pemazmur merasa bahwa Ia akan dapat pergi ke mezbah Allah. Menghadap mezbah Allah berarti datang menghadap Allah. Ia mengalami Allah sebagai sumber sukacita dan kegembiraan hidupnya (ay.4). Di hadapan pengalaman akan Allah seperti itu, pemazmur merasa terdorong memuji Allah dengan memakai alat musik, dan secara khusus ia menyebut alat musik kecapi.
Menarik bahwa di bagian akhir mazmur ini, dalam ay.5, muncul kembali refrein yang sudah kita baca dalam mazmur terdahulu (Mzm.42). Dalam Mazmur 42 kita temukan refrein ini diulang sebanyak dua kali (ay.6
Di akhir mazmur peziarah ini, pemazmur sekali lagi melukiskan resah gelisah hatinya dalam gejolak rindu akan rumah Allah. Ia seakan memberi penghiburan kepada jiwanya sendiri agar jiwa itu tenang saja, tidak usah resah-gelisah. Sebab yang paling penting ialah bahwa ia tetap berkanjang, bertahan dalam harapannya. Harapan itulah yang memungkinkan dia masih mempunyai kesempatan berharap kepada Allah. Tetapi Allah yang ia maksudkan di sini bukan Allah anonim, atau zat antah berantah, melainkan Allah yang dialaminya secara personal, Allah yang terlibat dalam hidupnya sendiri. Ia mengalami Allah itu sebagai penolongku. Karena itu, ia berani menyebut Allah sebagai Allah-ku. Tetapi jangan sampai keterangan ku di situ dipahami sebagai kepemilikan. Melainkan ia mau melukiskan sebuah relasi personal yang amat mendalam. Itu dimulai dengan gejolak rindu dan harapan yang dalam mazmur 42 diibaratkan dengan rusa yang mendamba air.
Mazmur ini sangat populer dalam imajinasi orang Kristiani, sehingga sangat banyak dipakai sebagai lagu komuni, yang mencoba mengungkapkan kerinduan jiwa untuk dapat bersatu dengan Yesus Kristus, sang dambaan jiwa. Dan itu sangat tepat. Saya mengutip sepenggal lagu seperti: Laksana Rusa rindu akan air, jiwaku rindu padaMu Tuhan. (Fransiskus Borgias M.).
No comments:
Post a Comment