Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)[1]
Dalam sejarah filsafat terkenal ungkapan prius manducare, deinde philosophare (makan dulu, baru berfilsafat). Ungkapan ini menyiratkan anggapan bahwa berfilsafat adalah aktifitas orang yang sudah makan, kenyang dan mapan. Tentu bukan itu maksudnya. Sebab orang lapar bisa juga berfilsafat, yaitu berfilsafat tentang pengalaman sengsara karena lapar itu. Bahkan filsafat menjadi eksistensial justru dalam pengalaman lapar. Sekali lagi, bukan itu maksud ungkapan Latin tadi. Maksudnya ialah, jangan sampai orang menjajakan filsafat (ala tukang asong) untuk bisa makan. Sebab kalau ini yang terjadi, maka filsafat tidak lebih dari sekadar ilmu praktis. Ia berhenti dari martabat asalinya sebagai induk segala ilmu. Ia menjadi tidak lebih dari sekadar techne yang praktis-instrumental. Kita tidak dapat mengingkari fakta bahwa aktifitas berfilsafat mengandaikan waktu senggang (leisure time). Waktu senggang diandaikan dimiliki orang mapan paling tidak secara ekonomik. Dalam konteks ini, waktu senggang dipandang sebagai prasyarat munculnya kebudayaan dan peradaban, kata Filsuf Belgia, Joseph Pieper. Tanpa waktu senggang sulit dibayangkan munculnya kebudayaan dan peradaban. Waktu senggang adalah waktu mulia, berharga, yang hanya pantas dinikmati oleh orang yang sudah bekerja keras. Kerja mengandaikan ada waktu istirahat. Dalam arti itu, waktu senggang adalah puncak kerja, hadiah kerja. Maka tanpa kerja, tidak ada waktu senggang. Waktu senggang yang dinikmati sebagai hadiah atau mahkota kerja, tidak membosankan. Sebaliknya waktu senggang yang dinikmati semata-mata demi waktu senggang itu sendiri, tentu menimbulkan kebosanan dan bahkan kemuakan, nauseea, meminjam istilah J.P.Sartre. Dalam konteks inilah kita bisa memahami ada yang mensinyalir adanya ketakutan akan waktu senggang, phobia akan waktu senggang.
Mungkin sebaiknya dalam rangka HFS ini, kita perlu menelusuri etimologi untuk mengapresiasi makna fundamental dan eksistensial filsafat. Kita di Indonesia mengenal kata filsafat lebih banyak dari jalur penelusuran etimologi Arab, falsafah, failasuf. Tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, kata filsafat itu terdiri atas dua akar kata, philo (philein, mencintai) dan sophia (sophos, hikmat, kebijaksanaan). Maka filsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Kita dapat mengartikannya sebagai upaya mulai mencintai kebijaksanaan. Tentu kita tidak boleh memahami kebijaksanaan dalam artian populer, yaitu sebagai jalan keluar dari situasi terpojok: mohon kebijaksanaan pak, hari ini saya tidak bisa kuliah. Tentu bukan kebijaksanaan pejoratif seperti itu yang dimaksud. Yang dimaksud ialah kebijaksanaan dalam arti wisdom, kearifan, yang mencakup ketenangan, kematangan hidup, melampaui sekadar pintar atau cerdas belaka.
Kalau filsafat dipahami dalam artian itu, seharusnya filsafat bukan ilmu serem, walau selama ini banyak orang takut akan filsafat karena ada kesan sulit dan seram. Ketika orang berbicara tentang filsafat, maka yang terpikir ialah pemikiran spekulatif, di awang-awang, tidak berpijak di bumi. Kita tidak dapat mengingkari hal itu, sebab ada unsur spekulatif dalam filsafat, terutama kalau kita bicara tentang logika, ontologi, epistemologi (teori mengenai pengetahuan). Belum lagi jika meloncat ke theologia (Aristotelian). Semuanya seram. Tetapi kita bisa berbicara tentang ta ethica, aesthetica, politica, democratia, yang kongkret dan praktis. Jadi filsafat ada unsur spekulatif dan praktis. Jangan takut pada yang spekulatif, sebab Lenin berkata bahwa aksi hanya bisa digerakkan lewat pemikiran spekulatif, theoria. Berarti, ia penting dan mendasar. Maka jangan takut akan filsafat, jangan enggan berfilsafat. Memang ada analogi populer yang mengibaratkan filsafat sebagai perempuan cantik, pintar, kaya, dan naik mobil mewah. Banyak yang naksir tetapi hanya bisa mengagumi dari jauh. Tidak berani datang dekat, bercengkarama dengan dia. Itu menyesatkan. Filsafat tidak seperti itu. Filsafat, sebagai Kebijaksanaan, menawarkan dan menampakkan diri kepada setiap/semua orang. Begitu ia tampak, apa pun status orang itu, ia akan mendekati, mencintai, bercengkerama, dan bercinta dengannya. Tidak ada ketakutan dan keengganan. Tidak ada lagi situasi berjarak.
Masih ada satu hal penting yang perlu dipikirkan dalam rangka HFS. Salah satu cabang filsafat yang kini berkembang ialah etnofilosofi. Saya mau memaknai perayaan ini dengan mencanangkan kebangkitan dan perhatian baru akan etnophilosophy. Saya mengartikannya secara sederhana berdasarkan etimologinya, yaitu ethne dan philosophy. Artinya, filsafat yang ada pada (dimiliki) para bangsa (ethne), atau lebih kongkret oleh salah satu bangsa (Indonesia, lebih spesifik kita bicara tentang Jawa, Batak, Manggarai, Makasar, Madura, Bugis, Dayak, Papua, dll). Jika ditelusuri secara etimologis, etnofilosofi adalah bahasa lain dari apa yang selama ini disebut local wisdom, kearifan lokal. Dalam bingkai local wisdom itu, saya mendefinisikan kultur sebagai strategi hidup, sebab hidup perlu disikapi dengan strategi kebudayaan (istilah C.A.van Peursen) agar hidup bisa lebih bermakna, lebih hidup. Kebudayaan bukan lagi terutama harus diartikan sebagai sesuatu yang menghasilkan monumen dan artefak fisikal. Misalnya kehadiran Buddhisme di Indonesia terasa karena kehadiran Borobudur. Juga Hinduisme yang kental dalam kehadiran Prambanan. Yang fisikal itu penting sebab ia menandai, menegaskan dan memaknai kehadiran (presence). Itu sebabnya ketika ada yang mencoba menghancurkan Borobudur, itu adalah usaha menegasi kehadiran historis yang bermakna. Walau semuanya penting, tetapi bagi saya produk itu hanya sekunder; itu hanyalah material kultur, meminjam istilah dari salah satu pemikir antropologi, C.McDaneel.
Dalam konteks inilah saya mau melihat filsafat pada level spiritual kultur, yaitu kultur yang selama ini memungkinkan hidup bisa dihidupi, dihayati, dimaknai, yang selama ini membuka cakrawala pandangan lebih luas, yang membuat hidup tidak sumpek, tidak memuakkan, atau bahkan terjeblos ke dalam nihilisme, jurang hampa makna. Saya mau menempatkan perayaan ini, dalam konteks kebangkitan dan apresiasi akan local wisdom, akan ethnophilosophy, akan filsafat yang sekian lama memungkinkan sekelompok manusia bisa hidup, tidak hanya sekadar bertahan hidup, melainkan bisa memaknai hidup itu, juga ke arah yang transenden. Selamat Hari Filsafat Sedunia.
1 comment:
apa benar 20 nov adalah hari filsafat
Post a Comment