Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Sudah tiga tahun berlalu. Sebuah penantian yang teramat panjang, sejak 2005 hingga 2008 sekarang. Tahun 2005 saya menerjemahkan The Story of Philosophy (diterjemahkan menjadi Kisah Filsafat) dari pengarang kenamaan Will Durant. Hal itu saya lakukan atas permintaan Penerbit Mizan, Bandung. Sesuai dengan permintaan dan surat kontrak perjanjian kerja antara saya dan Mizan, saya menyelesaikan pekerjaan itu dalam empat bulan. Tetapi hingga saat ini buku terjemahan itu belum juga terbit. Sekali lagi, sebuah penantian yang teramat panjang.
Tetapi bukan itu yang mau saya perkarakan dalam tulisan singkat dan sederhana ini. Yang saya perkarakan ialah bahwa dalam buku itu, ada pengabaian/pengingkaran fakta sejarah yang sangat besar. Pengingkaran itu terasa sangat mencolok dalam pandangan dan penilaian saya. Coba bayangkan saja, Durant meloncat dari para Filsuf Yunani kuno dan langsung ke para filsuf besar modern. Yang lebih parah lagi, ia memberi kesan yang sangat kuat bahwa hanya kurun itulah yang dianggapnya sebagai kurun filsafat murni, kurun sejarah yang menghasilkan pemikiran filsafat dalam artian yang sebenarnya dan dalam artian yang ketat dari kata itu. Sekali lagi itulah yang menjadi soal besar bagi saya dalam tulisan ini. Semua rentang kurun sejarah yang terdapat di antara kedua pilar historis besar itu dianggapnya bukan filsafat. Terserah mau dianggap apa dan mau disebut apa. Karena itu ia tidak mau merepotkan diri dengan tokoh pemikir besar seperti St.Agustinus, St.Thomas Aquinas, St.Bonaventura, Duns Scottus, Petrus Abelarrdus, orang seperti Sieger dari Brabant, dan juga John Salisbury, dan sederetan nama-nama besar lain.
Sejauh yang dapat saya amati, ternyata Will Durant tidak sendirian. Buku sejarah Filsafat Modern dari Bertrand Russel juga melakukan pengabaian atau pengingkaran besar yang sama. Hal itu sangat berbeda dengan buku sejarah Filsafat yang dihasilkan oleh pemikir Katolik, misalnya, Etienne Gilson dan Friedrick Coppleston. Karya-karya mereka lengkap, utuh, tidak ada pengabaian atau pengingkaran. Yang paling lengkap tentu saja buku sejarah dari Copleston. Dalam buku kedua filsuf ini tidak ada yang terlewati; semuanya masih bisa memberi dan mendapatkan tempat tertentu yang cenderung istimewa di tengah dunia ini.
Tetapi pertanyaannya sekarang ini ialah, mengapa Durant dan Russel melakukan pengabaian/pengingkaran seperti itu? Hal itu tentu ada kaitannya dengan keangkuhan jaman pencerahan, jaman rasionalisme Aufklaerung yang menganggap jaman Terang Eropa itu hanya mencakup jaman Greco-Roman saja pada awalnya, dan jaman Eropa Modern yang antara lain dimulai Descartes. Lalu bagaimana yang lain, yang berada di tengah itu? Gampang. Yang ditengah-tengah itu, disebut Medium Aevum, yang artinya, abad yang di tengah, dari mana asal-usul sebutan abad pertengahan. Maka sebutan abad pertengahan sebenarnya mempunyai konotasi historis jelek, sebuah perendahan, pelecehan, sebuah pengingkaran, pengabaian. Juga disebut sebagai Dark Ages, jaman gelap, jaman gelap peradaban, jaman di mana Eropa dikatakan memasuki malam kelam peradaban.
Lalu mana yang disebut jaman terang? Jaman terang akal budi, atau fajar akal budi hanya ada pada jaman Greco-Roman dulu. Maka kalau sekarang mau agar ada lagi fajar dan terang akal budi, orang harus kembali ke jaman Greco-Roman itu, harus ada kelahiran kembali, harus ada renatus, reneisans jaman lama.
Sebagai abad gelap dan abad yang ada di tengah-tengah, maka jaman itu adalah jaman yang tidak menghasilkan apa-apa, tidak mewariskan apa-apa selain mewariskan kebodohan, ketololan, dan kegelapan. Itu adalah kurun sejarah yang kering, tidak subur, mandul dengan pemikiran kreatif.
Sebagai orang Katolik, saya tidak dapat menerima begitu saja pemikiran dan anggapan historis seperti ini. Tentu ini adalah sebuah pengabaian dan pengingkaran fakta sejarah yang keterlaluan. Saya tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa Eropa pada abad yang disebut abad tengah itu menghasilkan banyak tokoh besar yang nanti masih akan saya sebutkan. Ada sebuah buku sejarah gereja yang justru dengan sangat baik melukiskan bahwa betul Eropa sejak abad keenam memasuki malam gelap peradaban, tetapi nyala api dan pijar-pijar peradaban masih terus dihidupkan dalam gereja, terutama dalam lembaga keuskupannya. Itulah kesan yang dapat kita peroleh dari buku yang ditulis oleh orang seperti W.L.Helwig dan terutama buku sejarah gereja yang ditulis oleh seorang sejarawan besar Henry Daniel-Rops. Pengarang seperti Godefroid Kurth juga memberi kesan yang kuat ke arah itu, dalam bukunya The Church at the Turning Points of History.
Jadi, sesungguhnya sama sekali tidak gelap juga. Anehnya lagi, dalam uraian Durant tentang politik Plato, ia banyak mencari penerapannya dalam idealisme gereja pada abad pertengahan yang konon dibangun di atas utopia sejarah Agustinus yang menghasilkan buku yang teramat cemerlang, Civitas Dei itu. Civitas Dei itu sendiri tidak pernah terpikirkan terlepas dari Civitas Terrena. Seungguhnya kita tidak dapat mengabaikan abad pertengahan, sebab dari sana kita dapat mengenal nama-nama besar seperti Agustinus, Boethius, Gregorius Agung, dan nama-nama lain yang sudah disebut tadi. Maka, sekali lagi, betapa pengabaian yang telah dilakukan Durant di atas tadi adalah sesuatu yang keterlaluan. Maka harus ditolak sebagai sebuah ketidakadilan sejarah.
Bandung, 31 Oktober 2008.
(diketik ulang sambil dikoreksi dan dikembangkan lebih lanjut: 07 November 2008).
No comments:
Post a Comment