Mazmur ini berbicara tentang salah satu tendensi abadi hati dan budi sementara kalangan anak manusia, yaitu tendensi ke arah ateisme, menyangkal adanya Allah, bahwa Allah itu tidak ada. Tendensi ini oleh si pemazmur dianggap sebagai ketololan manusia. Pemazmur beranggapan bahwa seharusnya akal budi manusia condong kepada upaya mencari dan menuju Allah (sebagaimana pernah dipentaskan Karl Rahner). Tetapi ternyata tidak demikian; orang tidak memakai akalnya untuk mencari Allah; inilah kebebalan manusia. Tetapi sesungguhnya bukan ateisme itu yang dikecam pemazmur, melainkan ia terutama sekali mengecam implikasi praktis-etis paham ateisme itu.
Paling tidak ada dua implikasi yang bisa ditunjukkan si pemazmur dalam mazmur ini. Pertama, ateisme itu mendatangkan bencana moral-sosial. Mengapa demikian? Itu tidak lain karena orang tidak lagi mengakui Allah. Kalau orang tidak lagi mengakui Allah, maka orang tidak takut lagi akan Allah. Kalau orang tidak takut lagi akan Allah maka mereka pun mulai melakukan perbuatan-perbuatan jijik dan busuk dan tidak baik (tidak dirinci lebih lanjut; ay.1). Mereka cenderung kepada kebejatan dan perilaku selingkuh (ay.3). Jadi, ayat 1-3 adalah pelukisan gamblang tentang ateisme yang menggerogoti dan mengganggu umat yang percaya akan Allah.
Kedua, tidak hanya itu saja, ateisme juga pada gilirannya mendatangkan bencana besar kemanusiaan, bencana humanisme. Mengapa? Itu tidak lain karena para pelaku kejahatan plus perbuatan jahat mereka, mengancam sesama manusia (ay.4). Bencana humanisme ini mulai dilukiskan dalam ayat 4. Ayat 4 ini, dengan gaya retoris, menandai perubahan isi mazmur, yang kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam ayat 5-6. Dalam bagian ini secara sangat singkat dilukiskan bagaimana ateisme itu melanda umat manusia. Umat Allah juga ikut terancam, mungkin bahkan justeru merekalah yang paling merasa terancam oleh gelombang ateisme itu. Mereka termakan habis seperti roti (ay.4).
Tetapi, Tuhan tidak berdiam diri. Tuhan tetap melihat dan mengamati semuanya, Tuhan tetap melihat semua perilaku dan perbuatan manusia. Yang lebih penting lagi, si pemazmur yakin bahwa Tuhan tetap menyertai angkatan yang kudus (ay 5). Memang tidak dapat disangkal bahwa kehadiran ateisme dan orang-orang ateis di sekitar kita dapat menjadi satire atau olok-olokan bagi kaum beriman (ay 6). Lebih dari itu, kehadiran ateisme juga bisa bermuara pada penindasan dan penghambatan terhadap orang-orang beragama (seperti yang pernah dan mungkin juga masih terjadi di Uni Soviet dulu, atau di China, atau Cuba. Tetapi jangan keliru: penindasan terhadap umat beragama bisa juga muncul dari sesama kaum beragama itu sendiri, tidak mutlak muncul dari orang yang tidak beragama; agama arus aliran utama menghantam kelompok sekte sempalan yang dianggap sesat atau bidaah; ini yang paling sulit; tetapi mazmur 14 ini belum sampai ke refleksi seperti itu).
Tetapi, biar sajalah, sebab, Tuhan adalah perlindungan kita. Begitulah sikap dan keyakinan si pemazmur yang seakan-akan memperlihatkan sikap pasrah dan percaya dan menyerahkan semuanya kepada Allah sendiri; tidak mau main hakim sendiri. Dengan bekal keyakinan seperti itu, si pemazmur tetap berani memohon Allah agar sudi bertindak memberi shalom kepada umatNya, tepat pada waktunya. Kalau Tuhan sudah bertindak, kalau tangan kanan Tuhan sudah memperlihatkan kekuatan, pada saat itulah mereka akan bersukacita dan bersorak-sorai. Dan racun ateisme pun mudah-mudahan berlalu.
No comments:
Post a Comment