Mazmur ini sangat terkenal, karena ayat pertamanya sudah lama sekali menjadi salah satu mazmur antar bacaan kita (favorit saya) dengan melodi yang indah mengalun dari komponis A.Sutanto SJ (kalau tidak salah). Berdasarkan ayat 1 ini kita dapat mengetahui bahwa mazmur ini terpancar keluar dari kerinduan yang kuat dan hangat akan Allah, akan Allah dalam Baitnya yang terletak di atas gunung yang suci, Zion.
Tetapi gejolak kerinduan itu tidak otomatis membenarkan dan memudahkan segala-galanya. Seorang pemuda yang rindu pada kekasihnya, harus berjuang agar diterima gadis kekasihnya itu. Sebab ada syarat atau tuntutan bagi si pemuda agar bisa bertandang ke kandang kekasihnya. Begitu juga bagi orang yang rindu tinggal di rumah Allah, ada syarat dan tuntutan juga. Dari ayat 2-5 kita baca syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang rindu tinggal di rumah Tuhan, di gunungNya yang suci.
Betapa sangat mengejutkan kita bahwa syarat itu adalah syarat etis-humanis-horizontal. Jadi, relasi vertikal-teologis hanya dimungkinkan oleh dan dalam relasi etis-horizontal yang baik. Atau, mutu relasi etis-humanis-horizontal kita menentukan laik-tidaknya seseorang masuk ke dalam relasi etis-teologis-vertikal dengan Allah.
Mana saja syarat-syarat itu? Syaratnya sebenarnya hanya satu, yaitu orang yang kelakuannya benar, tidak bercela. Ini syarat fundamental. Tetapi syarat ini dijabarkan lebih lanjut sbb: Orang itu harus mampu menegakkan keadilan (promotio iustitiae). Ia juga harus mampu dan berani berkata jujur, tidak berbohong. Sebab berbohong itu kecenderungan semua manusia, sejak Adam dan Hawa, omnis homo mendax, semua manusia penipu. Selain itu, tutur katanya juga harus baik, tidak menebar gosip, atau kasak-kusuk ke sana kemari. Ingat dosa karena lidah itu mematikan. Sebab lidah laksana pedang bermata dua, menghantam kedua arah sekaligus. Ia juga tidak menjadi musuh dalam selimut, atau pengkhianat di meja perjamuan. Tidak mendatangkan aib bagi orang di sekitarnya.
Syarat dalam ayat 4 rada sulit. Pemazmur ini memandang diri sebagai orang yang takut akan Yahweh. Sedangkan kaum buangan (tersingkir), menjadi demikian karena lupa akan Allah. Kalau lupa, maka mereka tidak memuliakan Allah. Kalau ingat, pasti mereka memuliakan Allah. Nah, pemazmur ini memuliakan orang yang takut akan Tuhan. Orang ini juga harus konsisten dengan sumpah walaupun ada konsekwensi rugi. Orang ini juga bukan lintah darat, membungakan uang secara tidak wajar. Salah satu kejahatan terbesar manusia ialah viktimisasi orang yang tidak bersalah dan lemah. Tendensi perilaku seperti ini biasanya disertai suap. Dalam konteks seperti ini, uang menjadi panglima. Tetapi orang seperti ini tidak mau bersikap seperti itu. Nah, kalau dia sudah seratus persen seperti itu maka ia akan kokoh di dalam Allah karena tinggal di rumah Allah dan gunung suci Allah.
Saya masih ingat ketika kecil dulu, ayah memberi saya “mantera” ketika saya pergi jauh dari kampung dan masuk seminari yang jauh dari rumah orang tua. Ayah saya memberi mantra sbb: Musuh di depanku, musuh di belakangku, musuh di kiriku, musuh di kananku, tetapi kalau Allah besertaku siapa dapat melawan aku? Ayah berpesan: Saya harus mengucapkan ini dengan memberi tekanan yang mengandung nada keyakinan yang kuat di bagian akhir. Belakangan di seminari saya baru sadar bahwa mantra itu adalah doa mazmur. Bapaku bermazmur ria, mazmur mantra hidupnya.
No comments:
Post a Comment